ROBERT ADHI KSP

Apakah Jeff Bezos, pendiri Amazon.com, telah menyelamatkan nyawa ”The Washington Post” setelah ia membeli surat kabar terkemuka di Amerika Serikat yang berusia 136 tahun itu? Kondisi ”The Washington Post” mempertegas kondisi sebagian besar media cetak di AS yang sekarat di tengah kehadiran internet dan merebaknya perangkat digital.

Sejak kehadiran internet, satu per satu media cetak di AS rontok. Apalagi kini penetrasi internet di negeri itu (per 30 Juni 2012) mencapai 78,1 persen dari jumlah penduduk AS sebanyak 313,8 juta jiwa atau 245,2 juta (data Internet World Stats). Ini bisa diartikan hampir semua penduduk AS memanfaatkan internet untuk memperoleh informasi. Kondisi ini berdampak pada eksistensi media cetak di negeri itu.

Kehadiran perangkat yang memiliki akses internet, ikut merontokkan media cetak AS. Saat ini, jumlah pengguna ponsel di seluruh dunia pada akhir 2012, menurut International Telecommunications Union, mencapai 6,8 miliar. Dari jumlah itu, 1,1 miliar di antaranya ponsel pintar dengan akses broadband.

Dalam lima tahun terakhir, sebagian besar media cetak AS bangkrut karena tiras makin turun dan iklan terus berkurang. Sebagian lagi menjelma menjadi situs berita online dan digital. Sebagian menunggu investor baru yang menyelamatkan nyawa.

Revolusi internet telah mengubah cara media massa menyampaikan informasi kepada khalayak, dan mendorong revolusi teknologi yang melahirkan sejumlah perubahan, termasuk hadirnya beragam perangkat yang memungkinkan pembaca surat kabar dan penonton televisi membaca, mendengar, menonton berita dari ponsel pintar dan tablet.

Revolusi teknologi juga mengubah banyak hal, termasuk mengubah kebiasaan membaca. Sejumlah pengelola media di dunia, termasuk Indonesia, memutar otak untuk bisa mempertahankan eksistensi media di era digital dengan menjangkau pembaca melalui platform, kanal, dan media yang beragam.

Beberapa media mainstream, misalnya, memanfaatkan kehadiran iPad, juga tablet dan ponsel pintar dengan berbagai sistem operasi. Media-media ini membuat aplikasi khusus untuk gadget, ponsel pintar, tablet berbasis sistem operasi iOS, Android, Microsoft, dan Blackberry agar berita-berita tetap dapat diikuti pembaca setia mereka. Tak mungkin lagi berharap orang Amerika membaca surat kabar cetak seperti dulu.

 Telan korban

Di Amerika dan Eropa, pertumbuhan internet memang telah menelan korban. Industri media cetak yang semula bertahan sejak mesin cetak ditemukan Johann Gutenberg pada tahun 1450, kini mulai rontok satu per satu.

Sejak tahun 2008, lebih dari 166 surat kabar di AS ditutup atau menghentikan penerbitan edisi cetaknya, menurut Paper Cuts, situs yang khusus mencatat penurunan industri media di AS.

Lebih dari 39 media cetak ditutup pada tahun 2008, dan kemudian 109 pada tahun 2009. Pada tahun 2010, lebih dari 18 media cetak ditutup. Sejak Maret 2007, lebih dari 35.000 pekerja media kehilangan pekerjaan (Guardian.co.uk, 6 Juli 2010).

Biro Audit Sirkulasi ABC pada tahun 2010 merilis data, oplah koran di Amerika mengalami penurunan yang signifikan. USA Today mengalami penurunan oplah 13,58 persen menjadi 1,83 juta eksemplar per hari, Los Angeles Times turun 14,74 persen (616.606 eksemplar per hari), The Washington Post turun 13,06 persen (578.482 eksemplar per hari), dan The New York Times turun 8,47 persen (951.063 eksemplar per hari).

Industri media di Eropa bukannya tidak melihat fenomena di AS di mana media cetak rontok satu per satu. The Telegraph, surat kabar yang terbit di London, membangun newsroom bersama, beberapa bulan setelah The New York Times menyatukan newsroom print dan online pada tahun 2005.

Di Jepang, industri media cetak masih mencoba bertahan. Sirkulasinya hanya turun 3,2 persen dibandingkan satu dekade lalu, sementara pada saat yang sama, tiras surat kabar AS turun 15 persen. Namun, industri media di Jepang tetap cemas melihat masa depan yang tak menentu. Tahun 2009, industri surat kabar Jepang mengalami penurunan pendapatan iklan dan tiras lebih dari 1 juta eksemplar.

Editor senior dan penulis Asahi Shimbun, Kenichi Miyata, melukiskan dengan kalimat, ”I am in a dying industry.” Anak-anak muda Jepang enggan membaca surat kabar, dan penduduk Jepang makin menua. Kebiasaan orang Jepang membaca komik (manga), sebagian beralih lewat internet. Berbagai website menyediakan manga online.

Sejumlah surat kabar Jepang melakukan revitalisasi setelah melihat inovasi yang dilakukan The New York Times yang membuka data. Mereka memperkenalkan aplikasi untuk iPhone, iPad, dan iPod Touch. Namun, aplikasi gratis ini bukan aplikasi yang banyak dicari karena tidak menyediakan semua isi surat kabar.

Berbagai langkah penyelamatan dilakukan, antara lain melakukan kerja sama antarmedia di wilayah berbeda. The Asahi Shimbun, misalnya, bekerja sama dengan Minami-Nippon Shimbun, surat kabar lokal di Prefektur Kagoshima dan Prefektur Miyazaki. Kyodo News dan Sankei Shimbun memperkenalkan content management system (CMS) bersama agar pengiriman isi berita lebih efektif melalui platform multimedia.

Banyak penerbit surat kabar meluncurkan situs internet. Nihon Keizai Shimbun (Nikkei) meluncurkan proyek surat kabar elektronik berbayar. (Japanese newspapers look for new ways to survive/JapanToday, 27 Januari 2010).

Perangkat e-book diperkenalkan di Jepang tahun 2009. Pengguna e-book portabel dapat membaca buku elektronik (e-book) dan surat kabar elektronik (e-paper) lewat akses internet. Amazon memasarkan perangkat e-book Kindle khusus untuk masyarakat Jepang.

Jangkau audiens

Cepat atau lambat audiens akan pergi ke mana saja yang mereka inginkan. Cepat atau lambat, sirkulasi media cetak akan merosot, iklan menurun, kualitas menurun, jumlah karyawan dipangkas. Sangat penting bagi perusahaan media untuk menerima teknologi baru. Banyak surat kabar yang memiliki jurnalis berketerampilan tinggi, mengisi konten berkualitas tinggi. Mengapa tidak mencoba menjangkau audiens melalui kanal, platform, media berbeda? Melihat realitas rontoknya industri media di Amerika yang begitu cepat, saya menawarkan solusi agar industri media menjangkau audiens dengan media, kanal, platform berbeda, untuk memperkuat posisi dan brand surat kabar cetak.

Dr Dietmar Schantin, Direktur Newsplex IFRA

Dr Dietmar Schantin, Direktur Newsplex IFRA asal Austria, menyebutkan, ”Cepat atau lambat audiens akan pergi ke mana saja yang mereka inginkan. Cepat atau lambat, sirkulasi media cetak akan merosot, iklan menurun, kualitas menurun, jumlah karyawan dipangkas.”

Schantin melihat sangat penting bagi perusahaan media untuk menerima teknologi baru. Banyak surat kabar yang memiliki jurnalis berketerampilan tinggi, mengisi konten berkualitas tinggi. Mengapa tidak mencoba menjangkau audiens melalui kanal, platform, media berbeda?

Schantin melihat realitas rontoknya industri media di Amerika yang begitu cepat. Lalu ia menawarkan solusi agar industri media menjangkau audiens dengan media, kanal, platform berbeda, untuk memperkuat posisi dan brand surat kabar cetak.

Pemilik Amazon.com, Jeff Bezos, boleh jadi menjadi solusi bagi The Washington Post. Orang masih menunggu langkah Bezos berikutnya. Kemungkinan besar Bezos akan memanfaatkan internet dan perangkat portabelnya untuk mempertahankan brand The Washington Post. Roh The Washington Post bisa jadi tidak hilang. Hanya media dan cara membaca yang berubah. ***

Sumber: KOMPAS SIANG, Duduk Perkara, Selasa 13 Agustus 2013

Gambar