ROBERT ADHI KSP

Pengantar

Rabu, 12 Agustus 2020, saya diundang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) untuk berbicara dalam webinar jurnalistik bertema “Membuat Berita yang Menjual dan Membangun Jejaring Publikasi”. Judul presentasi ini saya ubah menjadi ‘Gagasan Menghidupkan Laman Kementerian PPPA’ karena saya tidak ingin mengulangi bahan yang teknis, yang sudah disampaikan Kang Dadi, pembicara sebelumnya dari Prodi Jurnalistik Fikom Unpad. Selain saya dan Dadi, pembicara lainnya adalah fotografer Arbain Rambey.

Bagaimana menulis berita yang “menjual” agar menarik pembaca? Pertanyaan ini pertanyaan klasik yang sering ditanyakan berulang kali sejak dulu. Sejak saya dan sahabat saya Ibu Elvi Hendrani/Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak Atas Pendidikan, Kreativitas dan Budaya, Kementerian PPPA, kuliah di Fakultas Publisistik, yang sekarang bernama Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Bandung.  

Karena penyelenggara pelatihan jurnalistik ini adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, saya akan mengambil contoh-contoh yang relevan dengan kondisi saat ini. 

Banyak topik menarik di seputar Kementerian PPPA yang menjadi perhatian khalayak luas. Mulai dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual; perkawinan anak; prostitusi anak; hak-hak anak atas pendidikan; kreativitas; dan budaya; pendidikan anak; cyberbullying; perdagangan anak; sampai pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan topik seputar pemberdayaan perempuan. Mengapa selalu menjadi perhatian? Karena topik-topik ini sangat  membumi dan bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari, kehidupan orang-orang terdekat, kehidupan kita, kehidupan anak dan kehidupan perempuan.  

Selayaknya setiap berita dan ulasan tentang anak dan tentang perempuan punya nilai “jual”. Tapi bagaimana mengemasnya agar punya nilai “jual”? Bagaimana agar banyak orang ramai-ramai membuka laman Kementerian PPPA, memperbincangkan topik yang sedang hangat, menjadikan laman ini acuan utama tentang anak dan perempuan? Ini pertanyaannya, yang perlu kita bahas bersama, mudah-mudahan dapat diperoleh jawabannya dalam waktu yang relatif singkat. Saya tidak akan membahasnya terlalu teknis karena tentu tidak mungkin melakukannya dalam waktu setengah jam yang tersedia.  

Contoh laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Pengamatan saya di laman Kementerian PPPA kemenpppa.go.id menunjukkan, topik-topik di atas menjadi judul berita dalam beberapa bulan terakhir ini. Dalam satu hari, rata-rata ada satu berita sampai dua berita yang diunggah dalam laman KemenPPPA di kanal Publikasi – Siaran Pers. 

Namun di sub-kanal Berita,  unggahan terakhir 26 Juni 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Hari Anak Nasional 2020. Di sub-kanal Artikel, 31 Mei 2020 tentang “KDRT Mengintai di Tengah Pandemi”. Di sub-kanal Majalah, unggahan terakhir 10 Juni 2016 – Majalah Perempuan. Di  sub-kanal Image Gallery, terakhir 20 Juli 2018.

Mengapa konten publikasi di laman Kementerian PPPA ini jarang di-update? Jarang diperbarui? Kok hanya siaran pers yang diprioritaskan? Mungkin tenaga yang menggarap laman ini terbatas. Tetapi ketahuilah, laman KemenPPPA ini sesungguhnya adalah wajah Kementerian, wajah Ibu Menteri dan para Deputi Kementerian di dunia maya. Kalau tidak digarap secara maksimal, sayang sungguh disayang. Apalagi pada masa pandemi ini, akan lebih banyak insan pers yang mengunjungi laman Kementerian PPPA.

Mengingat banyak isu yang menarik tentang anak dan tentang perempuan, idealnya Kementerian PPPA super-aktif mengunggah perkembangan terkini, entah itu pernyataan Menteri, Deputi Kementerian, atau pun saripati diskusi-diskusi yang mengupas berbagai topik yang sedang hangat. Apalagi disertai dengan data dan angka resmi — yang sering dibutuhkan para jurnalis dan peneliti. 

Sebagai orang luar Kementerian PPPA, saya membayangkan kalau saya membutuhkan semua informasi tentang anak dan tentang perempuan, saya akan mengunjungi laman resmi. 

Berapa sebenarnya  jumlah anak yang putus sekolah di Indonesia, yang kehilangan hak pendidikan, kreativitas, dan budayanya?

Suatu hari pada tahun 2019, saya menikmati perjalanan dengan MRT Jakarta.  Di jalan menjelang stasiun MRT di depan Plaza Indonesia dan di depan kantor Kemendikbud Senayan, saya “dicegat” beberapa anak muda dari LSM yang berbeda, tetapi semuanya peduli pendidikan anak. Mereka menawari saya untuk ikut berkontribusi menyumbang perbaikan sekolah di pelosok Indonesia agar anak-anak dapat menikmati hak pendidikan. Hati saya tergerak untuk menyisihkan sebagian uang saya selama dua tahun untuk membangun anak-anak Indonesia yang putus sekolah atau yang bersemangat untuk sekolah tetapi gedungnya ambruk.  Jumlahnya tidak banyak sih karena sesuai kemampuan saya, tetapi saya bahagia bisa ikut berkontribusi. Selain LSM X, ada LSM Y juga yang menawari saya hal yang sama. 

Saya bertanya-tanya di dalam hati, berapa sesungguhnya jumlah anak yang kehilangan hak pendidikan ini?  Saya mencoba googling, bertanya kepada Uncle Google, tetapi saya belum mendapatkan jawabannya. Alangkah indahnya kalau laman Kementerian PPPA memiliki data dan angka ini. 

Sumber foto Blog http://robertadhiksp.net, dokumentasi Robert Adhi Ksp

Saya termasuk orang yang peduli dengan hak anak atas pendidikan. Mengapa? Saya ingat pada tahun 1999, ketika saya meliput kerusuhan etnis di Sambas, Kalimantan Barat, banyak anak korban konflik etnis itu mendadak kehilangan hak atas pendidikan. Mereka harus tinggal di pengungsian berbulan-bulan. Waktu itu saya bertugas di Kalimantan Barat, mendapat amanah untuk menyerahkan bantuan pembaca Kompas untuk korban konflik etnis. Saya membeli buku dan peralatan belajar, termasuk seragam sekolah, yang kemudian saya serahkan melalui Dinas Pendidikan Kalimantan Barat. Ini cerita lama, pengalaman fenomenal yang saya alami dan selalu menguras emosi saya. 

Kembali ke topik tentang “nilai jual”. Sebagian besar topik di Kementerian PPPA yang membumi dan dekat dengan kehidupan sehari-hari ini, selayaknya dieksplorasi lebih dalam oleh tim KemenPPPA. Hidupkan laman ini dan jadikan laman ini situs terpercaya untuk semua informasi tentang anak dan tentang perempuan. 

Banyak topik yang menarik dikupas. Membedah prostitusi anak dan perdaganagan anak misalnya, apakah akar masalahnya hanya karena kemiskinan, atau sudah menjadi bagian organized crime? KemenPPPA tentunya bisa memetakan persoalan ini dengan lebih dalam. 

Ajaklah pemerhati anak, pemerhati perempuan menulis ulasan di kolom secara rutin di laman KemenPPPA. Demikian pula Bu Menteri dan para Deputi Kementerian, atau pun pakar-pakar di kementerian ini. Juga ajaklah anak-anak muda, generasi milenial di Kementerian PPPA  maupun penulis milenial di luar kementerian ini untuk menulis di laman ini. 

Laman Kementerian PPPA juga bisa mengumpulkan semua berita dan ulasan dalam laman-laman lain (media ataupun LSM) ke dalam satu kanal, tentunya disertai sumber tautannya. Juga mengumpulkan skripsi, tesis, disertasi yang berkaitan tentang anak dan tentang perempuan ke dalam satu kanal di laman ini. Jadi laman ini akan menjadi semacam e-library. 

Sebelum itu dilaksanakan, izinkan saya memberi saran: Perbaiki tata letak (lay-out) laman ini agar eye-catching dan enak dipandang. Font  huruf jangan terlalu kecil. Benahilah laman yang merupakan harta karun tersembunyi ini. Saya meyakini pepatah lama, “jika pandangan pertama menggoda, selanjutnya ada rasa ingin berjumpa lagi”. 

Nah, kalau konten laman ini menarik untuk dibaca, kaya dengan data dan angka, kaya dengan ulasan bernas yang asyik dibaca, otomatis semua media dalam dan luar negeri akan datang berkunjung. Tidak perlu lagi ada jejaring publikasi lagi. Untuk apa? Biarlah mereka yang membutuhkan informasi terkini tentang isu-isu tentang anak dan tentang perempuan, mendapatkannya dari laman Kementerian PPPA. 

Tetapi sebelum mereka mengunjungi, Kementerian PPPA perlu memperkenalkan wajah baru laman Anda ke khalayak luas. Dalam setiap surat elektronik, selalu sertakan tautan laman tersebut. Keterlibatan pemerhati dan pakar serta generasi milenial bisa menjadi sarana promosi karena pada era digital sekarang, promosi tautan dari WAG ke WAG lebih efektif dibandingkan iklan di media cetak dan TV. 

Zaman sudah berubah. Cara membangun jejaring publikasi pun sudah berubah. Kirimkan saja secara rutin tautan laman ataupun tautan unggahan konten  terbaru laman Kementerian PPPA ini kepada WAG berbagai media cetak, daring, elektronik (TV dan radio). Jangan lupa sertakan nomor kontak narahubung agar jurnalis dapat menghubungi bila ada yang ingin ditanyakan. 

Menurut saya, cara ini lebih mangkus dan sangkil.

Tulisan dan berita tentang isu terhangat yang sedang diperbincangkan publik, yang dilengkapi angka dan data, berikut pemaknaannya, apalagi dengan komentar Menteri PPPA, dengan kemasan dan sajian menarik, sudah bernilai jual yang tinggi.Terbayang nggak jika suatu hari orang-orang akan mengatakan, “Kalau mau mencari informasi segala sesuatu tentang anak dan perempuan, akseslah laman Kementerian PPPA.”  Kalau itu yang terjadi, percayalah, kalian tak perlu lagi jejaring publikasi untuk menyiarkan pesan Kementerian PPPA ini. 

(Setelah saya menyampaikan presentasi ini dalam webinar Kementerian PPPA, cukup banyak tanggapan atas gagasan saya untuk menghidupkan laman Kementerian PPPA, dan semuanya mendukung. Nah, kalau demikian, kita tunggu tindak lanjutnya. Terima kasih atas undangan ini, Teteh Elvi Hendrani, teman kuliah saya di kampus Fikom Unpad Bandung, yang sekarang sudah menjadi pejabat di Kementerian PPPA. Semoga gagasan ini bermanfaat bagi Kementerian PPPA).