
PENGANTAR
Hendro S Gondokusumo, Founder dan Direktur Utama PT Intiland Development Tbk berpulang pada Kamis 13 Maret 2025 di Singapura pukul 03.29 waktu setempat karena serangan jantung. Hendro S Gondokusumo adalah salah satu tokoh penting dalam industri properti Indonesia. Berikut catatan Robert Adhi Ksp tentang Hendro S Gondokusumo yang diringkas buku-buku “Rahasia Sukses Pengusaha Properti” (2011), “Membangun Indonesia Melalui Industri Properti” (2023), dan “26 Kisah Inspiratif Pemimpin Industri Properti” (2025).
Hendro S. Gondokusumo adalah pendiri perusahaan pengembang properti Intiland Development, pionir kanal estate di Asia Tenggara. Ketika orang belum memikirkan mereklamasi pantai, Hendro sudah melakukannya pada tahun 1980-an dengan membangun Pantai Mutiara.
Lahir di Malang, Jawa Timur, 6 September 1950 sebagai anak ketiga dari delapan bersaudara, Hendro S Gondokusumo pada usia 17 tahun sudah tinggal di Jakarta, ikut ayah dan pamannya berdagang. Dari delapan bersaudara itu, anak laki-laki hanya dua orang, dan Hendro anak lelaki tertua.
Jenis usaha keluarga Gondokusumo waktu itu berdagang hasil bumi, namun Hendro mengaku tidak tertarik pada bisnis itu. Ketika tahun 1972 ayah dan pamannya beralih bisnis ke bidang properti, Hendro pun ikut memulai bisnis ini dari nol. “Saya sama sekali tidak punya pengetahuan dan pengalaman dalam bidang properti,” cerita Hendro S Gondokusumo.
Proyek properti pertama yang digarap perusahaan ayah dan pamannya di Cilandak, Jakarta Selatan adalah Perumahan Cilandak Garden. Proyek perumahan ini dibangun untuk memasok kebutuhan karyawan Pertamina saat itu.
Proyek kedua, Taman Harapan Indah di kawasan Angke, Jakarta Barat dibangun pada 1974. “Meskipun proyek Cilandak belum selesai, kami sudah memulai proyek baru di Angke. Untuk kawasan Kota, kami perusahaan properti pertama yang membangun perumahan di sana,” ujarnya.
Hendro mengakui tidak mudah memasarkan produk properti kepada para pedagang Pasar Pagi. “Susah banget. Mereka maunya tinggal di ruko. Kalau ada pembeli yang mengetuk pintu pukul 12 malam, mereka turun dan membuka toko mereka. Benar-benar sengsara memasarkan rumah-rumah Taman Harapan Indah pada waktu itu,” ungkapnya.
Hendro memutar otaknya. Sebagai salesman, dia mencari jalan untuk berkumpul dengan para pedagang Pasar Pagi. Sebelumnya Hendro sudah menjelaskan kepada para pedagang tetapi mereka tetap bersikukuh untuk tidak membeli rumah di Taman Harapan Indah. Alhasil, tahap pertama sebanyak 40 unit sulit terjual. Kalau terjual hanya satu unit, itu tak cukup untuk membayar bunga pinjaman.
“Setelah saya ngumpul dengan para pedagang Pasar Pagi, ada satu pedagang yang mau pindah. Pedagang lainnya mulai ikut. Rasa kebersamaan pedagang Pasar Pagi itu memudahkan kami memasarkan Taman Harapan Indah dengan cepat. Setelah laku, kami bangun perluasannya,” papar Hendro.
Proyek properti inilah yang menjadi cikal bakal Intiland. Setelah itu, banyak properti lainnya yang dibangun di Jakarta, termasuk Perumahan Taman Permata Indah, Taman Mutiara, Taman Mutiara Prima. Selanjutnya reklamasi Pantai Mutiara yang dikerjakan pada tahun 1980-an.
Intiland semakin berkembang dengan membangun proyek prestisius kondominium Regatta di tepi pantai utara Jakarta yang dirancang Tom Wright. Regatta meraih penghargaan internasional FIABCI Prix d’Excellence Award 2010. Intiland juga sukses membangun perumahan skala besar Graha Famili dan Graha Natura di Surabaya.

Reklamasi Pantai Mutiara pada 1980-an merupakan reklamasi pertama di Asia Tenggara. Kok Pak Hendro berani mengambil keputusan melakukan reklamasi Pantai Mutiara pada saat itu?
Banyak orang bertanya pada saya, kok saya berani mati dengan membangun proyek reklamasi Pantai Mutiara. Ini memang proyek reklamasi pertama di Asia Tenggara. Pada tahun 1980-an, Singapura belum melakukan reklamasi untuk perumahan. Reklamasi di Singapura baru untuk pelabuhan.
Di Indonesia, kawasan pesisir pantai kurang diperhatikan. Ini warisan Belanda yang lebih mengutamakan pembangunan di daratan. Padahal menurut saya, reklamasi merupakan konsep yang bagus. Ada yang tidak percaya, ada pula yang memuji. Yang pasti waktu itu, saya sudah mantab membangun reklamasi Pantai Mutiara. Mengapa? Saya melihat, di luar negeri, pantai sebenarnya kawasan paling mahal. Kalau pengusaha properti sudah berhasil melakukan reklamasi, jika diukur dalam bidang pendidikan, artinya pengusaha itu sudah “lulus Ph.D”, Kalau baru membangun rumah, yaa itu cukup “lulus SD”.

Reklamasi Pantai Mutiara dikembangkan seluas 100 hektar. Saya waktu itu dinilai orang, “berani mati”. Bayangkan, tingkat kesulitan dalam pembangunan reklamasi sangat tinggi. Kami membangun reklamasi di satu titik, besoknya bisa bergeser sejauh 14 meter. Tapi saya bersyukur, tidak ada pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja.
Kedalaman reklamasi Pantai Mutiara mencapai 3 meter sampai 5 meter. Persoalannya, pesisir Jakarta semuanya lumpur. Ini berbeda dengan Singapura yang dasarkan merupakan bebatuan. Di Australia, di bawahnya pasir. Tapi di Jakarta, di bawahnya lumpur!
Kalau sekadar reklamasi, tidak akan kuat. Jadi kami bekerja sama dengan universitas di Singapura membuat konsep untuk mengurangi kadar air di dasar laut dengan menurunkan karung goni hingga 10 meter sampai 15 meter.. Konsep ini mirip dengan sumbu kompor. Kami mencari cara agar air dalam lumpur dapat disedot keluar. Tekniknya banyak dan mahal. Ini karena kami ingin yang terbaik. Kami coba dengan berbagai konsep. Kami menggunakan pasir dari pesisir wilayah Tangerang. Sungguh ini bukan pekerjaan mudah.
Kami pengembang pertama yang menggunakan tiang pancang untuk membangun rumah. Soal banjir, memang ada karena air pasang sering mendadak naik. Tadinya saya tidak setuju dengan sistem polder, tapi sekarang kami membuat polder agar dapat memompa air yang cenderung terus naik.

Setelah sukses dengan reklamasi Pantai Mutiara, Intiland membangun proyek prestisius lainnya, Regatta di lahan reklamasi paling ujung. Arsitek Regatta sama dengan arsitek yang merancang The Burj al Arab di Dubai…
Benar. Regatta berlokasi di ujung Pantai Mutiara dan merupakan bagian dari reklamasi. Kami membangun 10 menara apartemen dan satu hotel bintang lima di kawasan itu. Arsitek yang merancang Regatta sama dengan yang merancang The Burj al Arab di Dubai, yaitu Tom Wright dari perusahaan arsitektur global WS Atkits dari Inggris.
Kami melihat proyek The Burj al Arab juga dibangun di lahan reklamasi. Kami minta arsitek yang sama karena Atkins kan perusahaan besar dengan 300-an arsitek. Kalau tidak, saya tidak mau. Akhirnya Tom, si arsitek The Burj al Arab itu sendiri yang datang ke Jakarta dan merancang Regatta. Proyek Regatta dikembangkan oleh Intiland bersama PT Global Ekabuana.

Intiland Tower yang sebelumnya dikenal dengan nama Wisma Dharmala Sakti yang dibangun tahun 1980-an sudah memikirkan konsep hemat energi…
Tahun 1980-an, Intiland Tower dibangun mulai dari nol di tangan saya. Awalnya ada arsitek asal Amerika, Paul Rudolph yang belum pernah tahu tentang Indonesia. Lalu saya ajak dia ke Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Jakarta, dan Bali. Waktu itu, Paul bilang mengapa kita harus memindahkan gedung-gedung yang ada di New York dan Tokyo ke Jakarta, padahal Jakarta punya ciri khas cuaca sendiri.
Kita lihat rumah-rumah di Indonesia memiliki ciri atap miring. Dua ribu tahun yang lalu, belum ada arsitek dan pemilik rumah belum mengenal desain. Kemungkinan besar dulu atap rumah rata, tapi karena sering hujan dan atap bocor, sehingga atap dimiringkan. Lalu kami berpikir, mengapa Intiland tidak mendesain gedung seperti itu? Saya tanya Rudolph apakah dia bisa merancang gedung seperti yang saya bayangkan, dia menjawab bisa. Intiland Tower memiliki arsitektur sangat sederhana, sering dijadikan obyek penelitian dan pembahasan para mahasiswa arsitektur Indonesia.
Dan seperti Anda lihat sendiri, Intiland Tower yang dibangun tahun 1980-an sudah green building. Kami tak perlu menggunakan kaca ray-ban sehingga terang. Penggunaan listrik pun lebih hemat 25 persen dibandingkan dengan gedung berukuran sama.
Ada yang bilang desain Intiland Tower memberi fengshui yang kurang bagus karena banyak sudut yang lancip. Saya kira tidak begitu. Saya tidak pernah memikirkan gedung ini akan mematikan gedung-gedung sekitarnya.


South Quarter, Gedung Perkantoran Terbaik di Dunia 2022
Intiland kini sukses mengembangkan puluhan proyek properti —yang sebagian di antaranya meraih penghargaan tingkat nasional dan internasional. Salah satunya adalah gedung perkantoran South Quarter di Jakarta Selatan yang meraih penghargaan World Gold Winner kategori perkantoran pada FIABCI Prix d’Excellence Award 2022 di Paris, Perancis.
Setahun sebelumnya, Perumahan Serenia Hills di Lebak Bulus Jakarta Selatan juga menerima penghargaan World Gold Winner kategori perumahan (low-rise residential) di ajang FIABCI Prix d’Excellence Awards 2022. Dengan demikian, tiga proyek Intiland meraih penghargaan internasional FIABCI Prix d’Excellence Awards, selain South Quarter dan Serenia Hills, juga apartemen Regatta pada 2010.

Bisnis Properti Tak Boleh Saling Mematikan
Hendro Gondokusumo yang telah makan asam garam dalam dunia properti berpendapat, bisnis properti bukanlah jenis bisnis yang bisa bersaing terus-menerus.
“Perusahaan pengembang properti antara satu dan yang lain harus saling melengkapi. Kita menghadapi persoalan yang sama dan dipecahkan bersama-sama. Sebagai pengembang atau developer, hati kita mesti besar. Kalau mau menyalahkan orang, membuat pengembang lain mati, itu tak mungkin terjadi di bisnis properti,” kata Hendro.
Dalam bisnis properti, prinsip yang berlaku adalah saling melengkapi. Pengembang harus bisa sama-sama hidup, sama-sama sukses, atau pilihannya sama-sama mati. “Menjalani bisnis properti harus berani sharing. Kalau hanya ingin mencari keuntungan sendiri, tak mungkin kita sukses,” kata Hendro.
“Pengembang harus memiliki jiwa yang besar dan harus saling mendukung. Kalau jiwa pengembang ingin menggeser orang terus, forget it. Saya yakin pengembang semacam itu tidak akan berhasil,” katanya.
Kerja sama dengan perusahaan pengembang lain dan pengelola transportasi publik diperlukan agar penghuni proyek propertinya diuntungkan. “Hubungan kami dengan PT MRT Jakarta baik. Karyawan kami senang karena kantor pusat Intiland berada di deoan Stasiun MRT Bendungan Hilir. Salah satu proyek sinergi kami dengan mitra strategis yang terkoneksi dengan MRT adalah Poins yang terhubung dengan Stasiun MRT Lebak Bulus. Ini berdampak pada okupansi Hotel Grand Whiz dan Poins Mall. Cukup berjalan kaki dari stasiun MRT, orang sudah sampai di mal dan hotel yang kami kelola,” jelasnya.

Hendro Gondokusumo Mendorong Darmadi Terjun ke Dunia Properti
Setelah menyelesaikan kuliahnya di MIT, Darmadi Darmawangsa (saat ini CEO ERA Indonesia) tidak bekerja di perusahaan keluarga karena ayahnya sudah menyerahkannya kepada kakak-kakaknya yang semuanya insinyur sipil. Darmadi awalnya berniat bekerja di Amerika. Suatu hari pada 1995, di Boston, Darmadi berjumpa dengan Hendro Santoso Gondokusumo, pemilik Dharmala Intiland, sosok yang mendorongnya terjun ke dunia properti.
“Peluang industri properti di Indonesia sangat besar. Ngapain you kerja di Amerika? Kalau you ikut saya, you akan lihat properti itu luas sekali. Di Amerika, kamu hanya fokus mendesain sebuah pintu selama tiga bulan. Di Indonesia, setelah kamu paham tentang pintu, kamu bergerak cepat ke desain lainnya. Kalau kamu satu tahun bekerja di Amerika, paling kamu baru bisa membangun rumah kecil. Sedangkan di Indonesia, dalam rentang waktu yang sama, kamu sudah diberi tanggung jawab untuk membangun sebuah kawasan,” kata Hendro yang menegaskan bahwa Darmadi bisa cepat maju dan berkembang jika berkarier di Indonesia.
Akhir 1996, Darmadi kembali ke Indonesia, menjadi Assistant Project Manager di proyek Wisma Dharmala Surabaya. Darmadi meminta Hendro menempatkannya di sana karena dia tertarik dengan Gedung Wisma Dharmala (sekarang bernama Intiland) yang berlokasi di Jalan Sudirman rancangan Paul Rudolph. Hendro beberapa kali mengajak Darmadi bertemu dengan Paul di apartemen lantai lima yang menghadap Sungai Hudson di New York. Darmadi tertarik mengerjakan Wisma Dharmala Surabaya karena melihat desain Wisma Dharmala Jakarta. Bangunan tersebut dibangun seperti tumpukan buku yang zig-zag vertikal teratur. Adapun Wisma Dharmala Surabaya zig-zag-nya diputar menjadi zig-zag horizontal teratur. Bagi Darmadi, dua bangunan tersebut sangat unik.
Dari diskusi dengan Paul dan Hendro, Darmadi sebagai anak muda lulusan MIT belajar satu hal: “Jangan pernah merasa diri sudah pintar.”
“Jangan Kecewa Jika Belum Hebat. Itu Karena Ilmu Kamu Belum Cukup”
Suatu hari Hendro Gondokusumo menasihati Darmadi yang saat itu masih berusia muda, ingin cepat sukses, dan merasa kok hidupnya gini-gini saja, tak bisa berlari lebih kencang.
“Dar, kalau kamu belum dicari orang, jangan kecewa. Bukan karena orang sentimen tetapi karena ilmu kamu belum cukup. Jika ilmu kamu sudah tinggi dan bermanfaat, kamu tak perlu mencari mereka, tapi mereka yang akan mencari kamu,” demikian nasihat Hendro Gondokusumo yang mengingatkan Darmadi untuk tidak berkecil hati.
Kalimat itu diingat Darmadi sampai sekarang. Jika produk dan servis Anda belum bagus, jangan pernah berpikir orang tidak suka dengan Anda. Jangan pernah menyalahkan orang lain, tetapi tingkatkanlah skill Anda, dan introspeksilah ke dalam. Analoginya adalah kedai bakmi yang meskipun lokasinya “tersembunyi” di dalam gang sempit, tetetapi karena rasanya enak dan gurih, orang tetap akan mencarinya
Mengutip pepatah China, Darmadi menyebutkan, “Kalau Anda tak bisa berlari kencang, Anda cari kuda yang bisa berlari kencang. Anda nebeng kuda itu, tak perlu lari, biarkan kuda yang berlari. Pak Hendro ibarat kuda perkasa. Dia lebih pandai dari saya, lebih berpengalaman dibandingkan saya, punya modal dan koneksi lebih banyak dari saya. Kalau Pak Hendro bilang, beli ini karena bagus, saya ikut beli.”
Menjaga Kepercayaan
Hal yang berkesan bagi Theresia Rustandi (saat ini Corporate Director Intiland Development) adalah ketika krisis moneter 1998, dia diberi kesempatan dan kepercayaan oleh Hendro Gondokusumo untuk mengelola unit bisnis yang harus dikembangkannya.
“Pak Hendro tidak mengurangi pegawai karena hal itu tak ada dalam kamusnya. Tetapi yang dilakukannya justru bagaimana memaksimalkan sumber daya manusia yang ada dengan membuat unit bisnis yang baru. Pada tahun 1998, saya belajar tentang proses bisnis, dari menyusun feasibility study sampai eksekusi, kemudian di-maintain hingga harus berkelanjutan. Tahapan itu harus dijalani dengan disiplin,” paparnya.
Pelatihan itu juga mencakup bagaimana memikirkan mencari uang untuk menggaji karyawan unit bisnis baru tersebut. Setiap tiga bulan, digelar rapat rutin dengan board of director yang dipimpin Hendro Gondokusumo. “Di sini, kami benar-benar ditanya secara rinci tentang laporan keuangan dan laporan kinerja, mengapa revenue-nya sekian, mengapa ada cost seperti ini. Kami harus bisa menjawabnya. Saya termasuk yang beruntung karena bisa belajar langsung dari Pak Hendro,” urai Theresia.
“Sentuhan kemanusiaan Pak Hendro sangat kuat. Beliau mengenal pribadi karyawannya yang dapat diandalkannya. Faktor trust sangat penting. Sebagai profesional, kami harus selalu menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh atasan, manajemen, apalagi oleh owner,” ungkap Theresia. yang sudah bergabung dengan Intiland sejak sebelum lulus kuliah.
DIRINGKAS DARI BUKU-BUKU KARYA ROBERT ADHI KSP
- “Rahasia Sukses Pengusaha Properti” (2011)
- “Membangun Indonesia Melalui Industri Properti” (2023)
- “26 Kisah Inspiratif Pemimpin Industri Properti” (2025)

