ROBERT ADHI KSP

Buku ke-16 yang ditulis Robert Adhi Ksp berjudul “Katrina, Pemersatu Keluarga Wanandi” (Oktober 2022, Penerbit Buku Kompas)

Buku “Katrina, Pemersatu Keluarga Wanandi” merupakan buku yang menggambarkan sosok Katrina Setiadi, ibu dari tujuh anak keluarga Wanandi; istri Sofianto; nenek dari 20 cucu dan 36 cicit. Selain menceritakan masa kecil dan masa muda Katrina, buku ini juga berisi berbagai komentar anak, menantu, cucu, cucu menantu, dan cicitnya tentang sosok Katrina dari berbagai sudut pandang dan pengalaman mereka.

Seperti kata pepatah Latin,  Verba volant, scripta manent (yang terucap akan hilang, yang tertulis tetap abadi). Apa yang telah dilakukan Katrina sepanjang hidupnya akan tetap dikenang setelah tertuang dalam sebuah buku. Karena jika hanya disampaikan dari mulut ke mulut, suatu hari cerita akan hilang. Buku ini dapat menjadi kenangan abadi tentang sosok Katrina, yang akan selalu diingat hingga ratusan tahun.

Jusuf Wanandi, anak sulung Katrina, yang pada tahun 2022  berusia 85 tahun, dalam pengantarnya mengatakan, buku ini untuk mempererat hubungan yang sudah menjadi satu keluarga besar dengan puluhan cucu dan cicit, dan menjaga serta meningkatkan  persatuan seluruh keluarga.  

Sofjan Wanandi, anak ketiga Katrina, yang menggagas penerbitan buku ini mengatakan sejak ibunya sakit, dia sudah memikirkan bagaimana agar sejarah hidup sang ibunda dapat didokumentasikan dengan baik. Sofjan menyampaikan usul kepada anggota keluarga besar Wanandi agar ada buku yang menceritakan sejarah dan perjalanan hidup Katrina. Usulnya disetujui oleh seluruh anggota keluarga besar Wanandi. “Saat ini generasi pertama (saya, Jusuf, dan lima lainnya) masih hidup dan mengenang ibu dengan baik. Demikian juga generasi kedua (anak-anak kami) masih mengenal dengan baik Oma mereka. Tetapi bagaimana dengan generasi ketiga, keempat, dan seterusnya? Mereka juga harus mengenal siapa Omaco mereka,” ungkap Sofjan (81 tahun).

Jusuf Kalla dan istrinya,  Mufidah, menilai Ibu Katrina menerapkan disiplin dengan penuh kasih sayang, mendidik dan mendorong anak-anaknya untuk maju dan berkembang. Ini dapat dilihat dari anak-anaknya yang berhasil dalam kehidupan keluarga, mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan karya dan talenta masing-masing. “Saya rasa apa yang telah dilakukan Ibu Katrina ini dapat menjadi contoh dan teladan bagi keluarga-keluarga Indonesia dalam membina kehidupan, mendidik anak-anak mereka dengan disiplin tanpa mengabaikan cinta dan kasih sayang,” kata Jusuf Kalla yang berharap buku ini bermanfaat pula bagi keluarga-keluarga Indonesia. 

Luhut Binsar Panjaitan berpendapat, “sepanjang hidupnya, Oma Katrina Setiadi – begitu kami semua memanggilnya – adalah figur single parent yang hebat di mata saya, karena selain berhasil mendidik anak-anak, cucu, dan cicitnya sampai menjadi orang-orang sukses, beliau juga seorang yang penuh cinta dan kebahagiaan.  Oma Katrina Setiadi sudah membuktikan kepada kita semua bahwa menjadi seorang ibu bahkan dapat mengubah hidup banyak orang, dengan bagaimana cara beliau membesarkan dan mendidik anak-anaknya lewat cinta dan kasih sayang dalam keluarga.”

Katrina yang lahir pada 20 September 1919 ini dianugerahi umur panjang, meninggal pada 3 Februari 2022. Dari Katrina —yang menikah dengan Sofianto Wanandi, lahirlah tujuh anak, yang sampai tahun 2022 telah berkembang menjadi 20 cucu dan 36 cicit. 

Katrina lahir satu tahun setelah Perang Dunia Pertama (1914-1918) usai. Katrina bahkan lahir lebih awal dibandingkan para pesohor seperti Che Guevara (lahir 1928), Fidel Castro (lahir 1926), Desmond Tutu (lahir 1931), Elizabeth Taylor (lahir 1932), Elvis Presley (lahir 1935) yang semuanya sudah “pergi” lebih dulu.

Dalam kehidupannya yang panjang, Katrina mengalami masa-masa sulit pada pemerintahan kolonial Belanda dan pendudukan Jepang di Indonesia. Tetapi dia juga mengalami masa-masa bahagia setelah tujuh anaknya berhasil di bidang masing-masing. Tak banyak orang seberuntung Katrina yang hidup panjang hingga lebih dari satu abad. Hidupnya yang panjang pun dipenuhi dengan rasa syukur dan bahagia, dicintai dan mencintai keluarganya dengan segenap hati. 

***

Penulis berfoto bersama Jusuf Wanandi, 85 tahun (atas), Biantoro Wanandi, 83 tahun (kiri bawah), dan Sofjan Wanandi, 81 tahun (kanan bawah). Foto: dokumentasi Robert Adhi Ksp

Buku ini diawali dengan bab pembuka yang mengisahkan bagaimana Katrina mendamaikan dua anaknya, Jusuf dan Sofjan yang sempat tiga bulan tidak bertegur sapa karena berbeda pilihan calon presiden pada 2004. Katrina mengajak Jusuf dan Sofjan serta lima anaknya untuk berlibur bersama. Cerita ini menarik diungkapkan untuk menegaskan betapa Katrina sebagai seorang ibu sangat peduli pada kesatuan dan persatuan keluarga Wanandi. 

Bab pertama memuat akar keluarga Wanandi yaitu Liem Tjin Yang (yang memiliki 14 anak, salah satunya Lim Gim To —yang kemudian menjadi ayah Jusuf, Sofjan dll). Bab kedua  mengisahkan perjalanan hidup Katrina di masa kecil dan masa mudanya. Katrina menikah muda pada usia 16 tahun dengan Sofianto (Lim Gim To). 

Bab ketiga memuat komentar tujuh anggota keluarga Wanandi tentang sang ibunda. Jusuf Wanandi     mengakui semua anggota keluarga besar Wanandi bangga pada Mama, Oma, Omaco Katrina yang dengan caranya sendiri, dengan kepemimpinannya, dapat menarik perhatian anak, menantu, cucu, dan cicitnya. “Bagi kami anak-anaknya, Mama mengimbangi kekerasan Papa dengan kelembutannya. Meski Mama tidak terlalu banyak bicara, Mama mampu memimpin keluarga Wanandi dan memperlihatkan kasih sayangnya kepada anak dan cucunya,” ungkap Jusuf.  

Biantoro “Willem” Wanandi mengagumi ibunya karena bagi  dia, Katrina seorang ibu yang baik, tidak cerewet, simpel, tidak banyak menuntut, tidak tamak, tidak membicarakan hal-hal buruk atau mengupas gosip. “Saya berharap anak-anak dan cucu-cucu saya dapat seberani dan sekuat ibunya dalam menghadapi dan menjalani kehidupan,” katanya. 

Sofjan Wanandi menilai, ibunya selalu berpikir positif, selalu memberi kasih sayang, dan memberi nasihat. “Apa yang dilakukan Mama demi kecintaannya terhadap anak-anaknya. Satu sama lain memang punya cara hidup sendiri. Tetapi kami anak-anaknya bisa berkumpul bersama karena Mama,” ungkapnya.  

Ratna, satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Wanandi, mengatakan ibunya pendoa yang tekun, selalu ikut misa setiap pagi  dan berdoa rosario setiap sore. Ketekunan Katrina berdoa berdampak positif bagi sikap hidupnya yang selalu optimistis, bahagia, berbuat baik, tidak mempunyai pikiran jelek (negative thinking) terhadap orang lain. Kualitas hidupnya mencerminkan kebahagiaannya, dan itu bukan semata-mata karena faktor uang. “Hidup itu kalau bahagia, puas dengan keadaan, dan banyak berdoa, tak ada yang harus dipikirkan secara negatif. Mengapa hidup Mama bisa bertahan begitu lama? Ya karena Mama happy,” cerita Ratna. 

Penulis berfoto bersama Ratna Pranadi (kiri atas), Romo Markus Wanandi SJ (kanan atas), Rudy Wanandi (kiri bawah), dan Edward Wanandi (kanan bawah). foto: dokumentasi Robert Adhi Ksp

Bagi Romo Markus Wanandi SJ, Katrina satu-satunya role model, panutan sosok yang mencintai sesamanya dengan tulus dan sepenuh hati. “Kalau pastor-pastor memberi contoh Yesus dan Bunda Maria, saya selalu mengambil contoh ibu saya. Cinta Mama selalu mengalir tanpa henti. Bukan karena Mama seorang yang suci tetapi Mama mempraktikkan cinta dengan nyata. Mama tidak minta dihargai atau dipuji, tetapi mengajarkan secara sederhana kepada anak-anaknya bahwa mencintai sesama dengan tulus, ya begini, tak perlu banyak bicara, tak perlu banyak tuntutan. Mama melakukan ini karena keharusan dari suara hatinya,” katanya. 

Edward Wanandi, anak bungsu mengungkapkan, ibunya adalah someone who is full of bold love, isinya hanya cinta kasih,  seorang ibu selalu memberi semangat dan dukungan, dan sosok ibu semacam itu sulit dicari. “Mama selalu memberi spirit kepada anak dan cucunya,  tidak pernah bertanya, mengapa begini, mengapa begitu dengan nada negatif,”   ujarnya.

Bab keempat memuat khusus tentang komentar anak-anak Katrina tentang ayah mereka, Sofianto. Jusuf misalnya menyatakan,”without papa, we’re nothing!”  Menurut Jusuf, meskipun ketika masih kecil, dia dan adik-adiknya takut pada ayahnya karena dia disipliner tulen dan keras, tetapi dia dan adik-adiknya setuju, betapa banyaknya  mereka mendapatkan budi pekerti, contoh hidup termasuk ketegasan dan kerasnya sang ayah, yang berguna bagi mereka setelah dewasa. Adapun Biantoro yang akrab dipanggil Willem mengakui hukuman keras ayahnya membuat hidupnya lebih berdisiplin. 

Sofjan mengingat pesan-pesan ayahnya yang sering mengutip ajaran Konfusius agar anak-anaknya menghormati orangtua, tidak berbohong, dan tidak berbuat jahat kepada orang lain agar tidak terkena karma buruk. Riantini Kiauw, istri Sofjan menilai, setelah ayah mertuanya berumur dan pindah ke Jakarta, tinggal bersama anak dan cucu, sifatnya berubah drastis. “Pak Gim To sangat sensitif, sering sedih, menangis bila kami memukuli anak-anak kami. Padahal Papa dulu 100 kali lebih keras dibandingkan kami. Setelah lebih tua, Papa ternyata menjadi lebih sensitif,” tuturnya.

***

Penulis berfoto bersama cucu-cucu dan cucu-cucu menantu Oma Katrina dalam berbagai kesempatan. Foto: dokumentasi Robert Adhi Ksp

Katrina senang berolahraga sejak muda hingga usia senjanya. Dia selalu mengingatkan kepada anak, menantu, cucu dan cicitnya untuk sering berolahraga, apapun jenisnya. Bab kelima mengulas tentang keluarga Wanandi yang rajin berolahraga, mulai dari tenis meja (pingpong), tenis lapangan, voli, renang, sampai golf karena olahraga merupakan “investasi” bagi kesehatan tubuh. Pertandingan olahraga antaranggota keluarga dan antargenerasi yang diinisiasi Katrina terbukti ampuh merekatkan keluarga besar Wanandi. 

Wandi Wanandi, anak sulung Sofjan Wanandi misalnya mengatakan, Oma Katrina mengajari cucu-cucunya melalui pertandingan olahraga antargenerasi tentang perlunya bekerja sama dalam tim meski berasal dari keluarga yang berbeda. “Oma juga mengajari kami tentang perlunya jiwa kompetisi dan wajib dilakukan dengan suka cita   dan gembira,” kata Wandi.  Adapun Wira Pranadi, anak kedua Ratna dan Adnan Pranadi — yang diajari sang nenek bermain pingpong sejak masih kecil mengungkapkan, “Saya belajar dari Oma, how to be a winner and enjoy the game at the same time.” 

Katrina memang memberi contoh dari dirinya sendiri. Pada usia senjanya, dia masih aktif berolahraga sehingga dia pernah dinobatkan sebagai pegolf tertua oleh Gunung Geulis Golf and Country Club di Bogor; juga pernah menjadi anggota tertua klub kebugaran Gold’s Gym yang pernah dimiliki cucunya, Francis Wanandi. 

Felicia, cucu perempuan pertama dalam keluarga Wanandi, mengagumi sang nenek yang tetap rajin berolahraga meski sudah lanjut usia. Kalau misalnya dia malas berolahraga, Felicia ingat Oma Katrina yang masih rajin berolahraga, teermasuk berenang di usia senja. “Ayo Feli, Oma yang sudah berumur pun, masih rajin berolahraga, rajin mengejar bola tenis, masak kamu malas sih,“ Feli berusaha memompa semangat dirinya. 

Bab keenam menceritakan beragam hobi Katrina mulai dari membaca, menikmati kuliner, sampai hang out bersama cucu dan cucu menantunya di kafe-kafe gaul di Jakarta. Katrina sendiri pandai memasak. Semua anak dan cucunya menyukai masakan ibu dan neneknya. Setiap kali mengunjungi cucu-cucunya yang sedang studi di Boston, Amerika Serikat misalnya, Katrina selalu meracik masakan padang.  

Katrina tidak tertinggal kabar terkini tentang beragam peristiwa di mancanegara dan di Indonesia. Dia bisa berdiskusi dengan Jusuf dan Sofjan tentang urusan politik dunia dan dalam negeri. Dia senang menonton berita di kanal televisi internasional, suka membaca majalah “Reader’s Digest”, dan membaca novel romansa. 

Bab ketujuh mengisahkan Katrina yang senang bepergian dan jalan-jalan keliling dunia. Bahkan pada usia senjanya, dia berani traveling sendirian tanpa didampingi anggota keluarganya.  Bagi Katrina, usia hanya sekadar angka. Dia lahir pada awal abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 sekaligus milenium baru, usianya mencapai angka 80. Justru pada masa itu, Katrina menikmati petualangan seru yang menakjubkan —yang belum pernah dicobanya — dan membuat hidupnya kian berwarna-warni. Katrina mencoba banyak hal, yang semuanya bernuansa petualangan (adventure), mulai dari rafting di Sungai Colorado, berkuda di ranch, naik balon udara di Amerika, sampai menikmati serunya jetski di Laut Mediterania. Ini semua membuktikan Katrina petualang sejati. 

Bahkan setelah matanya bermasalah, Katrina masih berkeinginan untuk memegang sakura yang bermekaran di Jepang. Dani dan istrinya Widya memberanikan diri untuk mewujudkan harapan sang nenek. Meski sempat diselimuti kekhawatiran akan kesehatan Oma Katrina selama perjalanan, mereka berdua akhirnya bersyukur dapat menyenangkan hati nenek tercinta. 

Bab kedelapan memuat beragam komentar anak, menantu, cucu, cucu menantu, cicit, dan kerabat tentang besarnya cinta Katrina terhadap keluarganya. Lilly, istri Michael Wanandi melihat bahwa hidup dan matinya Oma Katrina, rasa cinta dan pengabdiannya sebagai ibu, didedikasikan untuk anak- anaknya yang sangat dia kasihi. “Kalau punya 100, dia akan kasih itu 100 seutuhnya buat anak-anaknya. Kalau dia tidak mendapatkan balasan atas semua yang sudah dia berikan seperti yang dia harapkan, yah saya tidak pernah mendengar Oma mengeluh apalagi kecewa. Semua yang sudah diberikan Oma, tidak dia pegang buntutnya, artinya Oma benar-benar tulus, ikhlas, lepas, tanpa mengharapkan balasan dalam bentuk apapun juga,” kata Lilly.  

Peipei Admadjaja, istri Wandi Wanandi melihat Oma Katrina mau turun ke level cucu menantu. “Oma ingin diperlakukan sebagai salah satu dari kami, one of us.  Tidak seperti kebanyakan orang tua dalam tradisi kebudayaan Asia, Oma tidak suka ditempatkan sebagai sosok yang ditinggikan dan untouchable. Ini sungguh sesuatu yang unik,” kata Peipei.  

Widya Utami Johannes, istri Dani Wanandi, mengatakan, mengenal Oma Katrina secara mendalam dan menjadi bagian dari kehidupannya merupakan berkat bagi dirinya. “Saya tak pernah punya pengalaman buruk dengan Oma. Bertemu dengan Oma merupakan hari yang selalu ditunggu-tunggu. Benar-benar bukan merupakan beban,” cerita Widya.  

Luki Wanandi, anak kedua Sofjan berpendapat, Oma Katrina tidak ingin ada konfrontrasi dan adu argumentasi di antara anggota keluarga besar Wanandi. “Oma ingin kami semua harus akrab.  Kebersamaan dan kegembiraan keluarga merupakan blessing bagi Oma,” kata Luki.  

Paulus Wanandi, anak ketiga Sofjan menilai, setelah Opa Sofianto meninggal, personality Oma Katrina muncul. “Semua orang merasa dekat dengan Oma karena Oma orangnya very approachable and caring,” katanya. Adapun Amalia Kurniawan, istri Paulus berpendapat, Oma Katrina super granny yangberani melakukan traveling sendirian. “Saya benar- benar mengagumi Oma, nenek yang lincah banget, benar-benar down to earth. Oma selalu ingat semua tanggal ulang tahun kami. Meski hanya ngobrol dua-tiga menit, itu sudah cukup bagi Oma. Misalnya Witje berulang tahun, Oma tidak hanya menghubungi Witje, tetapi juga saya. Demikian sebaliknya kalau anak-anak kami berulang tahun, Oma menghubungi saya atau Witje. Ini sangat berkesan bagi saya,” ungkap Amalia.

Bernard Wanandi, anak kedua Rudy melukiskan,  “Oma Katrina selalu update informasi perkembangan keluarga besar Wanandi. Mengingat kami jarang bertemu dengan sepupu karena kesibukan bekerja, seringkali informasi terkini tentang sepupu, kami dapatkan dari Oma.” Sedangkan Marisca Valentina Herdianto, istri Bernard, mengaku banyak menyerap pesan penting dari Oma dari berbagai interaksinya dengan sang nenek. Salah satu yang diingat Icha — nama panggilan akrabnya — adalah, “Jangan pernah lu tinggal suami sarapan sendirian.” Saat itu, Icha masih bekerja sehingga Oma menyarankan agar dia menemani suami ngobrol dan sarapan lebih dahulu.

Bab kesembilan, bab pamungkas dalam buku ini, menceritakan tentang Katrina yang sudah “siap pergi” dan tentang harapan keluarga besar Wanandi setelah sang nenek tiada. 

Buku “Katrina, Pemersatu Keluarga Wanandi” sangat layak untuk dibaca oleh keluarga-keluarga Indonesia —yang memiliki banyak anggota keluarga yang sebagian besar terjun dalam dunia bisnis. Tidak banyak memang keluarga besar yang bisa sekompak keluarga Wanandi.  

Ucapan Terima Kasih

Penyusunan dan penulisan buku ini relatif cepat, sekitar tiga bulan, terutama jika dihitung sejak  wawancara pertama dengan Pak Jusuf Wanandi pada awal Maret 2022 dan pemeriksaan final draft naskah buku ini pada Juni 2022. Ini tentu bukan karena kehebatan saya sebagai penulis, tetapi terutama karena Tuhan yang memudahkan segala sesuatunya melalui tangan berbagai pihak sehingga buku ini dapat lebih cepat diselesaikan. 

Saya ingin menyampaikan terima kasih kepada Pak Jusuf Wanandi dan Pak Sofjan Wanandi yang memberi kesempatan kepada saya untuk menulis memoar Ibu Katrina, selain kepada Pak Biantoro “Willem” Wanandi dan Ibu Rikawati, Ibu Riantini Kiauw, Ibu Ratna Pranadi, Romo Markus Wanandi SJ, Pak Rudy Wanandi dan Ibu Ina Setioso, dan Pak Edward Wanandi dan Ibu Netty Tandusan — yang telah menyediakan waktu untuk kepentingan penyusunan dan penulisan buku ini. 

Penulis berfoto bersama Jusuf Kalla dan istrinya Mufidah di kediaman beliau di Jakarta Selatan. Foto: dokumentasi Robert Adhi Ksp

Kepada yang terhormat Bapak Jusuf Kalla (Wakil Presiden RI 2004-2009 dan 2019-2014) dan Ibu Mufidah yang bersedia menerima saya di kediaman di Jalan Brawijaya (dan menyajikan hidangan pisang goreng dan teh sore hari), Bapak Luhut Binsar Panjaitan, Menko Kemaritiman dan Investasi RI; dan Bapak Thomas J Donohue, mantan Presiden dan CEO Kadin Amerika Serikat (1997-2021) yang menulis catatan khusus tentang Ibu Katrina, saya haturkan terima kasih. 

Terima kasih kepada Pak Lilik Oetama, pemilik dan CEO Kompas Gramedia, yang merekomendasikan nama saya sebagai penulis buku, kepada Pak Rikard Bagun yang menghubungi saya pada Februari 2022, serta kepada Penerbit Buku Kompas yang menerbitkan buku ini.    

Secara khusus saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Felicia Wanandi,   terutama karena membantu mengomunikasikan berbagai hal penting terkait konten buku kepada cucu-cucu Oma Katrina — yang menjadi narasumber di buku ini. I owe you one. Terima kasih sebesar-besarnya kepada Mas Yudi, Dani dan Widya, Doni dan Julia, Michael dan Lilly, Francis dan Oche, Wandi dan Peipei (juga Bennett), Luki, Paulus dan Amalia, Wira, Adi, Albert dan Melissa, Bernard dan Marisca, Christian dan Mikuni, serta Patty, yang meluangkan waktu untuk diwawancarai.  Thanks a million!

Terima kasih kepada narasumber Pak Harry Tjan Silalahi, Ibu Clara Joewono, Pak Djisman Simandjuntak dari CSIS, juga Ibu Hetty Setiadi, Ibu Tjoa Kim Yen, Ibu Maria Sim (atas bantuan Pak Rudy), Ibu Willy Henriette Bootsma (atas bantuan Pak Willem), serta Mary Ann & Al Moschner,  Ann & Frank Burke, Romo Theodore Munz SJ (atas bantuan Pak Edward). Terima kasih juga kepada Ibu Rosita, sekretaris Pak Jusuf Wanandi di kantor CSIS di Jakarta; dan Ibu Lusianti Sari, sekretaris Pak Willem di kantor PT Anugerah Group (Combiphar) di Jakarta.

Salah satu kebahagiaan penulis adalah jika buku yang ditulis memberi manfaat dan inspirasi bagi para pembaca dan khalayak luas.

Serpong, 15 Juli 2022

Robert Adhi Ksp