ROBERT ADHI KSP

Liputan Sambas, Jumat 19 Maret 1999

Dor, dor, dor…. Suara tembakan berkali-kali terdengar keras memekakkan telinga. Saya langsung keluar dari mobil Daihatsu Rocky, mobil dinas kantor Kompas di Kalimantan Barat, dan langsung berlindung. Tembakan terus terdengar sekitar 20 menit. Massa yang sebelumnya ”membajak” mobil itu dengan memaksa masuk, duduk di dalam dan di kap mobil langsung lari berhamburan.

Sebelumnya, massa ”membajak” masuk ke dalam mobil. Dengan tenang, saya memenuhi permintaan mereka dan tetap menyetir untuk melanjutkan perjalanan. Dari dalam mobil, sekelompok orang yang membawa senjata duduk sambil berteriak-teriak ke luar. Empat-lima orang juga duduk di atas mobil, dan di bagian depan, di atas kap mesin sehingga menghalangi pandangan saya. Massa bermaksud ke markas Polres Sambas untuk ”menekan” polisi agar melepaskan teman-teman mereka yang ditahan.

Hari itu, Rabu, 7 April 1999, Daihatsu Rocky itu saya kendarai sendirian tanpa kawan menemani. Sejak pertikaian antaretnis terjadi pada  Februari 1999, saya berupaya ke lokasi peristiwa.

Photo by Gratisography on Pexels.com

Kali itu, tujuan saya memang ke Markas Polres Sambas di Singkawang. Namun, saya bertujuan untuk meminta konfirmasi tentang kondisi terkini kepada Kapolda Kalimantan Barat (saat itu) Kolonel (sekarang disebut Komisaris Besar/Kombes) Chaerul Rasjidi yang saat itu saya ketahui berada di Markas Polres Sambas.

Mobil dinas Kompas baru melaju beberapa ratus meter ketika letusan tembakan terdengar. Ternyata di depan, Pasukan Anti-Huru-Hara (PHH) menghadang di Desa Sungaigaram, Kecamatan Tujuhbelas, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Massa menggunakan truk, sepeda motor, dan berjalan kaki berusaha menembus hadangan polisi dan menerobos pagar betis PHH. Pada saat itulah aparat melepaskan tembakan dengan peluru karet dan peluru tajam.

Chaerul Rasjidi bersama Komandan Korem 121 (saat itu) Kolonel (Inf) Encip Kadarusman ternyata memimpin langsung pengamanan. ”Saya tidak akan memenuhi tuntutan massa yang menghendaki tersangka dilepas. Sebab, untuk meminta penangguhan penahanan, ada prosedur yang harus dipenuhi,” ujar Chaerul.

Korban berjatuhan. Dari 11 korban tewas, delapan orang terkena peluru karet dan tiga orang terkena peluru tajam. ”Saya mendapat perintah langsung dari Menhankam dan Kapolri untuk mengambil tindakan keras. Tembakan dilepaskan karena massa yang menggunakan truk mencoba menabrak pasukan keamanan di Desa Sungaigaram. Massa betul-betul sudah liar,” kata Chaerul. Hari Rabu itu, 15 orang ditahan.

Pengalaman saya ketika mobil dinas Kompas itu dibajak merupakan salah satu dari sekian banyak pengalaman saya selama meliput pertikaian etnis di Kalimantan Barat.

Pengalaman saya ketika mobil dinas itu dibajak merupakan salah satu dari sekian banyak pengalaman saya selama meliput pertikaian etnis di Kalimantan Barat. Mengetahui kejadian itu, Chaerul kemudian menepuk-nepuk pundak saya dan mengatakan, ”Anda memang pemberani!”

ROBERT ADHI KSP

Mengetahui kejadian itu, Chaerul kemudian menepuk-nepuk pundak saya dan mengatakan, ”Anda memang pemberani!”

Pernyataan Kapolda diungkapkan karena dia mengetahui bagaimana saya tetap berusaha tenang meskipun massa bersenjata tajam ”mengepung” lalu ”membajak” mobil yang saya kendarai. Saat itu, saya merasa berniat baik sehingga tidak ada yang perlu saya khawatirkan. Saya berdoa kepada Tuhan dan memohon agar malaikat pelindung melindungi saya dari marabahaya.

Kolonel Encip meminta saya lebih berhati-hati setiap kali meliput. Situasi memang tidak dapat ditebak.

Saat itu, saya merasa berniat baik sehingga tidak ada yang perlu saya khawatirkan. Saya berdoa kepada Tuhan dan memohon agar malaikat pelindung melindungi saya dari marabahaya. Kolonel Encip Kadarusman meminta saya lebih berhati-hati setiap kali meliput. Situasi memang tidak dapat ditebak.

ROBERT ADHI KSP
Liputan Sambas di Harian Kompas, Senin 22 Maret 1999

Masih terekam dalam ingatan


Nama Sambas memang tidak pernah saya lupakan dalam perjalanan jurnalistik saya di harian Kompas. Ketika saya mendapat tugas di Kalimantan Barat sebagai Koordinator Wilayah (Kepala Biro) Kalimantan tahun 1997, saya sudah mendengar bahwa salah satu peristiwa yang sewaktu-waktu bisa terjadi adalah kerusuhan antaretnis.

Saya tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari saya betul-betul meliput konflik. Peristiwa itu terjadi sporadis pada Januari dan Februari 1999 serta baru meluas pada Maret 1999. Sampai detik ini, peristiwa itu masih terekam dengan baik dalam ingatan saya. Ketika itu, masa transisi dari rezim Soeharto ke pemerintahan reformasi BJ Habibie.

Beberapa kali, saya ditanya mengapa saya sangat berani ke berbagai lokasi kerusuhan, sendirian naik mobil dinas Kompas, bahkan sampai ke Paloh, di ujung utara Kabupaten Sambas?

Saya yakin jika saya punya niat baik, Tuhan akan menolong dan melindungi saya. Niat baik itu tecermin dalam liputan yang berimbang dan adil. Saya juga tidak memprovokasi pihak-pihak yang bertikai.

ROBERT ADHI KSP

Saya yakin jika saya punya niat baik, Tuhan akan menolong dan melindungi saya. Niat baik itu tecermin dalam liputan yang berimbang dan adil. Saya juga tidak memprovokasi pihak-pihak yang bertikai.

Background saya sebagai wartawan kriminal yang terbiasa meliput kejahatan dan kekerasan, dari korban, pelaku, sampai polisi, sedikit banyak membuat saya terbiasa menyaksikan kekerasan dalam arti sebenarnya. Entah kenapa, adrenalin saya langsung naik ketika meliput peristiwa ini. ”Ini baru berita,” kata saya dalam hati.

Liputan Sambas di Harian Kompas, Selasa 23 Maret 1999

Seorang kawan saya, wartawan dari Pontianak menangis ketika menyaksikan kekerasan di depan matanya. ”Bang, saya pulang saja,” ucapnya terbata-bata sambil menangis. Dia memang menumpang mobil dinas Kompas dari Pontianak ke Sambas. Saya katakan bahwa saya tetap di Sambas untuk meliput tragedi kemanusiaan ini.

Ketika peristiwa pemicu terjadi pertengahan Maret 1999, saya ke lokasi kejadian selama berhari-hari. Saya ditelepon wartawan CNN dari Jakarta dan wartawan Radio BBC dari London yang menanyakan situasi di lapangan dan mewawancarai saya melalui telepon. Saya jelaskan situasi di sana. Entah dari mana wartawan-wartawan asing ini mendapatkan nomor telepon genggam saya.

Saya ditelepon CNN dan Radio BBC dari London yang menanyakan situasi di lapangan dan mewawancarai saya melalui telepon. Saya jelaskan situasi di sana. Entah dari mana wartawan-wartawan asing ini mendapatkan nomor telepon genggam saya.

ROBERT ADHI KSP

Sejumlah wartawan media asing, di antaranya dari CNN dan Radio Perancis, sengaja menumpang menonton rekaman video yang saya putar di kantor Kompas di Pontianak. Beberapa kawan terkejut ketika tahu saya memiliki rekaman video.

”Mengapa Anda tidak menjual video ini? Pasti Anda akan mendapatkan banyak uang,” kata wartawati asal Perancis itu. Mungkin dia berusaha membujuk saya.

”Maaf, jika saya menjual video ini kepada kalian wartawan asing, rekaman ini akan beredar di seluruh dunia. Dampaknya? Nama Indonesia akan buruk. Saya tidak akan melakukan itu. Saya cinta negara ini,” jawab saya serius. Wartawati Radio Perancis itu cuma mengangguk-angguk.

Maaf, jika saya menjual video ini kepada kalian wartawan asing, rekaman ini akan beredar di seluruh dunia. Dampaknya? Nama Indonesia akan buruk. Saya tidak akan melakukan itu. Saya cinta negara ini.

ROBERT ADHI KSP

Sejak bertugas di Kalbar, saya memang sering membawa-bawa kamera handycam (bentuknya masih besar). Saya beberapa kali merekam perjalanan saya ke hutan belantara Kalbar dengan handycam itu. Salah satunya adalah saat bersama-sama WWF dan ahli dari IPB ke Taman Nasional Bentuang Karimun (kini: Betung Kerihun) di Kapuas Hulu, Kalbar. Kebiasaan membawa handycam ini sangat berguna.

Pada hari-hari berikutnya, saya juga kedatangan “tamu” dari Jakarta, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, antropolog Parsudi Suparlan, dan sosiolog Sardjono Yatiman, semuanya dari Universitas Indonesia. Pakar-pakar tersebut menonton video yang sempat saya rekam dari lokasi peristiwa.

Setelah menonton video itu, mereka heran dengan keberanian dan energi saya. Ini tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya.

Pada hari-hari berikutnya, saya juga kedatangan “tamu” dari Jakarta, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, antropolog Parsudi Suparlan, dan sosiolog Sardjono Yatiman, semuanya dari Universitas Indonesia. Pakar-pakar tersebut menonton video yang sempat saya rekam dari lokasi peristiwa. Setelah menonton video itu, mereka heran dengan keberanian dan energi saya. Ini tercermin dari pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan kepada saya.

ROBERT ADHI KSP

Penting juga untuk diketahui, ketika peristiwa itu terjadi, kamera belum berformat digital sehingga foto-foto yang saya ambil dalam bentuk rol. Rol film itu saya kirim ke jasa pengiriman di Singkawang, lalu mereka membawanya ke kantor Kompas di Pontianak. Oleh karyawan Kompas di sana, rol film itu dikirim ke Bandara Supadio, untuk kemudian dikirim dengan pesawat paling pagi.

Jadi, foto-foto yang terbit di harian Kompas tak bisa selalu fresh. Tapi saya jamin, foto-foto itu eksklusif karena tak ada wartawan lain yang (berani) berada di lokasi kejadian.

Bagaimana cara mengirim berita? Saya menggunakan jalur telepon Hotel Mahkota di Singkawang, tempat saya menginap berhari-hari di sana. Pada masa itu harian Kompas sudah menggunakan modem. Meski butuh waktu, berita dapat dikirim ke redaksi di Palmerah.

Meliput konflik dengan adil


Bagaimana meliput konflik antaretnis dengan adil dan tidak berpihak sehingga ketika melakukan perjalanan jauh dan sendirian, saya tidak ”diganggu”? Sebagai wartawan, saya memang dituntut untuk berdiri di tengah, adil, fair, memberitakan dari berbagai sisi dengan imbang. Pengetahuan itu sudah saya ketahui dari bacaan buku-buku ataupun di bangku kuliah di Bandung.

Namun, ketika menghadapi situasi nyata di lapangan, saya menyadari ini bukan sekadar teori jurnalistik. Saya harus menerapkannya. Sekali saya berpihak maka tidak akan mudah lagi untuk mendatangi apalagi meliput kubu A atau kubu B. Padahal, saya harus memberitakan tiap kejadian seobyektif mungkin. Bila perlu juga mendapat konfirmasi dari pihak berlawanan.

Sekali saya berpihak maka tidak akan mudah lagi untuk mendatangi apalagi meliput kubu A atau kubu B. Padahal, saya harus memberitakan tiap kejadian seobyektif mungkin. Bila perlu juga mendapat konfirmasi dari pihak berlawanan.

ROBERT ADHI KSP

Kemudian, atas inisiatif sendiri, saya menghubungi kantor Kompas di Jakarta untuk berbicara dengan Sekretaris Redaksi (saat itu) Bambang SP. Kami berdiskusi terkait kemungkinan untuk menyerahkan bantuan pembaca Kompas kepada para pengungsi. Saya kemudian meminta agar Kompas juga memberi bantuan kepada tokoh masyarakat dua etnis lainnya, juga kepada aparat Polri dan TNI. Bambang menyetujui usul saya.

1999: Saya menyerahkan bantuan pembaca Kompas berupa kompor untuk para pengungsi Madura di Kota Pontianak. Bantuan diterima secara simbolis oleh Ketua Ikatan Keluarga Masyarakat Madura Kalimantan Barat, H. Sulaiman. Foto dokumentasi Robert Adhi Ksp

Jadi, selain menggarap liputan lapangan ke lokasi-lokasi yang menjadi korban pertikaian di wilayah Sambas, saya juga harus bolak-balik Sambas-Pontianak. Waktu tempuh Singkawang-Pontianak sekitar 3,5 jam.

Di Pontianak, Saya harus membeli pakaian seragam sekolah, kompor, dan peralatan sehari-hari untuk keluarga pengungsi, untuk kemudian saya serahkan kepada tokoh masyarakat etnis yang menjadi korban pertikaian. Di Pontianak, saya dibantu Jannes Eudes Wawa, yang saat itu belum lama bergabung dengan Kompas.

1999: Saya menyerahkan bantuan pembaca Kompas berupa sarung kepada para pengungsi Madura di Kota Pontianak, disaksikan Ketua Ikatan Keluarga Masyarakat Madura Kalimantan Barat, H. Sulaiman (berpeci).

Selain meliput peristiwa konflik, saya juga mewakili harian Kompas menyerahkan bantuan pembaca Kompas kepada Ketua Ikatan Keluarga Madura (Ikamra) Kalimantan Barat H Sulaiman di Pontianak tahun 1999.

Saya juga menyerahkan bantuan ala kadarnya kepada tokoh dua etnis lainnya serta kepada TNI dan Polri sebagai simbol bahwa Kompas adil dan tidak berpihak. Ini juga penting bagi saya agar saya tetap aman selama meliput sendirian di lokasi-lokasi yang jauh.

Setidaknya, tokoh-tokoh masyarakat dan pimpinan aparat keamanan itu sudah mengenali mobil dinas yang saya kendarai dan mengenali wajah saya selama meliput.

Selain meliput peristiwa konflik, saya juga mewakili harian Kompas menyerahkan bantuan pembaca Kompas kepada Ketua Ikatan Keluarga Madura (Ikamra) Kalimantan Barat H Sulaiman di Pontianak tahun 1999.

ROBERT ADHI KSP

Pekerjaan ini jelas tidak ringan. Saya harus menyetir sendiri mobil ke mana-mana ke wilayah kerusuhan, mencari bahan-bahan dari lapangan dan lokasi kejadian, mewawancarai berbagai narasumber, mengambil foto dan merekam video, sampai harus membeli barang-barang untuk para pengungsi di Pontianak. Itu semua saya jalankan dengan passion sebagai wartawan Kompas.

1999: Saya menyerahkan bantuan alat-alat tulis/belajar dan seragam sekolah untuk siswa SD yang menjadi pengungsi di Pontianak melalui Dinas Pendidikan setempat.

Satu pengalaman yang masih saya ingat adalah di antara ketegangan dan kelelahan yang saya alami setiap hari di lokasi konflik tersebut, saya ditelepon Pak Jakob Oetama. “Bagaimana kabar Bung Adhi? Bagaimana situasi terakhir di sana? Apa duduk perkara dan akar masalahnya?” Pak Jakob rupanya akan menulis Tajuk Rencana dan beliau bertanya lebih dahulu kepada wartawan yang berada di lapangan.

Satu pengalaman yang masih saya ingat adalah di antara ketegangan dan kelelahan yang saya alami setiap hari di lokasi konflik tersebut, saya ditelepon Pak Jakob Oetama yang akan menulis Tajuk Rencana tentang konflik ini.

Terbayang kan apa yang saya kerjakan setiap hari selama dua-tiga bulan di lapangan dalam situasi di Sambas yang menegangkan dan mencekam? Setiap hari, ada saja korban konflik berjatuhan. Saya mendatangi lokasi peristiwa, mencatat, mengambil foto (dan video), dan menghubungi berbagai pihak agar liputan berimbang.

Saya menyetir sendiri mobil dinas ke lokasi yang jaraknya relatif jauh dan sepi sambil berpikir “angle” dan “lead” serta konten yang akan ditulis untuk koran besok, mengirim berita via modem hotel (Pernah kan mengirim berita via modem? Kalau gagal, dimulai lagi dari awal), dan mengirim foto dalam bentuk rol (ke kantor jasa pengiriman di Singkawang-Pontianak, dan dilanjutkan Pontianak-Jakarta).

Selain itu, saya juga harus melaksanakan pekerjaan tambahan –yang ini demi kemanusiaan–, yaitu bolak-balik Sambas-Pontianak, membeli barang bantuan pembaca untuk para pengungsi di Pontianak.

1999: Saya berfoto bersama anak-anak pengungsi dan pejabat Dinas Pendidikan seusai menyerahkan bantuan pembaca Kompas. (Apa kabar anak-anak ini pada tahun 2020 ya?)

Itu semua dikerjakan sendirian! Pada hari-hari awal konflik, belum ada wartawan yang berani ke lokasi. Bahkan satu teman wartawan TV hanya satu hari ke Sambas, setelah itu langsung balik ke Pontianak, dan tidak berani lagi ke lokasi.

Ketika mengingat-ingat lagi, saya berpikir, betapa besar keberanian saya dan energi saya untuk sanggup mengelola waktu, menjaga emosi, mengelola stres (sudah terbayang kan apa yang saya hadapi pada saat itu?), serta tetap mampu menjaga kesehatan fisik dan juga mental untuk mengerjakan semuanya sendirian.

1999: Saya berfoto bersama anak-anak pengungsi dan pejabat Dinas Pendidikan seusai menyerahkan bantuan pembaca Kompas berupa alat-alat tulis/belajar dan seragam sekolah. (Apa kabar anak-anak ini pada tahun 2020 ya?)

Kalau ada yang bertanya, dalam liputan jurnalistik apa, Anda betul-betul menjadi wartawan sejati? Jawaban saya hanya satu: saat meliput konflik di Sambas pada 1999. Saya betul-betul menjadi seorang wartawan sejati sekaligus pejuang kemanusiaan. (Saya bersyukur pada Tuhan karena sampai hari ini, saya masih sehat fisik dan mental).

Suatu hari nanti saya akan menulis buku dari pengalaman jurnalistik yang menegangkan dan mendebarkan ini. Kisah nyata atau novel fiksi? Bagaimana menurut Anda?

Betapa besar keberanian saya dan energi saya untuk sanggup mengelola waktu, menjaga emosi, mengelola stres (sudah terbayang kan apa yang saya hadapi pada saat itu?), serta tetap tetap mampu menjaga kesehatan fisik dan juga mental untuk mengerjakan semuanya sendirian. Di sini, saya betul-betul menjadi seorang wartawan sejati sekaligus pejuang kemanusiaan.

ROBERT ADHI KSP

CATATAN: Tulisan ini direvisi pada 22 April 2020, termasuk penambahan foto-foto. Maaf, hanya foto-foto penyerahan bantuan kepada pengungsi, yang bisa saya unggah di blog ini.

Covering Ethnic Conflict in West Kalimantan

by ROBERT ADHI KSP

Bang, bang, bang… Gunshots exploded all around me, each one echoing in my ears. I sprang from the Daihatsu Rocky, the Kompas Daily car, and dove for cover. For twenty relentless minutes, the gunfire raged. The mob that had just hijacked the car—cramming inside and clinging to the hood—scattered in panic.

Previously, the crowd “hijacked” the car. Calmly, I complied with their request and continued driving. From inside the vehicle, a group of people carrying guns sat outside shouting. Four or five people were also sitting on top of the car, blocking my view in the front, on the hood. The crowd intended to go to the Sambas Police headquarters to “pressure” the police to release their detained friends.

That day, Wednesday, 7 April 1999, I drove the Daihatsu Rocky alone, without any friends. Since the inter-ethnic clashes occurred in February 1999, I have been trying to get to the location of the incident.

That time, my destination was the Sambas Police Headquarters in Singkawang. However, I intended to ask for confirmation of the current conditions from the West Kalimantan Regional Police Chief (at the time), Colonel (now called the Chief Commissioner/Kombes) Chaerul Rasjidi, whom I knew was at the Sambas Police Headquarters.

The Kompas official car had only driven a few hundred meters when gunshots were heard. It turned out that ahead, the Anti-Riot Squad (PHH) was blocking Sungaigaram Village, Tujuhbelas District, Sambas Regency, West Kalimantan. The crowd used trucks, motorbikes, and people on foot to try to break through the police and the PHH posse. That’s when the authorities opened fire with rubber bullets and live ammunition.

Chaerul Rasjidi, together with the Commander of Korem 121 (at the time), Colonel (Inf) Encip Kadarusman, apparently led security directly. “I will not fulfill the demands of the masses who want the suspect to be released. Because to request a suspension of detention, some procedures must be fulfilled,” said Chaerul.

Victims fell. The 11 victims killed were hit by bullets. “I received direct orders from the Minister of Defense and Security and the National Police Chief to take strong action. Shots were fired because the crowd, using trucks, tried to hit the security forces in Sungaigaram Village. The crowd really went wild,” said Chaerul. That Wednesday, 15 people were detained.

Having the Kompas car hijacked was just one chapter in my long, harrowing journey covering the ethnic clashes in West Kalimantan.

Upon learning about this incident, Chaerul patted me on the shoulder and said, “You are indeed brave!”

The Regional Police Chief said this because he saw how I stayed calm, even as a mob wielding blades surrounded and hijacked my car. I believed my intentions were good, so fear never took hold. I whispered a prayer, asking God to send a guardian angel to shield me from harm.

Colonel Encip asked me to be more careful every time I reported. The situation is unpredictable.

That moment is etched in my memory.

I will never forget the name Sambas in my journalistic journey at Kompas Daily. When I was assigned to West Kalimantan as the Kalimantan Regional Coordinator (Bureau Head) in 1997, I had heard that one incident that could occur at any time was inter-ethnic rioting.

Never did I imagine I would become a war correspondent. The violence flared up in January and February 1999, then erupted across the region by March. Even now, those days remain vivid in my mind. It was a time of upheaval, as Indonesia shifted from the Soeharto era to the reformist government of BJ Habibie.

People often asked how I found the courage to drive alone into riot zones, even as far as Paloh at the northern edge of Sambas Regency, in the Kompas car.

I believe that if I have good intentions, God will help and protect me. These good intentions are reflected in balanced and fair coverage. I also did not provoke the conflicting parties.

Years of covering crime—interviewing victims, perpetrators, and police—had hardened me to violence. Yet, as I plunged into this conflict, adrenaline surged through me. I reminded myself, this was just another story to tell.

A fellow journalist from Pontianak broke down in tears at the sight of the violence. “Bro, I just want to go home,” she sobbed. She had traveled with me in the Kompas car from Pontianak to Sambas, but I told her I would stay and bear witness to this humanitarian tragedy.

When the triggering incident occurred in mid-March 1999, I went to the scene for days. I was called by a CNN journalist from Jakarta and a BBC Radio journalist from London, who asked about the situation on the ground and interviewed me by telephone. I explained the situation there. I don’t know where these foreign journalists got my cell phone number.

Journalists from BBC, Radio France, and other foreign outlets crowded around the videotape I played at the Kompas office in Pontianak. Friends were astonished to discover I had captured these moments on film.

“Why don’t you sell this video? You will definitely get a lot of money,” said the French journalist. Maybe he was trying to persuade me.

“Sorry, if I sell this video to you, foreign journalists, this recording will circulate throughout the world. The impact? Indonesia’s name will be bad. I won’t do that. I love this country,” I answered thoughtfully. The French Radio journalist just nodded.

Ever since I arrived in West Kalimantan, my trusty, bulky handycam has been my constant companion. I filmed countless journeys into the wild, including an expedition with WWF and IPB experts to Bentuang Karimun National Park. That habit of always carrying a camera proved invaluable.

In the following days, I also had “guests” from Jakarta, psychologist Sarlito Wirawan Sarwono, anthropologist Parsudi Suparlan, and sociologist Sardjono Yatiman, all from the University of Indonesia. These experts watched the video I recorded at the scene of the incident.

After watching the footage, they marveled at my courage and stamina, their questions revealing just how much my experience had impressed them.

It is also important to note that when this incident occurred, the camera was not yet digital, so the photos I took were on film. I sent the roll of film to a delivery service in Singkawang, then they took it to the Kompas office in Pontianak. Kompas employees were there; the roll of film was sent to Supadio Airport, where it was then flown in the morning.

The photos in Kompas Daily might not have been the freshest, but I can promise they were exclusive—no other journalist dared to get that close to the action.

How to send news? I used the telephone line at Hotel Mahkota in Singkawang, where I stayed for days. At that time, the Kompas Daily was already using a modem. Even though it takes time, the news can be sent to the editorial staff in Palmerah.

Report the conflict with unwavering fairness.

How do I cover inter-ethnic conflicts fairly and impartially so that when I travel long distances and alone, I am not “harassed”? As a journalist, I am required to stand in the middle, be fair, and report from various sides in a balanced manner. I already know this knowledge from reading books or at college in Bandung.

However, when I faced real situations in the field, I realized this was not just a journalistic theory. I have to implement it. Once I take a side, it will no longer be easy to go to, let alone cover, camp A or camp B. In fact, I have to report each incident as objectively as possible. If necessary, obtain confirmation from the opposing party as well.

Then, on my own initiative, I contacted the Kompas office in Jakarta to speak with the Editorial Secretary (at that time), Bambang SP. We discussed the possibility of handing over the Kompas reader assistance to the refugees. I then asked Kompas to also provide assistance to community leaders from two other ethnic groups, as well as to the National Police and TNI officers. Bambang agreed to my proposal.

Beyond reporting from the heart of the conflict in Sambas, I shuttled constantly between Sambas and Pontianak—a grueling 3.5-hour journey from Singkawang each way.

In Pontianak, I had to buy school uniforms, stoves, and daily equipment for refugee families, which I then handed over to ethnic community leaders who were victims of conflict. In Pontianak, I was assisted by Jannes Eudes Wawa, who had recently joined Kompas.

Apart from covering conflict incidents, I also represented the Kompas Daily in handing over assistance from Kompas readers to the Chairman of the West Kalimantan Madurese Family Association (Ikamra), H Sulaiman, in Pontianak in 1999.

I also offered modest assistance to leaders of the other two ethnic groups and to TNI and Polri officers as a gesture of Kompas’s fairness. This was my way of ensuring both impartiality and my own safety while reporting solo in remote areas.

At least, the community figures and leaders of the security forces recognized the official car I was driving and recognized my face during the reporting.

This work was anything but easy. I drove myself into riot zones, gathered stories and evidence, interviewed sources, snapped photos, shot video, and even shopped for refugee supplies in Pontianak. Through it all, my passion as a Kompas journalist never wavered.

One experience I still remember is that, amidst the tension and fatigue I experienced every day at the conflict location, I was called by Mr. Jakob Oetama. “How is Bung Adhi? What is the latest situation there? What is the problem and the root of the problem?” Pak Jakob apparently wanted to write an editorial, and he asked the journalists in the field first.

Imagine spending two or three months in the field, day after day, under the constant tension of Sambas. Each day brought new victims. I visited scenes of tragedy, took notes, snapped photos and video, and reached out to all sides to keep my reporting balanced.

I drove the official car myself to a location that was relatively far away and quiet while thinking about “angle” and “lead” as well as the content that would be written for tomorrow’s newspaper, sent news via the hotel modem (Have you ever sent news via a modem? If it fails, start again from the beginning), and sent photos in roll form (to the delivery service office in Singkawang-Pontianak, and continued Pontianak-Jakarta).

On top of everything, I took on extra work for humanitarian reasons—making repeated trips between Sambas and Pontianak to buy reading materials for the refugees.

I did it all on my own. In those early days, no other journalists dared set foot in the conflict zone. One TV journalist friend lasted just a day in Sambas before fleeing back to Pontianak, never to return.

Looking back, I marvel at the courage and stamina it took to juggle time, rein in my emotions, manage relentless stress, and still keep my body and mind intact—all while working alone.

If you ask me when I truly became a journalist, my answer is simple: covering the Sambas conflict in 1999. That was when I became both a reporter and a defender of humanity. I thank God I remain healthy in body and mind to this day.

One day, I will turn this tense, electrifying experience into a book.