
Arsip Kompas, 24 April 1979: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (berkacamata) meninjau usaha penyelamatan Candi Borobudur.
ROBERT ADHI KSP
Tahun 1969, Sofjan Wanandi (aktivis 1966 yang dikenal dengan nama Liem Bian Koen) ditugasi Ali Moertopo (saat itu Asisten Pribadi bidang Khusus Presiden Soeharto) untuk berkeliling Eropa. Sofjan menemui tokoh-tokoh intelektual muda Indonesia di sejumlah kota di Eropa.
Salah satunya, Daoed Joesoef, yang saat itu Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Perancis. Pada 1969, Daoed sedang menyelesaikan program master di Universite de Paris I, Pantheon-Sorbonne, Perancis.
Sofjan Wanandi bertugas menjelaskan arah perjuangan Orde Baru kepada para intelektual muda Indonesia yang sedang belajar di sejumlah kota di Eropa itu. Selain Daoed Joesoef (PPI Perancis), Sofjan juga berdiskusi dengan Hadi Soesastro (PPI Jerman), Biantoro Wanandi (PPI Swiss), dan lainnya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Sorbonne, Daoed Joesoef bersama sejumlah intelektual Indonesia lain, di antaranya Panglaykim, Harry Tjan Silalahi, kakak beradik Jusuf Wanandi dan Sofjan Wanandi, mendirikan lembaga think-tank bernama Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1 September 1971.
Daoed Joesoef kelahiran Medan, 8 Agustus 1926, merupakan salah satu direktur pertama CSIS dan memimpin lembaga intelektual itu sehingga menjadi institusi yang disegani dunia internasional, termasuk menggagas kerja sama ASEAN dan APEC.
”Pak Daoed memikirkan berbagai masalah strategis yang dibutuhkan Indonesia, termasuk masalah pertahanan. Pada saat itu belum ada pemikir Indonesia yang memikirkan sejauh itu,” kata Sofjan Wanandi kepada Kompas, Rabu (24/1/2018) pagi, ketika dimintai pendapat tentang koleganya itu.
Menurut Sofjan, jasa Daoed Joesoef terhadap CSIS sangat besar. ”Pak Daoed-lah yang mendirikan fondasi sehingga CSIS diakui dunia internasional dan sampai sekarang masih eksis, diteruskan oleh generasi ketiga,” katanya.
Jasa Daoed Joesoef terhadap CSIS sangat besar. Pak Daoed-lah yang mendirikan fondasi sehingga CSIS diakui dunia internasional dan sampai sekarang masih eksis, diteruskan oleh generasi ketiga
Sofjan Wanandi
Pada 1978, Daoed Joesoef ditunjuk Presiden Soeharto sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
”Pak Daoed peduli dengan dunia pendidikan di Indonesia. Salah satu kebijakan yang dia terapkan adalah melarang mahasiswa berpolitik praktis di dalam kampus. Pak Daoed mengarahkan mahasiswa untuk belajar dan menyelesaikan kuliahnya, dan bukan dengan berpolitik praktis. Untuk itu, Pak Daoed berani untuk tidak populer,” ungkap Sofjan.
Sofjan Wanandi sempat membesuk Daoed Joesoef, Selasa siang, di RS Medistra, Jakarta, ketika kondisi kesehatannya dalam keadaan kritis. ”Saya melihat kondisi Pak Daoed sudah berat. Beliau sulit makan,” katanya. Daoed Joesoef meninggal dunia, Selasa tengah malam, pada usia menjelang 92 tahun.
Dua tahun lalu (2016), Daoed Joesoef bekerja keras untuk dapat menyelesaikan memoarnya yang terbit ketika dia berusia 90 tahun. ”Beliau bekerja keras untuk dapat menyelesaikan memoarnya meski dalam kondisi kesehatan yang menurun,” kata Sofjan.
Kehidupan kampus
Salah satu kebijakan Daoed Joesoef yang dianggap kontroversial adalah normalisasi kehidupan kampus (NKK).
Daoed Joesoef memulihkan kehidupan kampus secara antarsektor dan antarkementerian. Dalam menormalisasi kehidupan kampus, dia sudah memperhitungkan mekanisme komunikasi antara mahasiswa dan pemerintah. Para rektor mendapat tugas mempersiapkan pelaksanaan penataan kembali kehidupan kampus dalam waktu satu bulan.
Konsep Daoed Joesoef tentang normalisasi kampus tidak menyempitkan aktivitas mahasiswa, tetapi malah memperluasnya. Dalam konsep itu, Daoed Joesoef menggariskan bahwa mahasiswa bertugas memperkuat penalaran individual, sedangkan pikiran sesuatu yang paling luas.
Dua kebijakan lain yang diterapkan sampai sekarang adalah penerapan awal tahun ajaran baru dimulai pada Juli dan kebijakan siswa tetap bersekolah selama Ramadhan.
Kebiasaan menulis dan membaca
Daoed Joesoef memberi contoh nyata. Pada usia mencapai 90 tahun pun, dia masih menulis dan membaca.
Menulis dan membaca memang menjadi salah satu perhatiannya ketika menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Daoed Joesoef sudah berpikir jauh ke depan, anak-anak Indonesia harus memiliki kebiasaan membaca sejak dini.
Daoed mengidam-idamkan masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan membaca karena masyarakat yang tidak punya kebiasaan membaca akan dilindas dan ditinggalkan. Dia melihat perpustakaan sekolah merupakan sarana penyiap bagi anak-anak usia sekolah yang menjalani pendidikan formal untuk mencapai masyarakat yang memiliki kebiasaan membaca.

Arsip Kompas 1979: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef dalam sebuah pameran buku di Jakarta, 27 Desember 1979.
”Bagaimana bisa menciptakan masyarakat yang mempunyai kebiasaan membaca jika anak didik sejak dini tidak disiapkan melalui kebiasaan membaca di sekolah? Bangsa Indonesia tidak akan mampu bersaing dengan bangsa lain jika kebiasaan membaca tidak ditanamkan sejak dini,” kata Daoed (Kompas Siang epaper, 23 Agustus 2014).
Daoed Joesoef mengidam-idamkan masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan membaca karena masyarakat yang tidak punya kebiasaan membaca akan dilindas dan ditinggalkan
Dalam berbagai kesempatan saat menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef menilai makin banyak keluarga yang mampu membeli bahan bacaan bermutu untuk keluarga. Jika buku sudah selesai dibaca, supaya tak jadi hiasan belaka, sebaiknya diserahkan ke perpustakaan agar masyarakat tak mampu dapat ikut menikmati buku-buku itu.
Daoed Joesoef yang juga Pembina Yayasan CSIS berpendapat, penciptaan dan penyebarluasan buku di kalangan masyarakat Indonesia merupakan bagian integral dari proses membaca, menulis, berpikir, dan belajar. Proses itu bagian dari pendidikan kemanusiaan sehingga penciptaan dan penyebaran buku merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional.
Negara-negara maju yang jumlah penduduknya hanya 30 persen dari jumlah penduduk dunia menghasilkan 81 persen jumlah judul buku yang terbit di dunia. Sementara rakyat negara-negara berkembang yang jumlahnya 70 persen dari rakyat seluruh dunia hanya menghasilkan 19 persen. Indonesia termasuk negara terendah yang memproduksi buku.
Ketika menjadi menteri, Daoed Joesoef mewajibkan siswa mengarang dan mengulas buku-buku fiksi dan ilmiah populer dan itu masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Ketika menjadi menteri, Daoed Joesoef mewajibkan siswa mengarang dan mengulas buku-buku fiksi dan ilmiah populer dan itu masuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Daoed Joesoef yang sudah menulis sedikitnya delapan buku dan ratusan artikel berpendapat, bangsa Indonesia harus belajar terus-menerus seumur hidup.
Kesenian dan kebudayaan
Daoed Joesoef, sarjana ekonomi Indonesia (1959), yang menyelesaikan program master dan doktor di Universite de Paris, Perancis, mengatakan, kampus akan menjadi terlalu kering jika kesenian dan kebudayaan tidak mendapat tempat yang wajar.
Rektor harus memberi perhatian kepada peningkatan apresiasi seni, olahraga, dan kegiatan penyegaran jasmani. Rektor harus menyadari bahwa perguruan tinggi tidak hanya merupakan lingkungan belajar-mengajar, tetapi juga lingkungan pendidikan dan pembinaan mental.
Dia berpendapat, pendidikan kesenian harus ditangani sungguh-sungguh dan dikaitkan dalam pendidikan anak sejak dini. Tujuannya memberikan cakrawala lebih luas kepada anak didik sehingga dia bisa mengembangkan sendiri citra keseniannya dengan tetap pada lingkup kebudayaan nasional Indonesia.
Saat menjadi menteri, Daoed Joesoef membangun Taman Budaya di seluruh provinsi di Indonesia. Hal itu untuk menanggulangi pengaruh kebudayaan kaset yang menggusur kesenian tradisional.
Daoed Joesoef mengatakan, modal pokok pendidikan adalah rasa hormat masyarakat dan murid terhadap guru. Rasa hormat terhadap guru akan tercapai jika guru memiliki empat unsur, yaitu sikap dan watak sebagai guru, kemampuan dan pengalaman profesional, kesejahteraan hidup yang memadai, dan tanggung jawab sosial.
Modal pokok pendidikan adalah rasa hormat masyarakat dan murid terhadap guru. Rasa hormat terhadap guru akan tercapai jika guru memiliki empat unsur, yaitu sikap dan watak sebagai guru, kemampuan dan pengalaman profesional, kesejahteraan hidup yang memadai, dan tanggung jawab sosial.
Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983)
Komunikasi tatap muka antara guru dan murid dalam pendidikan, katanya, sangat diperlukan. Murid dapat mendiskusikan masalah dengan guru.
Menurut dia, para dosen selain mampu bertindak sebagai guru juga harus bisa tampil sebagai bapak dan wali serta teman mahasiswa yang menunjukkan jalan dan pemecahan persoalan dengan penuh pengertian dan kesabaran.
Daoed Joesoef menilai, peranan pendidikan prasekolah (0-6 tahun) penting. Namun, karena keterbatasan anggaran, pendidikan prasekolah belum dikembangkan. Berdasarkan hasil penelitian, kecerdasan anak tumbuh pada usia sebelum tujuh tahun.
Setelah usia tujuh tahun, kecerdasan anak manusia tidak berkembang lagi dan yang berkembang adalah keterampilannya. Karena itu, kata Daoed, pendidikan anak sebelum tujuh tahun sangat penting, sama pentingnya dengan pendidikan anak pada jenjang lebih tinggi.
Di negara maju, anak mulai masuk sekolah pada usia 2-3 tahun. Pada usia itu, mereka sudah dibina melalui pendidikan formal di sekolah. ”Tidak heran jika banyak tokoh di negara-negara maju sebenarnya hasil dari pendidikan secara baik sebelum mereka berusia enam tahun,” ungkapnya.
Tak setuju perpeloncoan
Daoed Joesoef sejak awal tidak setuju perpeloncoan. Ketika menjadi menteri, dalam surat keputusan, 8 Juni 1979, dia melarang semua bentuk perpeloncoan atau cara lain yang bersifat menjurus ke arah perpeloncoan, dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi, termasuk kursus-kursus di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Daoed Joesoef menilai perpeloncoan tidak sesuai dengan tujuan pendidikan. Pengalaman masa lalu, bentuk-bentuk Mapram, Masa Perkenalan, Psoma di SD dan perguruan tinggi, merupakan pemborosan biaya dan tenaga serta membahayakan keselamatan mahasiswa dan siswa baru.