Masyarakat berbondong-bondong mengikuti prosesi pemakaman Bung Karno.Repro: Sukarno My Friend oleh Cindy Adams

Dr Ir Sukarno Meninggal Dunia”, demikian judul berita utama Harian Kompas 22 Juni 1970. Bung Karno, nama panggilan akrab Presiden pertama Republik Indonesia itu, wafat dengan tenang pada hari Minggu 21 Juni pukul 07.00 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD). Bung Karno yang lahir di Surabaya 6 Juni 1901, belum lama merayakan hari ulang tahunnya ke-69.

Dalam berita yang ditulis wartawan Kompas August Parengkuan (saat tulisan ini dibuat pada akhir tahun 2014, August Parengkuan adalah Duta Besar Republik Indonesia untuk Italia) itu, disebutkan Bung Karno sudah tidak sadarkan diri sejak pukul 03.50 dinihari. Saat mengembuskan nafas terakhir, Bung Karno didampingi putra-putrinya, Guntur, Megawati, Rahmawati, Sukmawati, Guruh, dan menantu-menantunya, Tommi Marzuki dan Deddy Soeharto, serta tim dokter yang merawatnya. 

Wajah Bung Karno tampak tenang dan mirip orang sedang tidur.  Matanya tertutup baik. Alis tebalnya tidak berubah, sama seperti dulu. Jenazah Bung Karno dibaringkan di dalam peti dan dibungkus dengan kain putih yang indah.  Peti jenazah diletakkan di atas meja. Di bawahnya, para keluarga duduk bersila. Di antara para pelayat, tampak Ny Ratna Sari Dewi, Ny Hartini, dan Ny Haryati. Namun Bu Fatmawati Soekarno tidak tampak di antara para pelayat. Bu Fatmawati jatuh sakit begitu mendengar kabar Bung Karno wafat. 

Bung Karno yang menderita penyakit ginjal dan pendarahan, dirawat di RSPAD sejak 16 Juni. Sebenarnya pada hari Jumat, kondisi kesehatan Bung Karno sempat dinyatakan membaik. Namun pada hari Sabtu pukul 22.30, kesehatan Bung Karno memburuk sampai akhirnya pada hari Minggu pagi, dinyatakan meninggal dunia.  

Presiden dan Ny Tien Soeharto melayat jenazah Bung Karno. Setelah bertemu dengan  anggota kabinet, pimpinan MPRS, pimpinan DPR-GR dan pimpinan partai politik, Presiden Soeharto menetapkan upacara kenegaraan untuk pemakaman almarhum Bung Karno, terutama untuk menghormati jasa-jasa Bung Karno pada nusa dan bangsa sebagai Proklamator Kemerdekaan. 

Soeharto menjadi inspektur upacara dalam pemberangkatan jenazah Bung Karno dari Wisma Yasa menuju Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma, Jakarta. Bung Karno dimakamkan di tempat peristirahatan terakhirnya di Blitar, Jawa Timur. Di Blitar, Jenderal TNI Maraden Panggabean, Wakil Panglima Angkatan Bersenjata (Wapangab)/Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkokamtib) menjadi inspektur upacara pemakaman Bung Karno. 

Pertanyaan yang masih sering dilontarkan publik hingga kini adalah apa sesungguhnya penyebab kematian Bung Karno? Informasi yang tersebar sejak Orde Baru runtuh tahun 1998 menyebutkan, perlakukan rezim Orde Baru terhadap Bung Karno yang “diasingkan” dari dunia luar dan “dikarantina”, sedikit-banyak ikut “mempercepat” memburuknya kesehatan Bung Karno. Selama Bung Karno sakit, sang proklamator itu disebutkan tidak dirawat dengan baik dan “ditelantarkan”.

BUKU “KOMPAS 50 TAHUN MEMBERI MAKNA”

Sukarno yang bernama asli Koesno Sosrodihardjo dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Namanya diganti menjadi Sukarno karena pada usia 5 tahun, dia sering sakit. Karna atau Karno adalah nama salah satu panglima perang dalam kisah Bharata Yudha.

Berita Sukarno meninggal dunia merupakan berita sangat penting dalam sejarah Republik Indonesia.  Dr Ir Sukarno adalah Presiden pertama dan Proklamator Kemerdekaan (bersama Bung Hatta) yang menyampaikan kemerdekaan Republik Indonesia.  Peranan Sukarno sangat besar dalam upaya memerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno memimpin Indonesia selama 21 tahun (1945-1966).  

Pertanyaan yang masih sering dilontarkan publik hingga kini adalah apa sesungguhnya penyebab kematian Bung Karno?  Informasi yang tersebar sejak Orde Baru runtuh tahun 1998 menyebutkan, perlakuan rezim Orde Baru terhadap Bung Karno yang “diasingkan” dari dunia luar dan “dikarantina” sedikit-banyak ikut “mempercepat” memburuknya kesehatan Bung Karno. Selama Bung Karno sakit, sang proklamator itu disebutkan tidak dirawat dengan baik dan “ditelantarkan”.   (ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA) 

CATATAN: Tulisan ini dimuat dalam buku “50 Tahun Kompas Memberi Makna” (Editor: Bambang Sigap Sumantri)