oleh ROBERT ADHI KSP
Tanggal 6 Juni 2021, kita memperingati 120 tahun kelahiran Sukarno, Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia, serta pencetus konsep Pancasila sebagai dasar negara. “Bangsa yang besar bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” kata Sukarno. Salah satu cara mudah menghormati dan menghargai pahlawan adalah dengan membaca buku-buku tentangnya agar kita tidak melupakan sejarah.
Kali ini saya menulis ringkasan beberapa buku tentang Bung Karno dalam pergaulan internasional, menjalin persahabatan dengan para pemimpin bangsa di dunia. Dalam kurun waktu 15 tahun setelah 1950, Bung Karno telah mengunjungi dua pertiga negara-negara di dunia. Buku-buku ini menunjukkan betapa Bung Karno seorang pemimpin bangsa berpengetahuan luas yang disegani dan dihormati. Berikut ini sejumlah buku koleksi buku perpustakaan pribadi yang menceritakan sepak terjang Bung Karno dalam pergaulan internasional.
***

“Dunia dalam Genggaman Bung Karno” (Penulis: Sigit Aris Prasetyo)
Buku “Dunia dalam Genggaman Bung Karno” yang ditulis diplomat muda SIgit Aris Prasetyo dan diterbitkan Penerbit Imania (cetakan pertama 2017) ini mengisahkan hubungan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno dengan para pemimpin dunia pada masanya.
“Buku ini mengulas sisi-sisi persahabatan, kedekatan personal, ideologi dan ‘diplomasi cantik’ Sukarno dalam berhubungan dengan para pemimpin dunia, yang kami nilai sangat positif untuk diketahui khalayak umum,” tulis Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam pengantar buku ini.
Bung Karno merupakan legenda yang tak lekang oleh zaman. Tidak hanya milik Indonesia, Sukarno telah menjadi milik dunia. Sukarno adalah pahlawan Asia Afrika, pahlawan dunia, yang karena visinya memperjuangkan nilai-nilai universal seperti hakikat kemerdekaan, dunia tanpa kolonialisme, persamaan hak dan kesamaan derajat bagi seluruh umat manusia, serta tatanan dunia baru yang lebih aman, adil, dan sejahtera.
Dalam tempo 15 tahun setelah 1950, tulis sejarawan Asvi Warman Adam dalam epilog di. buku ini, Sukarno telah mengunjungi dua pertiga negara di dunia. “Aku ingin Indonesia dikenal orang,” kata Sukarno. Kepentingan nasional dicapainya melalui berbagai cara. “Sukarno mengarungi samudera diplomasi bukan sekadar mengayuh di antara karang. Baginya, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme,” tulis Asvi Warman Adam.

Dalam waktu 15 tahun setelah 1950, Sukarno telah mengunjungi dua pertiga negara di dunia. Bagi Sukarno, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme.
ASVI WARMAN ADAM DALAM EPILOG BUKU “DUNIA DALAM GENGGAMAN BUNG KARNO”
“Kepentingan nasional dicapai melalui berbagai cara. Sukarno mengarungi samudra diplomasi bukan sekadar mengayuh di antara karang. Baginya, nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam taman sari internasionalisme,” tulis Asvi Warman Adam.
Buku setebal 354 halaman ini mengungkapkan persahabatan Bung Karno dengan John F Kennedy (Presiden ke-35 Amerika Serikat 1961-1963), Nikita Krushchev (Perdana Menteri Uni Soviet 1958-1964), Mao Zedong (Pendiri Republik Rakyat Tiongkok/RRT, Ketua Partai Komunis RRT 1949-1976) dan Zhou Enlai (Perdana Menteri RRT 1949-1976), Kliment E. Voroshilov (Ketua Presidium Tertinggi Uni Soviet 1953-1960), Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri India 1947-1964), Gamal Abdul Nasser (Perdana Menteri Mesir 1954-1958, Presiden Mesir 1956-1970), dan Norodom Sihanouk (Raja Kamboja 1941-1955 dan 1993-2004). Sukarno juga bersahabat dengan Josip Broz Tito (Perdana Menteri Yugoslavia 1945-1953 dan Presiden Yugoslavia 1953-1980) sebelum negara itu terpecah-belah.
Bung Karno juga bersahabat dengan Kim Il-sung (Perdana Menteri Korea Utara 1948-1972 dan Presiden Korut 1972-1994), Diosdado Macapagal (Presiden ke-9 Filipina 1961-1965), Ho Chi Minh (Presiden Vietnam Utara 1954-1969), Mohammad V (Sultan Maroko 1927-1953), Charles de Gaulle (Presiden Perancis 1959-1969), Mohammad Ayub Khan (Presiden Pakistan 1958-1969), Haile Selassie (Raja Ethiophia 1930-1974), Fidel Castro (Perdana Menteri Kuba 1959-1976 dan Presiden Kuba 1976-2008), Ernesto “Che” Guevara (pemimpin gerilyawan Amerika Selatan, diplomat, penulis), Ahmed Sékou Touré (Presiden Republik Guinea 1958-1984), Habib Bourguiba (Perdana Menteri Kerajaan Tunisia 1956-1957 dan Presiden pertama Tunisia 1957-1987).
Buku ini juga mengulas persahabatan Bung Karno dengan Saud bin Abdul Aziz (Raja Arab Saudi 1953-1964), Ben Bella (Presiden Aljazair 1963-1965), Kwame Nkrumah (Perdana Menteri pertama Ghana 1957-1960 dan Presiden pertama Ghana 1960-1966), Lopez Mateos (Presiden Meksiko 1958-1964), István Dobi (Perdana Menteri Hungaria 1952-1967), Yasser Arafat (pemimpin Palestina), Paus Pius XII, Paus Yohanes XXIII, Paus Paulus VI (pemimpin tertinggi umat Katolik dunia yang tinggal di Vatikan). Di akhir bab, buku ini menceritakan kunjungan bersejarah Bung Karno ke Uzbekistan (saat itu masih bagian dari Uni Soviet).

Di buku ini diceritakan antara lain peran Presiden John F Kennedy memediasi Indonesia dan Belanda sehingga solusi damai atas persoalan Irian Barat tercapai. Perundingan bilateral secara rahasia di Middleburg, Virginia, AS, pada 20 Maret 1962 antara Dubes Belanda di PBB Dr Jan H. van Roijen dan C. WA Schurmann dan diplomat Indonesia Adam Malik dan Sudjarwo Tjondronegoro. Kesepakatan Middleburg Accord ditandatangani Van Roijen dan Menlu Indonesia Soebandrio pada 15 Agustus 1962 di kantor PBB di New York. Penyelesaian damai Irian Barat makin mendekatkan Sukarno dan John F Kennedy. Presiden AS itu juga berupaya membantu perekonomian Indonesia sebagai rencana jangka panjang AS mengurangi pengaruh komunis di Indonesia.
Wahai sahabatku Presiden Sukarno, langkah Anda terkait Federasi Malaya membuatku berada pada posisi yang sulit.
SURAT PRESIDEN AMERIKA SERIKAT JOHN F KENNEDY KEPADA PRESIDEN SUKARNO (BUKU “DUNIA DALAM GENGGAMAN BUNG KARNO”)
Namun ketika Sukarno mengeluarkan kebijakan soal konfrontrasi dengan Federasi Malaya yang memanaskan kawasan regional, John F Kennedy pada Oktober 1963 menulis surat, “Wahai Sahabatku Presiden Sukarno, langkah Anda terkait Federasi Malaya membuatku berada pada posisi yang sulit.” Aliansi Amerika Serikat dengan Inggris membuat Kennedy harus memihak Federasi Malaya – saat itu koloni Inggris. Kebijakan konfrontrasi itu menurut Kennedy memperburuk kondisi perekonomian Indonesia karena bantuan ekonomi negara-negara Barat terputus dan menyebabkan Indonesia kekurangan pangan. Namun Sukarno menganggap konfrontrasi dengan Malaya adalah bagian dari revolusi yang belum selesai.
Hubungan Indonesia dan AS memburuk. Gelombang anti-Amerika muncul di Jakarta dan kota-kota lainnya. Dubes AS untuk Indonesia Howard Jones mengusulkan agar Kennedy mengunjungi Indonesia dan bertemu langsung dengan Sukarno di Jakarta untuk membantu menyelesaikan persoalan dengan Federasi Malaya. Kennedy yang memilih pendekat soft diplomacy itu setuju berkunjung ke Jakarta pada awal 1964 sekaligus memberi bantuan 150.000 ton beras sebagai trade off penarikan pasukan dan relawan Indonesia di perbatasan Kalimantan. Tapi rencana kunjungan Presiden AS ke Indonesia itu buyar karena John F Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963. Sukarno menangisi tragedi yang dialami sahabatnya itu.

Sukarno berhasil membujuk Nikita Krushchev mengucurkan pinjaman 250 juta dollar AS dengan bunga 2,5 persen selama tujuh tahun – yang digunakan Sukarno untuk membangun Stadion Bung Karno (tempat penyelenggaraan Asian Games 1962), Jembatan Semanggi, pabrik baja Trikora (Krakatau Steel), pabrik kimia, pabrik tekstil, dan reaktor atom.
BUKU “DUNIA DALAM GENGGAMAN BUNG KARNO”
Sementara itu, Sukarno juga menjalin persahabatan dengan Nikita Krushchev, PM Uni Soviet. Sukarno dan Krushchev saling berkunjung. Sukarno berhasil membujuk Krushchev mengucurkan dana pinjaman senilai 250 juta dollar AS dengan bunga 2,5 persen selama tujuh tahun — yang digunakan Sukarno untuk membangun Stadion Bung Karno, Jembatan Semanggi, pabrik baja Trikora (Krakatau Steel), pabrik kimia dan tekstil, dan reaktor atom. Stadion Bung Karno yang sampai saat ini masih berdiri dengan megah, pernah menjadi tempat penyelenggaraan pesta Asian Games IV tahun 1962 dan Ganefo (Games of the Emerging Forces) pada 1963.

Dengan pendiri Republik Rakyat Tiongkok Mao Zedong (Mao Tse Tung), Sukarno memiliki persahabatan yang dekat. Sukarno menilai Indonesia dan Tiongkok sama-sama korban kebengisan imperialisme Barat. Kedua tokoh inio membenci praktik pembedaan derajat karena faktor suku, ras, dan golongan. Indonesia pernah diperlakukan dengan sangat hina oleh penjajah Belanda dengan menyebut, “bangsa Indonesia bangsa yang bodoh, tidak terdidik, hanya memikirkan urusan perut.” Tiongkok juga pernah dihina bangsa Barat. “Orang Tionghoa dan anjing dilarang masuk,” pengumuman yang pernah dipasang di semua taman di Shanghai, sebagai tanda penghinaan dan rasialisme.
Mao memuji kepemimpinan Sukarno dalam meraih kemerdekaan dan memuji kebijakan luar negeri Indonesia yang “bebas dan aktif”, tidak memihak salah satu blok, dan ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia. Sukarno mengatakan Indonesia dan Tiongkok sama-sama bercita-cita membangun dunia baru yang terbebas dari sikap eksploitasi, penderitaan, dan penindasan.

Buku ini menyebutkan, Sukarno salah satu dari sedikit pemimpin dunia yang mampu menjalin persahabatan erat dengan pemimpin utama Korea Utara, Kim Il-sung. Jejak kedekatan Sukarno dengan Kim Il-sung masih ditemukan. Hanya Sukarno dan Indonesia yang dihormati dan didengar para pemimpin Korea Utara. Kim Il-sung dan rakyat Korea Utara menganggap Sukarno tokoh besar, pahlawan bagi bangsa-bangsa Asia dan Afrika.

Sukarno juga menjalin persahabat erat dengan Jawaharlal Nehru jauh sebelum Indonesia merdeka. Keduanya ibarat saudara kandung satu peradaban, sama-sama pemimpin besar yang berjuang dan mencurahkan seluruh hidupnya untuk negeri masing-masing.
Ketika Indonesia masih dijajah Belanda, Nehru dan rakyat India memberi dukungan dan simpati. Saat Indonesia menghadapi agresi militer Belanda pada 1947 dan 1948, Nehru salah satu pemimpin dunia yang menentang keras dan mengeritik Belanda, juga berani mengeritik Inggris yang mendukung Belanda.
Nehru pernah mengirim obat-obatan untuk mengurangi penderitaan rakyat Indonesia diblokade penjajah Belanda. Ketika India dilanda bencana kelaparan yang berkepanjangan, Sukarno pada 28 April 1946 menawarkan bantuan 500.000 ton beras meskipun saat itu bangsa Indonesia masih serba susah akibat diblokade Belanda.
Ketika India merayakan hari kemerekaan pertama pada 26 Januari 1950, Nehru secara pribadi mengundang Sukarno sebagai tamu kehormatan ke India, dan itu untuk kali pertama keduanya bertemu sebagai pemimpin negara yang telah merdeka.
Datanglah dan bertanyalah kepada pamanmu, Sukarno, jika kamu memiliki pertanyaan-pertanyaan yang sulit.
JAWAHARLAL NEHRU KEPADA PUTRINYA INDIRA GANDHI (BUKU “DUNIA DALAM GENGGAMAN BUNG KARNO”)
Keluarga Sukarno dan keluarga Nehru sangat dekat. Nehru yang sangat kagum dengan pengetahuan luas Sukarno, pernah meminta putrinya, Indira Gandhi, bertanya langsung kepada Sukarno jika menghadapi persoalan. “Datanglah dan bertanyalah kepada pamanmu, Sukarno, jika kamu memiliki pertanyaan-pertanyaan sulit,” kata Nehru.
Ketika Nehru berkunjung ke Jakarta pada pertengahan 1950, dia kagum dengan keberagaman suku-suku di Indonesia. Sifat toleransi bangsa Indonesia menjadi inspirasi Nehru. Sukarno dan Nehru sama-sama mengagumi Mahatma Gandhi yang mengajarkan nasionalisme dan keberagaman. Sukarno dan Nehru juga sama-sama menjadi bintang Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 18-24 April 1955.

Ihwal persahabatan Sukarno dengan Gamal Abdul Nasser, salah seorang menteri di era Sukarno yaitu Oei Tjoe Tat melukiskan, “Sukarno telah menjadi legenda di Mesir. Bahkan nama Sukarno lebih dikenal rakyat Mesir daripada nama Indonesia. Setiap orang Indonesia yang mengenakan peci hitam pasti dianggap sebagai Sukarno Man atau orangnya Sukarno.”
Mesir adalah negara yang pertama mengakui kemerdekaan Indonesia pada saat bangsa-bangsa di dunia diam seribu bahasa. Sebaliknya, ketika Mesir menasionalisasi Terusan Suez, Sukarno langsung mendukungnya tanpa syarat.

Persahabatan Sukarno dengan Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz makin erat setelah Arab mengakui kemerdekaan Indonesia pada 21 November 1947. Sukarno melawat ke Arab untuk kali pertama beberapa bulan setelah KAA 1955 di Bandung, sekaligus menunaikan ibadah haji. Sukarno merasakan panas menyengat saat Wukuf di Padang Arafah yang tandus dan kering. Sukarno mengusulkan ke Raja Saud untuk menghijaukan Padang Arafah dengan pohon Mindi yang didatangkan khusus dari Indonesia. Pohon tersebut dipilih karena tahan tanpa air dan dapat hidup di padang pasir yang bercuaca panas. Hingga kini ribuan pohon Mindi menghijaukan lahan seluas seribu hektar. Warga Arab menyebutnya sebagai “pohon Sukarno” — yang juga ditanam di Madinah dan Makkah.
Sukarno mengusulkan kepada Raja Arab Saudi Saud bin Abdulaziz untuk menghijaukan Padang Arafah dengan pohon Mindi yang didatangkan khusus dari Indonesia. Pohon ini yang dipilih karena tahan hidup tanpa air di padang pasir bercuaca panas.
Buku ini juga memuat kisah Sukarno yang menjalin persahabatan dengan pemimpin umat Katolik seluruh dunia di Vatikan. “Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga medali tertinggi dari Vatikan,” kata Sukarno bangga. Vatikan adalah negara pertama di Eropa yang mengakui Indonesia sebagai bangsa merdeka pada 6 Juli 1947. Sukarno menginjakkan kaki pertama kali di Vatikan pada 13 Juni 1956. Paus Pius XII menganugerahi Sukarno Grand Cross of the Pian Order. Tiga tahun kemudian, pada 14 Mei 1959, Sukarno berkunjung lagi ke Vatikan dan bertemu dengan Paus Yohanes XXIII. Lima tahun kemudian, Sukarno melawat lagi ke Vatikan dan diterima Paus Paulus VI. Kunjungan Sukarno ke Vatikan bukti nyata Indonesia sangat menghormati keberagaman.
Aku orang Islam yang hingga sekarang telah memperoleh tiga medali tertinggi dari Vatikan.
SUKARNO DALAM BUKU “DUNIA DALAM GENGGAMAN BUNG KARNO”

“Kita ingin mendirikan satu negara semua untuk semua, bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara semua untuk semua,” kata Sukarno dalam peringatan Pancasila, 1 Juni 1964.
Buku ini menarik untuk dibaca siapa saja, termasuk oleh kaum muda agar mengetahui bahwa Indonesia pernah memiliki sosok pemimpin yang hebat dan disegani dalam pergaulan internasional. Pemimpin yang berpengetahuan luas dan patut dibanggakan.
Buku ini menarik untuk dibaca siapa saja, termasuk oleh kaum muda agar mengetahui bahwa Indonesia pernah memiliki sosok pemimpin yang hebat dan disegani dalam pergaulan internasional. Pemimpin yang berpengetahuan luas dan patut dibanggakan.
***
“Persahabatan Sukarno dan John F. Kennedy dalam 1.000 Hari – The Untold Stories” (Penulis: Sigit Aris Prasetyo)
Buku “Persahabatan Sukarno dan John F. Kennedy dalam 1.000 Hari – The Untold Stories” setebal 484 halaman yang ditulis Sigit Aris Prasetyo dan diterbitkan Penerbit Imania (cetakan pertama: Agustus 2018) ini mengisahkan persahabatan yang dijalin Presiden Sukarno dan Presiden John F Kennedy pada saat memuncaknya Perang Dingin pada tahun 1960-an.
Kisah 1.000 hari persahabatan Bung Karno dan Kennedy memberi pelajaran penting bahwa hubungan antarnegara dapat kokoh berdiri jika landasan persahabatan para pemimpinnya tulus dan jujur.

Guruh Sukarno Putra yang menulis pengantar dalam buku ini menyebutkan, Bung Karno mengunjungi Amerika Serikat tiga kali yaitu pada 16 Mei – 3 Juni 1956, pada saat berpidato di Sidang Umum PBB di New York tahun 1960, dan memenuhi undangan Presiden John F. Kennedy pada 23-24 April 1961.
Di depan Kongres Amerika, Bung Karno memaparkan satu demi satu sila Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. “Dengan Dasar Negara Pancasila, tidak mungkin Indonesia penganut komunis,” tulis Guruh.
Guruh berharap generasi reformasi dan pasca-reformasi yang membaca buku ini menyadari betapa berat perjuangan pemerintah dan rakyat Indonesia saat dipimpin Bung Karno dalam melaksanakan amanah Proklamasi 17 Agustus 1945, yang tegas menetapkan Indonesia adalah himpunan kepulauan dari Sabang sampai Merauke.
Prof Dr Kenneth R. Hall, Guru Besar Sejarah dari Ball State University menulis, “Buku ini menganalisis hubungan diplomatik antara Presiden Sukarno dan Presiden John F Kennedy. Penulis buku ini lulusan Program Pasca Sarjana Kajian Amerika Universitas Gadjah Mada yang disponsori Pemerintah AS, dan diplomat yang mengagumkan. Penelitian impresif yang dilakukan penulis dapat dilihat dari berbagai sumber bibliografi terbaru dan multi-lingual, serta analisis sejarah yang dihasilkan dari berbagai pengalaman penulis dalam hubungan diplomatik internasional.”
“Buku ini seperti mesin waktu yang memberi peluang bagi generasi milenial untuk belajar dan memahami berbagai pemikiran dan keteladanan dua tokoh besar tersebut,” tulis Dr Siswo Pramono SH, LLM, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri RI dalam endorsement-nya.
***
“Go To Hell with Your Aid! Pasang Surut Hubungan Sukarno dengan Amerika Serikat” (Penulis: Sigit Aris Prasetyo)
Buku setebal 372 halaman berjudul “Go To Hell with Your Aid! Pasang Surut Hubungan Sukarno dengan Amerika Serikat” yang ditulis Sigit Aris Prasetyo ini diterbitkan Media Pressindo Yogyakarta (cetakan pertama 2017).
Buku ini merangkum berbagai kisah menarik pasang surutnya hubungan Sukarno dengan Amerika Serikat. Dalam berbagai kesempatan, Sukarno mengatakan sangat ingin bersahabat dengan Amerika. Bung Karno mengagumi sosok George Washington, Thomas Jefferson, Thomas Paine, dan Paul Revere — tokoh dan pahlawan Amerika. Bung Karno pernah disanjung media Amerika dan bersahabat dengan Presiden John F Kennedy. Tetapi pada suatu masa, Bung Karno marah pada Amerika dan berteriak lantang Go to hell with your aid! Mengapa Bung Karno sangat marah pada Amerika?

“Buku ini berupaya menyodorkan kisah-kisah bagaimana Sukarno mengalami pergulatan rangkaian rasa dan perasaan benci tapi rindu dengan sejumlah tokoh dan perumus kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Buku ini menyimpulkan Sukarno bukan anti-Amerika Serikat seperti yang diberitakan banyak pers Barat, bahkan oleh para pendukungnya. Sukarno berharap menemukan dasar yang kuat bagi kedua negara untuk saling menghormati dan bekerja sama menciptakan tata dunia yang lebih adil, damai, dan sejahtera,” tulis Sigit Aris Prasetyo, diplomat yang menulis buku ini.
Benturan-benturan dan perbedaan kepentingan dengan pemerintahan Amerika Serikat ini diyakini menjadi salah satu penyebab tumbangnya kekuasaan Bung Karno pada akhir 1960-an.
SIGIT ARIS PRASETYO, DIPLOMAT, PENULIS BUKU TENTANG SUKARNO
Harus diakui perbedaan ideologi, kepentingan, dan budaya menjadi faktor kuat yang menyebabkan terjadinya benturan dan perseteruan Sukarno dengan pemerintahan Amerika Serikat, terutama pada era pemerintahan D. Eisenhower dan Lyndon B Johnson. “Benturan-benturan dan perbedaan kepentingan ini diyakini menjadi salah satu penyebab tumbangnya kekuasaan Bung Karno pada akhir 1960-an,” ungkap Sigit Aris Prasetyo.
“Buku ini sebuah upaya menguak sisi lain proklamator kemerdekaan bangsa kita. Apa yang disajikan penulis adalah nukilan-nukilan data dan referensi berbagai sumber valid. Darinya, penulis tentu berharap, masyarakat memiliki satu pemahaman tentang mengapa Bung Karno marah kepada Amerika,” tulis Roso Daras — yang juga penulis buku-buku tentang Sukarno dalam pengantar buku ini.
Sejarawan Dr Anhar Gonggong dalam endorsement-nya menyebutkan, “Buku Sukarno dan Amerika ini memberikan banyak hal yang selama ini tidak diketahui banyak orang.”
***

“Kennedy & Sukarno” (Penulis: Tim Majalah Historia)
Buku setebal 184 halaman yang ditulis Tim Majalah Historia dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas (cetakan pertama 2018) inimengungkap berbagai terori pembunuhan Presiden Amerika Serikat John F Kennedy dan kisah persahabatannya dengan Presiden Indonesia Sukarno.
Buku tentang kisah Bung Karno ini berguna bagi generasi muda dan para calon pemimpin bangsa. Dari kisah Bung Karno, kita bisa belajar betapa menjadi pemimpin yang mengabdi kepada rakyat itu tidak mudah. Penuh onak dan duri.
MEGAWATI SUKARNOPUTRI, PRESIDEN KE-5 REPUBLIK INDONESIA
“Buku tentang kisah Bung Karno ini berguna bagi generasi muda dan para calon pemimpin bangsa. Kita jadikan sejarah sebagai cermin agar bisa memahami masa kini dan meneropong masa depan kita sebagai bangsa yang terhormat serta bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia,” tulis Presiden kelima Republik Indonesia Megawati Sukarnoputri dalam pengantar buku ini.
“Dari kisah hidup Bung Karno, kita bisa belajar betapa menjadi pemimpin yang mengabdi kepada rakyat itu tidak mudah. Penuh onak dan duri. Dari sejarah pula kita bisa mengambil hikmah dari riwayat Bung Karno bahwa seorang pemimpin harus memiliki kesediaan untuk berkorban karena gagasan dan pelaksanaan cita-cita rakyat yang dipimpinnya,” ungkap Megawati.
Buku-buku tentang diplomasi Sukarno, persahabatannya serta pergaulan internasionalnya dengan berbagai pemimpin dunia layak dibaca oleh pemerhati sejarah dan generasi muda Indonesia. Semakin banyak buku tentang Sukarno yang saya baca, kekaguman saya pada sosok Bung Karno makin besar.
Buku-buku tentang diplomasi Sukarno, persahabatannya serta pergaulan internasionalnya dengan berbagai pemimpin dunia layak dibaca oleh pemerhati sejarah dan generasi muda Indonesia. Semakin banyak buku tentang Sukarno yang saya baca, kekaguman saya pada sosok Bung Karno makin besar.
ROBERT ADHI KSP, pemerhati sejarah, pencinta buku, penulis 15 buku
FOTO-FOTO dokumentasi Sukarno diambil dari buku “Dunia dalam Genggaman Bung Karno”; foto-foto buku Sukarno oleh Robert Adhi Ksp
Baca juga: 120 Tahun Kelahiran Sukarno (1): Buku-buku tentang Sukarno Muda