oleh ROBERT ADHI KSP
Tanggal 6 Juni 2021, kita memperingati 120 tahun kelahiran Sukarno, Proklamator Kemerdekaan Indonesia dan Presiden pertama Republik Indonesia, serta pencetus konsep Pancasila sebagai dasar negara. “Bangsa yang besar bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” kata Sukarno. Salah satu cara mudah menghormati dan menghargai pahlawan adalah dengan membaca buku-buku tentangnya agar kita tidak melupakan sejarah.

Nama Sukarno sudah terpatri dalam ingatan saya sejak kecil — tentunya juga dalam ingatan jutaan rakyat Indonesia. Sukarno adalah Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia. Pada masa kecil, pengetahuan saya tentang Sukarno masih terbatas, sebatas apa yang disampaikan buku pelajaran sejarah dan guru sejarah. Tapi semakin dewasa dan berumur, pengetahuan saya tentang Sukarno makin banyak dan beragam. O ya, di blog ini, saya menggunakan nama “Sukarno” karena nama inilah yang tepat, bukan “Soekarno” (meski sampai sekarang masih banyak buku dan properti lainnya menggunakan “Soekarno”).
Berikut ini ringkasan beberapa buku yang mengisahkan Sukarno pada masa kecil dan masa mudanya (koleksi perpustakaan pribadi). Saya yakin masih banyak buku tentang Sukarno muda yang belum saya miliki dan saya baca. Sebagai pencinta buku, saya berusaha untuk mencarinya di toko buku dan di toko daring.

“Jejak Soekarno di Bandung 1921-1934” (Penulis: Her Suganda)
Buku “Jejak Soekarno di Bandung (1921-1934) setebal 242 halaman yang ditulis Her Suganda dan diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini memaparkan kisah perjalanan Bung Karno selama 13 tahun (1921-1934) di Bandung.
Kota Bandung merupakan “kawah candradimuka” Bung Karno, kota yang menggemblengnya menjadi seorang revolusioner sejati. Di Bandung, Bung Karno mulai menabuh genderang perang melawan pemerintah kolonial Belanda, perjuangan yang membawanya ke sel Penjara Banceuy dan Sukamiskin, sebelum akhirnya dibuang jauh ke Ende, Flores.
Bung Karno bukan hanya melanjutkan pendidikannya di Technische Hogeschool (TH) — kemudian menjadi ITB— tetapi juga jatuh cinta dan menikah dengan perempuan Sunda. Bung Karno menemukan cinta sejatinya yang pertama pada diri Inggit Ganarsih. Tanpa dukungan sepenuh hati dari perempuan yang dijulukinya sebagai “Drupadi” ini, Bung Karno tak akan mampu bertahan menghadapi berbagai kesulitan dalam perjuangan menuju Indonesia merdeka.

“Untuk menaklukkan Nusantara, saya harus bersekolah di Bandung,” kata Bung Karno muda saat ditanya Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto. Sejarah mencatat, di Bandunglah, Bung Karno menemukan gagasan-gagasan besarnya dan melahirkan imajinasi tentang Indonesia. Ideologi Marhaenisme lahir dari perjumpaannya dengan petani Marhaen di Cigereleng. Di penjara Sukamiskin, Bung Karno menjadi matang intelektualistasnya berkat pergaulannya dengan kaum intelektual Eropa yang sama-sama di penjara.
“Bung Karno pulalah yang menjadikan Kota Bandung sebagai Ibu Kota Asia Afrika saat Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Bandung kini episentrum kebangkitan Asia dan Afrika,” tulis Ridwan Kamil dalam pengantar buku ini. Saat buku ini diterbitkan, Ridwan Kamil menjabat Wali Kota Bandung.
Her Suganda, penulis buku ini mengungkapkan, Bung Karno dan Kota Bandung merupakan dua nama yang tidak bisa dipisahkan. Di Bandung, julukan “Bung Karno” pertama kali dimunculkan setelah dia memutuskan untuk terjun ke dunia politik.
Di Bandung juga, setelah bertemu dengan seorang petani kecil di Cigereleng, Mang Marhaen, Bung Karno menjadikan nama “Marhaen” sebagai inspirasi ideologi perjuangannya, sebagai asas Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya. Nama “Marhaen” identik dengan kemiskinan bangsa pada masa itu.
Di Bandung, julukan “Bung Karno” pertama kali dimunculkan. Di Bandung pulalah, Bung Karno menjadikan nama “Marhaen” sebagai inspirasi ideologi perjuangannya, sebagai asas Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya. Nama “Marhaen” identik dengan kemiskinan bangsa pada masa itu.
BUKU “JEJAK SOEKARNO DI BANDUNG 1921-1934” KARYA HER SUGANDA
Bahkan kopiah yang digunakan Bung Karno yang membuatnya terkenal, dibuat di “Kopeah M. Iming – Bandoeng” yang berlokasi di Jalan Ahmad Yani Nomor 14 Bandung.
“Seharusnya warga Kota Bandung bangga karena Bandung merupakan kunci penting perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Banyak situs perjuangan Bung Karno di kota kembang ini tetapi sayangnya tidak mendapat perhatian. Gedung Landraad Bandung yang menjelma menjadi Gedung Indonesia Menggugat — diambil dari judul pembelaan Bung Karno di depan sidang pengadilan tersebut. Penjara Sukamiskin merupakan tempat Bung Karno dan tiga sahabat seperjuangannya di Partai Nasional Indonesia diadili dan dipenjara,” ungkap Her Suganda dalam pengantar buku ini.
Her Suganda melihat, selain Gedung Landraad dan Penjara Sukamiskin, monumen yang berkaitan dengan Bung Karno tidak mendapat perhatian. Di antaranya adalah Sel Nomor 5 Penjara Banceuy yang terkurung tembok-tembok tinggi pusat pertokoan berlantai tig di sekitarnya, yang berbau pesing, bahkan pagar yang mengelilingi monumen itu pernah dijadikan tempat jemur pakaian.
Melalui buku ini, Her Suganda menceritakan sejumlah tempat di Bandung yang pernah menjadi jejak sejarah Bung Karno muda saat menuntut ilmu di TH/ITB, berdiskusi dengan dua bersaudara Schoemaker yang merancang sejumlah gedung bersejarah di Bandung (yang sampai sekarang keasliannya masih dipertahankan), sampai tempat Bung Karno sering bertemu dan berdiskusi dengan dr Tjipto Mangunkusumo. Keduanya sama-sama tinggal di selatan Bandung. Bung Karno tinggal di Regentweg (sekarang bernama Jalan Dewi Sartika), sedangkan Tjipto Mangunkusumo di Pangeran Sumedangweg (kini bernama Jalan Otto Iskandar di Nata).
Di Bandung pulalah, Bung Karno muda bertemu dengan Suwardi Suryaningrat (yang kelak dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, E.F.E. Douwes Dekker (kelak dikenal dengan nama Setiabudhi) dan Moh. Natsir — tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di TH Bandung dan aktif dalam Algemene Studie Club, pada 27 Juli 1927, Bung Karno resmi memimpin Perserikatan Nasional Indonesia — cikal bakal Partai Nasional Indonesia (PNI). Bung Karno — dalam kongres pertama di Surabaya yang mengganti nama “Perserikatan” menjadi “Partai”— dinobatkan sebagai Ketua Pengurus Besar PNI merangkap Ketua Cabang Bandung.
Kedekatan hubungan emosional masyarakat Priangan dengan Bung Karno sebagai pemimpinnya diabadikan dalam bentuk tugu peringatan oleh masyarakat Desa Cimaung, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung — lokasinya sekitar 30 kilometer selatan Kota Bandung. Sesepuh desa itu ingat bagaimana Bung Karno dengan bahasa Sunda yang sederhana berupaya membangkitkan kesadaran jiwa nasionalisme. Bung Karno juga melakukan kegiatan baca tulis untuk memberantas kebodohan mengingat masyarakat desa setempat masih banyak yang buta huruf.
Upaya Bung Karno membangun kekuatan nasional telah menjadikan Bandung sebagai kiblat perjuangan kemerdekaan. Pada Desember 1927, Bung Karno berhasil menghimpun tujuh organisasi yang bertujuan sama dalam satu wadah yaitu Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Ketujuh organisasi itu adalah PNI, Partai Sarikat Islam (PSI), Boedi Oetomo, Pasinan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, Indonesische Studieclub, dan Algemene Studie Club.
Aktivitas politik Bung Karno dicium pemerintah kolonial Belanda. Bung Karno dan kawan-kawannya ditangkap saat bermalam di rumah Mr Sujudi di Jalan Tugu Kidul, Yogyakarta. Setelah semalam “menginap” di Penjara Mergangsan yang lembab, Bung Karno dibawa ke Bandung dengan kereta api dan ditahan di Sel Nomor 5 Penjara Banceuy selama tujuh bulan.
Bung Karno diadili di gedung yang berlokasi di Landraadweg (sekarang Jalan Perintis Kemerdekaan), didakwa melanggar tindak pidana yang dapat menyebabkan kekacauan masyarakat. Komisaris Polisi HH Alberghs yang menjadi saksi utama untuk penuntut umum berusaha meyakinkan bahwa kegiatan Bung Karno dkk di PNI merupakan kegiatan subversif yang bertujuan menggulingkan pemerintahan Hindia Belanda.
Saat menyampaikan pembelaan, Bung Karno mengubah ruang sidang menjadi panggungnya. “Pembelaan ini bagian dari keluh-kesah rakyat Indonesia. Suara saya yang diucapkan di dalam gedung mahkamah ini tidak dibatasi tembok dan dinding, tapi mengumandang sampai jauh terdengar melintasi tanah datar, gunung-gunung, dan lembah-lembah paling dalam, melintasi samudera luas. Suara ini terdengar sampai ke Kutaraja di Aceh, Fakfak di Papua, Ulu Siau di dekat Manado, hingga ke Timor,” kata Bung Karno dengan lantang.
Bung Karno akhirnya divonis empat tahun penjara dalam sidang tanggal 22 Desember 1930, dan mendekam di Penjara Sukamiskin Bandung di kamar TA 01. Menjelang berakhirnya masa pemerintahan Gubernur Jenderal ACD de Graeff, Bung Karno dibebaskan pada 31 Desember 1931. Husni Thamrin, Gatot Mangkudipraja dan para pengikutnya menyambut “kebebasan” Bung Karno besar-besaran.
Buku yang mengisahkan berbagai aktivitas Bung Karno pada masa mudanya di Bandung ini layak dibaca oleh generasi muda – generasi milenial dan generasi Z agar makin memahami sejarah bangsa ini.
Buku yang mengisahkan berbagai aktivitas Bung Karno muda selama di Bandung ini layak dibaca oleh generasi muda — generasi milenial dan generasi Z agar makin memahami sejarah bangsa ini.

“Soekarno Kuantar ke Gerbang” (Penulis: Ramadhan KH)
Buku berjudul “Soekarno Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan KH adalah novel kisah cinta Inggit Ganarsih dengan Sukarno. Selama hampir 20 tahun, Inggit mendampingi Sukarno dalam suka dan duka, dalam tangis dan tawa.
“Cinta adalah anugerah Tuhan, tetapi cinta sekaligus bisa menjadi misteri, dia datang dan pergi tidak pernah kita ketahui dan direncanakan sebelumnya,” tulis Tito Zeni Asmara Hadi dalam sambutan buku ini.
Saya menulis buku ini sebagai roman, bukan sebagai tulisan sejarah.
RAMADHAN KH, PENULIS BUKU “SOEKARNO KUANTAR KE GERBANG”
Untuk menulis roman ini, Ramadhan KH melakukan serangkaian wawancara dengan sejumlah tokoh yang pernah ikut dalam pergerakan pada 1920-1943, di samping membaca buku-buku dan tulisan lainnya yang berkaitan dengan berbagai peristiwa pada masa itu.
Menurut Ramadhan KH, dia tak sempat mewawancarai Bung Karno, tokoh yang didampingi Inggit, tokoh sentral dalam roman yang ditulisnya karena sudah meninggal dunia. Ramadhan menggunakan tulisan-tulisan, terutama ucapan-ucapan Bung Karno sebagai sumber penting roman tersebut, yang kadang diangkatnya secara utuh. “Saya menyusun buku ini sebagai roman, bukan sebagai tulisan sejarah,” ungkap Ramadhan KH dalam pengantarnya.
S.I. Poeradisastra dalam Sekapur Sirih di buku ini menulis, “Separuh dari semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Ganarsih di dalam Bank Jasa Nasional Indonesia. Inggit Ganarsih, bagi pemuda dan mahasiwa Sukarno, mewujudkan kasih ibu yang hilang itu, yang tidak ia nikmati sebelumnya. Ia kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta dan tahtanya, yang memberi dan tak meminta kembali, serta satu-satunya yang pernah menemani Soekarno dalam kemiskinan dan kekurangan. Hanya Inggit Ganarsih-lah yang merupakan tiga di dalam satu diri: ibu, kekasih, dan kawan yang hanya memberi tanpa meminta.”
Separuh dari semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Ganarsih di dalam “Bank Jasa Nasional Indonesia”. Inggit kekasih satu-satunya yang mencintai Sukarno tidak karena harta dan tahtanya, yang memberi dan tak meminta kembali, dan satu-satunya yang pernah menemani Sukarno dalam kemiskinan dan kekurangan.
S.I. POERADISASTRA DALAM PENGANTAR BUKU “SOEKARNO KUANTAR KE GERBANG”
Pada usia empat puluh tahunan Sukarno sampai ke muka gerbang kemerdekaan. Inggit Ganarsih yang mengantarkannya ke sana dengan selamat. Inggit tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Sukarno.
Novel sejarah karya Ramadhan KH yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan dan diterbitkan ulang oleh Bentang Pustaka (2014) tetap menarik untuk dinikmati.

“Soekarno Arsitek Bangsa” (Penulis: Bob Hering/Editor Jaap Erkelens)
Buku “Soekarno Arsitek Bangsa” karya Prof Bob Berthy Hering yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (April 2012) setebal 143 halaman ini sebagian besar memuat foto-foto bersejarah Bung Karno, ringkasan dari buku berjudul “Soekarno: Founding Father of Indonesia, 1901-1945” yang diterbitkan KITLV pada 2002.
Jilid pertama buku ini berbahasa Indonesia sempat diterbitkan Hasta Mitra Jakarta pada 2003 dengan judul “Soekarno, Bapak Indonesia Merdeka: Sebuah Biografi; Jilid 1: 1901-1945”. Jilid kedua tak sempat ditulis karena Bob Hering keburu meninggal dunia.
Yang menarik adalah foto-foto Bung Karno semasa muda yang mendominasi isi buku ini. Di antaranya foto Bung Karno saat bertunangan dengan Oetari (Utari), putri Tjokroaminoto, ketika Bung Karno menempuh pendidikan tahun terakhir di sekolah HBS tahun 1921. Hubungan Bung Karno dengan Utari berakhir pada Desember 1922.

Buku ini juga menampilkan foto Inggit Ganarsih yang muncul dalam kehidupan Bung Karno saat menempuh pendidikan tinggi di Bandung. Inggit menemani Bung Karno selama hampir 20 tahun.
Buku ini juga menyajikan foto Fatmawati bersama kedua orangtuanya di Bengkulu pada awal tahun 1940. Fatmawati kemudian menjadi istri ketiga Bung Karno dan melahirkan lima orang anak.
Buku tipis ini melengkapi buku-buku tentang perjalanan hidup Bung Karno terutama karena foto-foto bersejarahnya yang langka.

“Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” (Penulis: Cindy Adams)
Buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ini diterjemahkan dari buku “Sukarno: An Autobiography as told to Cindy Adams” yang diterbitkan The Bobbs-Merrill Company, Inc, New York pada 1965. Edisi bahasa Indonesia dicetak pertama kali pada 1966 oleh Penerbit Gunung Agung. Cetakan kedua muncul pada 1982 (oleh Enka Parahyangan).
Edisi revisi diterbitkan Yayasan Bung Karno bekerja sama dengan Penerbit Media Pressindo pada Agustus 2007, diterjemahkan oleh Syamsu Hadi, dan diberi kata pengantar oleh sejarawan Asvi Warman Adam.
Buku ini ditulis berawal dari saran Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones kepada Bung Karno saat makan nasi goreng di paviliun Istana Bogor. Sukarno akhirnya setuju bila biografinya ditulis wartawati AS, Cindy Adams, yang berada di Indonesia mendampingi suaminya, Joey Adams, yang memimpin misi kesenian Presiden John F Kennedy ke Asia Tenggara.
“Bung Karno tidak mewariskan kekayaan berlimpah kepada anak cucunya. Hanya semangat perjuangan yang diteruskan kepada generasi muda. Kepada mereka, dia menaruh harapan. Karena seribu orangtua hanya dapat bermimpi; satu anak muda dapat mengubah dunia,” tulis Asvi Warman Adam dalam pengantarnya.
Bung Karno tidak mewariskan kekayaan berlimpah kepada anak cucunya. Hanya semangat perjuangan yang diteruskan kepada generasi muda. Kepada mereka, Sukarno menaruh harapan. Karena seribu orangtua hanya dapat bermimpi; satu anak muda dapat mengubah dunia.
ASVI WARMAN ADAM DALAM PENGANTAR BUKU “BUNG KARNO PENYAMBUNG LIDAH RAKYAT INDONESIA”
“Buku Cindy Adams ini meski bukan biografi resmi dari Bung Karno, namun diakui merupakan karya paling lengkap mengenai kehidupan, cita-cita politik, perjuangan, harapan-harapan Bung Karno,” tulis Guruh Sukarno Putra, Ketua Umum Yayasan Bung Karno dalam pengantar dalam buku ini.
Buku setebal 432 halaman ini, separuhnya memuat kisah Bung Karno pada masa kecil dan masa mudanya. Episode masa muda Sukarno saat mengenyam pendidikan dan memulai kegiatan politiknya, diungkap lebih rinci dalam buku ini. Setengah lainnya memuat kisah perjuangan Bung Karno yang bersama Bung Hatta setelah memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
“Cara yang mudah menggambarkan sosok Sukarno adalah dengan menyebutnya seorang mahapencinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segala-galanya, dia mencintai dirinya sendiri,” demikian pembuka buku ini.
Cara mudah menggambarkan sosok Sukarno adalah dengan menyebutnya seorang mahapencinta. Dia mencintai negerinya, dia mencintai rakyatnya, dia mencintai perempuan, dia mencintai seni, dan di atas segala-galanya, dia mencintai dirinya sendiri.
Sukarno dilahirkan di tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan. Dia tidak memiliki sepatu, tidak mandi dalam air yang mengucur dari keran, tidak mengenal sendok dan garpu. Kusno, namanya saat lahir, memulai hidup sebagai anak yang sakit-sakitan, terjangkit malaria, disentri, dan penyakit lainnya. Ayahnya kemudian memberi nama lain agar Kusno terhindar dari penyakit. “Engkau akan kami beri nama Karna, seorang pahlawan terbesar di kisah Mahabrata,” kata ayahnya, yang mendoakan agar putranya menjadi patriot dan pahlawan besar bagi rakyatnya, menjadi Karna yang kedua. Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa, huruf “a” dibaca “o”. Awalan “Su” berarti “baik”, paling baik. Nama Sukarno bermakna pahlawan yang terbaik.
Sang ayah, Raden Sukemi Sosrodihardjo, berasal dari keturunan Sultan Kediri. Keluarga ayah Sukarno adalah patriot-patriot yang melawan penjajah Belanda. Nenek dari nenek ayah Sukarno memiliki kedudukan di setingkat bawah seorang putri, adalah pejuang pendamping pahlawan besar Pangeran Diponegoro. Dia menunggang kuda, berjuang di belakang Diponegorom sampai menemui ajalnya dalam Perang Besar Jawa pada 1825-1830.
Ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai, kelahiran Bali dari kasta Brahmana, keturunan bangsawan. Raja terakhir Singaraja adalah pamannya. Kakek dan moyangnya dari pihak ibu adalah pejuang-pejuang kemerdekaan. Moyang Sukarno gugur dalam Perang Puputan, daerah di pantai utara Bali, lokasi Kerajaan Singaraja. Mereka bertempur sengit melawan penjajah. Raja terakhir Singaraja disingkirkan secara licik oleh Belanda. Kerajaannya, harta, istana, tanah dan semua miliknya dirampas. Belanda mengundang Raja Singaraja ke kapal perang untuk berunding tetapi Belanda malah menangkapnya dan mengasingkannya ke tempat pembuangan. Keluarga ibunda Sukarno jatuh melarat. Sang ibu sangat membenci penjajah dan menceritakan ini kepada Sukarno kecil.
Ditulis dalam gaya bahasa bertutur dan mengalir, buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” ini asyik untuk dinikmati berulang kali. Otobiografi Sukarno karya Cindy Adams ini salah satu otobiografi yang saya rekomendasikan untuk dibaca generasi muda, kaum milenial dan generasi Z.
Ditulis dalam gaya bahasa bertutur dan mengalir, buku ini asyik untuk dinikmati sampai berulang kali. Buku karya Cindy Adams ini salah satu buku otobiografi yang saya rekomendasikan untuk dibaca kaum muda, generasi milenial dan generasi Z.
ROBERT ADHI KSP, pencinta buku dan penulis 15 buku
Baca juga: 120 Tahun Kelahiran Sukarno (1): Buku-buku tentang Sukarno Muda