ROBERT ADHI KSP
KEBEBASAN pers di Mesir sudah hilang. Sejak terjadi gejolak politik tahun 2011, terutama sejak kudeta militer 2013, jurnalis Mesir tidak lagi bebas menyampaikan laporannya. Kasus terakhir, delapan jurnalis Al Jazeera yang ditangkap pada akhir 2013 diadili pengadilan di Kairo dengan tuduhan ”melakukan konspirasi dengan kelompok teroris” dan didakwa ”menyebar- luaskan informasi yang salah dan rumor kepada masyarakat internasional tentang Mesir”.
Al Jazeera adalah stasiun televisi yang bermarkas di Doha, Qatar. Kedelapan jurnalis Al Jazeera tersebut termasuk warga Australia, Peter Greste, dan warga Mesir, Baher Mohamed dan Mohamed Fahmy, yang ditangkap otoritas Mesir sejak 29 Desember 2013.
Ketiganya ditangkap ketika sedang bertemu dengan anggota Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood) yang sudah dinyatakan sebagai kelompok teroris pada Desember lalu.
Managing Editor Al Jazeera Al Anstey, dalam pernyataannya seperti dikutip CNN, meminta Pemerintah Mesir menghentikan sidang pengadilan. Dakwaan itu disebutkan, ”tidak adil dan tidak dapat diterima”.
Menurut Anstey, jurnalis harus meliput berita dari semua sisi. Ini menjadi tantangan bagi semua jurnalis untuk memberi informasi tentang apa yang sedang terjadi di Mesir kepada masyarakat dunia.
Setiap orang dapat melihat dengan jelas tentang liputan yang akurat, komprehensif, seimbang, dan didukung oleh kualitas dan integritas. Semua laporan Al Jazeera, kata Anstey, memuat semua sisi dari peristiwa yang kompleks yang terjadi di Mesir.
Situs Al Jazeera menyebutkan, sejak Juni 2013, sejumlah jurnalis stasiun televisi itu dipukul, ditangkap, dan ditembak ketika meliput berbagai peristiwa di Mesir. Jurnalis Al Ja-
zeera disebutkan mengalami penyerangan, intimidasi, penangkapan, dan penyitaan properti secara sistematik sejak kudeta militer pada Juni 2013.
Situs ini bahkan memiliki kanal khusus bertajuk Courageous Journalism Under Fire yang memuat nama-nama jurnalis Al Jazeera yang menjadi sasaran pemukulan, penangkapan, dan penembakan saat bertugas.
Mencemaskan
Kebebasan pers di Mesir memang mencemaskan. Organisasi hak asasi manusia dan kebebasan pers internasional, Committee to Protect Journalists, Reporters Without Borders, Index on Censorship, dan Article 19, dalam pernyataan tertulis yang disiarkan pada 30 Januari 2014 meminta Uni Eropa dan Amerika Serikat agar membantu membebaskan jurnalis Al Jazeera tersebut, dan mendukung kebebasan pers di Mesir. Empat organisasi ini juga mendesak Pemerintah Mesir membebaskan para jurnalis yang ditahan.
Committee to Protect Journalists (CPJ) menyebutkan, sepanjang 2013, pers Mesir babak belur oleh berbagai taktik represif, mulai dari intimidasi hukum dan fisik yang dilakukan (mantan) Presiden Muhammad Mursi, sampai pada sensor yang meluas yang diberlakukan pemerintahan pengganti Mursi, yang didukung militer.
Mursi dan pendukungnya menekan pers melalui konstitusi yang represif dan menggunakan peraturan yang dipolitisasi. Setelah Mursi jatuh, giliran pemerintahan yang didukung militer menutup media-media yang pro-Mursi dan menghambat akses berita yang mendukung Ikhwanul Muslimin.
Setidaknya 10 stasiun televisi dan kantor surat kabar digerebek, serta sejumlah wartawan ditahan.
Enam tewas selama 2013
Data CPJ menunjukkan, sepanjang 2013, enam jurnalis Mesir tewas. Angka ini membuat Mesir berada di posisi ketiga setelah Suriah dan Irak dalam jumlah wartawan yang tewas di Timur Tengah sepanjang 2013.
Reporters Without Borders menyebutkan, sepanjang 2013, sebanyak 75 jurnalis tewas di berbagai belahan dunia, enam orang di antaranya di Mesir.
Keenam pewarta Mesir yang tewas itu adalah Tamer Abdel Raouf (Kepala Biro Regional Al-Ahram), Mick Deane (juru kamera Sky News), Ahmad Abdel Gawad (jurnalis Al-Akhbar), Mosab Al-Shami (fotografer Rassd News Network/RNN), Ahmed Samir Assem El-Sanoussi (fotografer Al-Horreya wa al-Adala), dan Salah El-Din Hassan (jurnalis Shaab Masr).
Mesir yang merdeka dari Inggris pada 18 Juni 1953 itu mengalami situasi politik tak menentu setelah pada akhir Januari 2011 Presiden Mesir Hosni Mubarak dipaksa mundur oleh rakyat yang melancarkan aksi demo selama 18 hari. Pada 11 Februari 2011, Hosni Mubarak mundur setelah berkuasa sejak 14 Oktober 1981 selama 30 tahun.
Penggantinya, Muhammad Mursi yang duduk di kursi kepresidenan sejak 30 Juni 2012, hanya bisa bertahan sampai 3 Juli 2013. Ia digulingkan melalui kudeta militer. Mursi diadili dengan dakwaan menghasut pembunuhan.
Situasi politik tak menentu inilah yang menyebabkan jurnalis Mesir kini bekerja dalam tekanan. Sewaktu-waktu mereka dapat ditangkap, bahkan ditembak. Kebebasan pers di Mesir kini sudah mati.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL, SENIN 17 FEBRUARI 2014