HEYDER AFFAN

MASIH ingatkah Anda dengan legenda hidup bulutangkis Indonesia, Liem Swie King, yang terkenal dengan pukulan smasnya? Pada 19 September 2009 lalu, biografinya yang mengungkap kehidupannya secara lengkap — baik aktivitasnya di lapangan maupun kehidupannya sebagai manusia biasa — diluncurkan.  

Sebagai jurnalis, saya diundang dan menghadiri peluncuran buku itu, sekaligus meliputnya — ketika itu ada rubrik Kabar Buku di tempatku bekerja, berisi ulasan buku-buku baru yang dianggap penting dan menarik. Ditulis oleh wartawan Harian Kompas, Robert Adhi Ksp, buku ini mengungkap beberapa peristiwa yang selama ini belum diketahui khalayak. Misalnya saja, kekalahannya dari Rudy Hartono di Final All England 1976 dan rahasia di balik kekuatan smashnya.

Buku “Panggil Aku King”, biografi pebulutangkis legendaris Indonesia Liem Swie King yang ditulis Robert Adhi Ksp. Foto dokumentasi Heyder Affan

“King sering ditanya oleh para penggemarnya soal ‘kekalahannya’ di final All England 1976. Apa betul King diminta mengalah?” tulis Robert Adhi Ksp, sang penulis buku ini, dalam pengantarnya.

Diawali pemutaran slide foto-fotonya mulai kanak-kanak hingga mencapai puncak karirnya di dunia bulutangkis, diskusi siang itu berjalan menarik, karena tak hanya menyoroti prestasi yang dicapai King. 

Acara itu juga menyoroti isi buku yang mengungkap kegagalan dan kekecewaan King dalam perjalanannya di dunia bulutangkis — tak semata prestasinya yang mengharumkan dunia bulutangkis Indonesia.

Salah-satunya adalah apa yang disebut penulis sebagai ‘Rahasia Terpendam’ pada final kejuaraan All England tahun 1976, saat dia dikalahkan Rudy Hartono. 

Orang-orang dekatnya kemudian menganggap King memberikan kemenangan kepada Rudi. Apakah betul begitu?

Dalam jumpa pers usai peluncuran buku, Liem Swie King menolak membeberkan apa yang terjadi. 

Namun dalam buku itu, dia mengaku sangat menyesal tidak bermain habis-habisan, meskipun saat itu dia mengaku kondisinya sangat fit. 

“Aku sungguh menyesal tidak bermain habis-habisan sampai ‘berdarah-darah’ dalam partai final All England itu,” ujar King kepada penulis.

Heyder Affan dan Liem Swie King, 2009

Saya lupa apa jawaban Rudy Hartono, yang hadir dalam diskusi itu. Namun di buku itu, Rudy Hartono di hadapan penulis, berkata: “Sebenarnya perkara ‘memberi’ itu urusan pribadi. Kalau memang ‘diberi’, ya terima kasih,” kata Rudy.

Dalam buku biografinya yang terbit pada 2004, Rudy juga enggan menceritakan kemenangannya itu. Hanya saja dia mengaku menang terhadap kawan sendiri itu sulit. 

Sementara di dalam biografi King, penulis (Robert Adhi Ksp) mengutip sebuah buku seorang tokoh bulutangkis nasional yang membenarkan adanya orang lain yang ikut berperan dalam pertandingan itu agar King merelakan Rudy menjadi juara All England untuk kedelapan kalinya. 

Begitulah bab seputar ‘rahasia terpendam di All England 1976’. Hal lain yang diungkap King dalam bukunya adalah ketika dia diskors 3 bulan gara-gara terlambat datang ke arena pertandingan. Ini terjadi di arena internasional SEA Games tahun 1979.

Saat mengisi masa skorsing itulah, King mendalami dunia akting dengan menjadi bintang film berjudul ‘Sakura Dalam Pelukan’. 

“Mengapa aku bermain film? Aku ingin main film sebenarnya untuk mencari pengalaman dan selingan hidup,” ungkap King, seperti tertera di halaman 139. Pilihan ini, seperti diketahui, menimbulkan kontroversi di masyarakat, yang kemudian dikaitkan dengan prestasinya yang sempat menurun.

Tema lain yang diungkap di buku itu, yaitu, saat dia diskors karena keterlambatannya masuk lapangan di SEA Games 1979. King mengakui, jadwal latihannya menjadi berantakan selama masa skorsing.  Ini pula salah-satu penyebab yang disebutnya melatari kekalahannya dari pemain China, Hanjian, awal 1980.  Kekalahan pertama setelah dia berjaya dan tak terkalahkan selama 33 bulan. 

Di luar peristiwa ini, diskusi itu juga menyorot pukulan keras atau smash yang dimiliki Liem Swie King — sehingga lahirlah istilah ‘King’s Smash’.  Tetapi bagaimana King bisa memiliki pukulan yang keras, yang dilakukannya sambil meloncat?

Di luar faktor teknis, menurut wartawan senior Harian Kompas, Jimmy S Harianto — yang saat menjadi wartawan olahraga acap meliput bulutangkis — kekuatan ‘smash King’ itu tidak terlepas dari jenis raket yang dia miliki.

Hal ini tak terlepas beralihnya raket kayu ke raket alumunium yang mampu menahan rentangan senar yang kuat.

“Saya selalu menyenarkan raket saya di Toko Libra di Roxy,” aku King, seperti dikutip Jimmy dalam buku itu. King membenarkan anggapan ini. Dia juga membenarkan kebiasaannya memasang senar pada raketnya secara lebih ketat.

Dalam bagian lain buku ini, penulis juga mengungkap sejumlah faktor yang membuat King bisa menjadi juara. Salah-satunya adalah kerja keras.  Setelah memenangkan gelar juara All England sebanyak 3 kali dan berbagai kejuaraan bergengsi lainnya, King gantung raket pada tahun 1988 saat usianya 32 tahun. 

“Aku bukan lagi King yang pada 1974 mengalahkan Tjun Tjun 15-0 dalam Kejurnas di Semarang… Aku bukan lagi King yang pernah selama 33 bulan tak pernah terkalahkan oleh siapapun,” ungkap King dalam buku itu. 

“Sudah waktunya aku mundur sebagai pemain bulutangkis dengan kepala tegak,” tandas King. ***

Tabik untuk bung Robert Adhi Kusumaputra!