ROBERT ADHI KSP
Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit (Transit Oriented Development/TOD) membutuhkan kepastian hukum dan investasi. Kawasan ini perlu dipersiapkan sejak awal dengan mengajak seluruh pelaku usaha transportasi, pengembang dan investor untuk dapat mengembangkan kawasan properti sebagai penggerak ekonomi daerah dan nasional. Investor yang akan bekerja sama dengan pemilik tanah dalam jangka waktu panjang, membutuhkan proses perizinan yang jelas dan kepastian hukum.
“Dukungan pemerintah (pusat dan daerah) dalam penyediaan tata ruang maupun rencana strategis transportasi dalam skala kawasan perlu dipersiapkan sejak awal dengan mengajak seluruh pelaku usaha terkait,” kata Faik Fahmi, Wakil Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Bidang Kawasan Berorientasi Transit (TOD), Kota Bandara (Airport City), dan Kota Pelabuhan (Harbour City) dalam wawancara belum lama ini.

Faik Fahmi menyoroti kepastian hukum dan perizinan dalam pengembangan TOD. “Dalam keputusan investasi jangka panjang, dibutuhkan kepastian hukum dan perizinan yang jelas,” tandasnya. Pengembangan Kawasan TOD membutuhkan waktu minimal 30 tahun.
Untuk itu Faik berpendapat, banyak pihak perlu dilibatkan dalam pengembangan TOD, terutama pemilik lahan yang strategis. “Lahan- lahan strategis ini tidak terbatas yang dimiliki pihak swasta, tetapi juga lahan-lahan yang dimiliki BUMN, kementerian, lembaga yang bergerak di bidang properti, perkebunan, pertanian, kehutanan, dan di bidang transportasi,” ungkapnya.
Untuk memanfaatkan lahan-lahan tersebut dalam jangka panjang, kata Faik Fahmi, peran pemerintah sangat dibutuhkan, terutama memastikan proses perizinan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, juga memastikan investor mendapatkan kepastian hukum yang jelas.
Selain itu, menurut Faik Fahmi, belum adanya komunikasi dan koordinasi yang baik terkait rencana pembangunan kawasan TOD, menjadi catatan khusus yang patut diperhatikan. “Padahal komunikasi dan koordinasi ini sangat dibutuhkan untuk mempertemukan pemilik lahan dan calon investor,” ungkap Faik Fahmi, yang juga Direktur Utama PT Angkasa Pura I (Persero).

Pengembang Diundang Bangun Kota Bandara
Faik Fahmi mengundang pengembang untuk berkolaborasi membangun kawasan kota bandara di Indonesia. Dari 15 bandara yang dikelola Angkasa Pura 1, empat bandara akan dikembangkan menjadi kota bandara : YIA Yogyakarta seluas 85,9 ha, Selaparang Lombok seluas 85,9 ha, Kelan Bay Bali seluas 30,9 ha dan Hang Nadim Batam seluas 353 ha.
“Khusus Bandara Internasional Batam akan berkolaborasi dengan Incheon dan dikembangkan sebagai hub bagi penumpang internasional dari Bandara Incheon di Korea Selatan dan dari wilayah Eropa menuju berbagai destinasi di Indonesia,” jelas Faik Fahmi.

Faik mengatakan, Bandara Internasional Batam juga akan menjadi western hub. Pertama, menjadi penghubung penerbangan domestik di wilayah Sumatera ke bandara-bandara yang dikelola oleh Angkasa Pura I di wilayah timur Indonesia, dan kedua sebagai hub keberangkatan haji umrah wilayah Indonesia bagian barat. Dengan semua peluang tersebut, Angkasa Pura I ingin menjadikan bandara tersebut bandara terbaik tidak hanya di Indonesia tetapi juga di kawasan Asia Tenggara.
Sinkronisasi Pengembangan TOD
Dalam wawancara sebelumnya di Jakarta, Faik menjelaskan saat ini hampir seluruh proyek TOD digerakkan oleh BUMN yang terkait dengan industri transportasi sebagai usaha pengembangan. Sebagian usaha ini dalam skema investasi perusahaan sendiri, sebagian lagi dalam skema Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) atau dikenal dengan istilah Private Public Partnership atau PPP.
Mengutip situs Kementerian Keuangan, definisi KPBU adalah kerja sama antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur dan/atau layanannya untuk kepentingan umum yang mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pemerintah, yang sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan pembagian risiko di antara para pihak.

Transit Oriented Development (TOD) adalah konsep perencanaan kota yang terintegrasi yang menggabungkan sistem transportasi, tempat tinggal, area komersial, ruang terbuka, dan ruang publik.
Menurut Faik, pengembangan TOD tidak dapat berdiri sendiri. Dibutuhkan dukungan dan kolaborasi yang baik dari sejumlah pihak, mulai dari pengembang properti, pemerintah, hingga pengelola transportasi. Kolaborasi ini diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan, serta menghadapi berbagai tantangan dalam merealisasikan Kawasan TOD, di antaranya masalah ketersediaan lahan, kejelasan legalitas tanah, sinkronisasi rancangan induk, masalah pembiayaan dll.
Faik memberi contoh, terkait dengan sharing penggunaan lahan maupun ownership lahan operasional, lahan Kawasan TOD harus clear and clean sejak awal penetapan masterplan TOD agar kegiatan usaha memiliki kejelasan legalitas untuk dapat ditawarkan kepada masyarakat. “Demikian juga di area operasional dalam kaitan penggunaan ruang operasional dan komersial, harus jelas otoritasnya,” tandasnya
Faik melihat perlunya sinkronisasi penggunaan lahan dengan kawasan operasional transportasi agar pengembangan kegiatan usaha di Kawasan TOD tidak mengganggu standar minimum operasional dan keamanan kegiatan transportasi terkait. “Baik bandara, pelabuhan, maupun stasiun tentu memiliki area-area terbatas yang perlu dijaga tingkat layanan kepada para penggunanya,” paparnya.
Pembaruan “Database”
Faik Fahmi menilai, database lahan merupakan hal yang sangat penting untuk terus diperbarui karena lahan merupakan bahan dasar pengembangan sebuah kawasan.
BPKPT berharap database lahan dan kawasan yang akan masuk dalam rencana pengembangan Kawasan Berorientasi Transit, Kota Bandara dan Kota Pelabuhan selalu update. Database yang selalu diperbarui akan mendukung dan memudahkan kolaborasi antara pemilik lahan, investor, dan pemerintah pusat dan daerah untuk merealisasikan pembangunan dan pengembangan Kawasan TOD lebih cepat dan lebih efektif,” kata Faik.
TOD dan LVC (Land Value Capture)
Menurut situs https://kpbu.kemenkeu.go.id, Land Value Capture (LVC) adalah serangkaian mekanisme yang digunakan untuk memonetisasi peningkatan nilai tanah/lahan yang muncul akibat adanya pembangunan infrastruktur pada area tersebut.
Faik Fahmi menilai rancangan peraturan presiden tentang LVC belum jelas skemanya sehingga dia khawatir LVC malah menambah beban biaya dan menimbulkan interpretasi berbeda-beda di daerah.
“LVC masih sangat memfokuskan pada ekspektasi peningkatan harga pasar atas lahan yang kawasannya telah dikembangkan oleh para pelaku usaha,” papar Faik.

Peraturan pemerintah perlu menempatkan usaha kegiatan pembukaan dan pengembangan lahan dalam kategori usaha perintis, yang justru membutuhkan insentif lebih. Pemerintah perlu menyadari bahwa usaha peningkatan pendapatan daerah masih dapat ditempuh dengan banyak cara lain setelah pengembangan kawasan mencapai titik maturity-nya.
Insentif bagi para pengembang lahan akan mengundang investor, dan ini membuat proses pengembangan kawasan lebih cepat. Akan banyak terjadi aktivitas usaha dan transaksi dalam berbagai bentuk dan industri. Pada gilirannya, pemerintah daerah akan menikmati berbagai jenis pendapatan, dalam bentuk pajak, retribusi, dan lainnya.
Hasil LVC Digunakan untuk Pembangunan Infrastruktur
Dalam diskusi internal BPKPT Kadin sebelumnya di Jakarta, terungkap bahwa para pengembang dan pemangku kepentingan berharap ada kejelasan tentang insentif dan disinsentif bagi investor yang berkontribusi langsung dalam program LVC agar ada daya tarik bagi investor.
BPKPT berpendapat, hasil LVC harus digunakan untuk pembangunan infrastruktur (earmark). Pendapatan yang diperoleh dari LVC harus bisa diterima oleh Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK) dan digunakan untuk membayar kewajiban PJPK terkait pelaksanaan availability payment (AP) Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Hal ini berhubungan dengan infrastruktur yang di-earmark untuk melaksanakan layanan tambahan terkait infrastruktur yang dibangun, misalnya feeder service dan pedestrian bridges connection.
Dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disebutkan bahwa earmarking adalah alokasi dana dari penerimaan pajak yang disisihkan untuk pembiayaan program tertentu. Pengaturan ini tidak terlepas dari amanat desentralisasi fiskal yang mewajibkan pemerintah daerah mampu membiayai pengeluaran yang menjadi urusan mereka.
Jika dikaitkan dengan KPBU di mana PJPK adalah pemerintah daerah, maka itu harus bisa meringankan kemampuan fiskal dalam hubungannya dengan penyediaan AP (availability payment) atau Pembayaran Ketersediaan Layanan, pembayaran secara berkala oleh Menteri/Kepala Lembaga kepada Badan Usaha Pelaksana atas tersedianya layanan infrastruktur yang sesuai dengan kualitas dan atau kriteria sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian KPBU.
BPKPT berpendapat, LVC erat kaitannya dengan proyek infrastruktur urban Mass Rapid Transit/MRT, Light Rail Transit/ LRT, commuter train (kereta komuter) dan idealnya dilakukan di kawasan pengembangan TOD. Namun saat ini pengembangan TOD masih tumpang tindih, terutama soal regulasi karena menyangkut banyak instansi pemerintah.
Sedangkan pengembangan TOD yang sebagian besar di kawasan perkotaan banyak terkait dengan kepemilikan tanah pribadi (private land owner) yang membutuhkan peraturan yang ringkas dan jelas tentang pengaturan di kawasan ini, terutama apabila mereka berkontribusi dalam mekanisme LVC.
Menurut BPKPT, LVC merupakan faktor kunci keberhasilan kawasan TOD dan perbaikan fasilitas perkotaan. Karenanya, diperlukan perangkat regulasi yang jelas tentang pengelolaannya agar berdampak pada masyarakat secara umum dan investasi yang dilakukan swasta.***

