ROBERT ADHI KSP 

 PENGANTAR:

Beberapa media cetak di Indonesia mengumumkan tidak lagi terbit dalam bentuk cetak, tetapi sepenuhnya bertransformasi ke format digital, dan sebagian lagi berhenti terbit atau ditutup. Beberapa media cetak yang tutup adalah “Koran Sindo” (17 April 2023), Harian”Republika” (31 Desember 2022), menyusul Majalah “Forbes”Indonesia, Tabloid “Nova” (22 Desember 2022), Majalah “Bobo Junior” (21 Desember 2022), Majalah “Mombi (28 Desember 2022), dan Majalah “Mombi Junior SD” (21 Desember 2022), “Suara Pembaruan” (1 Februari 2021), “Koran Tempo” (31 Desember 2020), “Indopos” (24 Desember 2020), Tabloid “Bintang” (April 2019), Tabloid “Cek & Ricek” (April 2019).

Artikel ini khusus ditulis Robert Adhi Ksp untuk buku “40 Tahun Alumni Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad Angkatan 1982” bulan Maret 2022 lalu. Isinya tetap relevan untuk dibaca.

Perubahan dunia jurnalistik dalam dua dasawarsa terakhir sangat cepat, terutama setelah kehadiran internet. Sampai awal 2000-an, industri media (surat kabar, televisi) masih berkibar. Namun sejak penetrasi internet meluas dan makin dalam, industri media di berbagai belahan dunia mulai goyah. Tiras turun, pemasukan iklan seret, dan dampaknya sebagian pekerja media diminta pensiun dini. Kondisi ini diperparah dengan “badai” pandemi Covid-19 yang menerpa, yang berdampak luas terhadap perekonomian. 

Data terbaru Internet World Stats menyebutkan, sampai kuartal pertama tahun 2021, dari 7,8 miliar penduduk dunia, sebanyak 5,1 miliar orang terhubung dengan internet. Ini berarti penetrasi internet sudah mencapai 65,6 persen. Pertumbuhan internet sejak 2000-2021 tercatat mencapai 1.300 persen! Angka ini tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Dari 276,3 juta penduduk, pengguna internet sampai akhir Maret 2021 tercatat 212,3 juta orang. Ini berarti penetrasi internet di Indonesia sudah mencapai angka 76,8 persen. Bandingkan dengan tahun 2000, di mana pengguna internet baru sekitar 2 juta orang. 

Ini tentu bukan sekadar angka-angka biasa. Cukup banyak media cetak rontok dan berguguran. Oplah  dan pemasukan iklan turun drastis sebagai akibat meluasnya penetrasi internet. Perkembangan teknologi melahirkan telepon seluler pintar (smartphone) yang makin canggih. Setiap tahun Apple, Samsung, dan produsen lainnya mengeluarkan berbagai produk perangkat gawai terbaru (ponsel pintar dan tab) — yang memudahkan penggunanya mengakses informasi terbaru dari media digital. 

Suka tidak suka, kehadiran internet telah mengubah cara media massa menyampaikan informasi kepada khalayak, dan mendorong revolusi teknologi yang melahirkan sejumlah perubahan, termasuk hadirnya beragam perangkat yang memungkinkan pembaca surat kabar dan penonton televisi membaca, mendengar, menonton berita dari ponsel pintar dan tablet. Revolusi teknologi juga mengubah banyak hal, termasuk mengubah kebiasaan membaca. Akibatnya, sejumlah pengelola media di dunia, termasuk Indonesia, memutar otak untuk bisa mempertahankan eksistensi media di era digital dengan menjangkau pembaca melalui platform, kanal, dan media yang beragam. (Internet Rontokkan Media Cetak Amerika, https://robertadhiksp.net/2013/08/14/internet-rontokkan-media-cetak-amerika/). 

Menurut data GSMA, sampai Maret 2022, terdapat lebih dari 10,57 miliar ponsel di seluruh dunia yang terhubung, sedangkan jumlah penduduk dunia saat ini 7,93 miliar jiwa.  Ini berarti cukup banyak warga dunia memiliki lebih dari satu ponsel.

Sampai awal Maret 2022, jumlah pengguna ponsel pintar di seluruh dunia tercatat 6,648 miliar. Ini berarti 83,72 persen  penduduk dunia memiliki ponsel pintar. Menurut Statista,  jumlah ini naik dua kali lipat dibandingkan dengan tahun 2017, di mana saat itu tercatat 4,435 miliar pengguna ponsel pintar. Dalam kurun waktu lima tahun (2017-2022), jumlah pengguna ponsel pintar naik 49,89 persen.  

Dampak pertumbuhan ponsel pintar ini, World Advertising Research Center meyakini, pada tahun 2025 mendatang,  72,6 persen seluruh pengguna internet di seluruh dunia akan mengakses laman (web pages) melalui ponsel pintar. Saat ini, sebanyak dua miliar warga dunia atau 57,14 persen pengguna ponsel pintar mengakses internet melalui ponsel pintar. 

Di antara negara-negara di dunia, penetrasi pasar ponsel pintar tertinggi ada di Amerika Serikat. Sebanyak 81,6 persen penduduk AS memilki ponsel pintar atau sekitar 270 juta (dari total 331 juta penduduk). Adapun Indonesia di urutan ke-13, dengan 160,23 juta warga memiliki ponsel pintar atau 58,6 persen dari jumlah total penduduk  273,52 juta jiwa. 

Apa makna angka-angka ini? Di Amerika Serikat misalnya, jumlah media cetak berkurang dari 1.748 pada tahun 1970, turun menjadi 1.279 pada 2018. (statisca.com). Bukan hanya itu. Sirkulasi media cetak  di AS terus turun, termasuk media arusutama The New York Times dan Wall Street Journal. Oplah surat kabar Chicago Tribune pada 2017 masih 438.000 pada September 2017, merosot setengahnya menjadi 238.000 pada  awal 2019.  Orang Amerika kini dengan mudah mengakses konten berita yang tersebar di internet secara gratis. Mereka berpikir,  jika versi digital tersedia gratis, mengapa h arus membayar? Studi tahun 2018 menunjukkan, sebagian besar orang dewasa AS tidak membayar konten berita lokal apa pun pada tahun sebelumnya. (https://www.statista.com/statistics/183408/number-of-us-daily-newspapers-since-1975/)

The New York Times, Wall Street Journal, Bloomberg, The Washington Post misalnya, menawarkan konten digital berbayar kepada para pembaca, termasuk pembaca di luar Amerika. Media-media berkualitas itu berjuang keras untuk tetap mempertahankan integritas. Menurut Presiden dan CEO The New York Times Company Meredith Kopit Levien , jumlah pelanggan digital (dan cetak) kini mencapai 8,3 juta yang tersebar di seluruh dunia.   Pada kuartal ketiga 2021, pelanggan baru digital bertambah 455.000, termasuk 320.000 pelanggan konten berita dan 135.000 pelanggan khusus permainan (games) dan memasak. Ini kinerja terbaik NYT sejak peluncuran model pembayaran digital sejak satu dekade lalu untuk penambahan jumlah pelanggan digital. NYT mencapai tonggak sejarah selama kuartal ketiga 2021 dengan tambahan satu juta pelanggan internasional. (https://nytco-assets.nytimes.com/2021/11/Press-Release-9.26.2021-kIbBF9q04.pdf)

Bagi pembaca yang mengutamakan kualitas konten dan akurasi, berlangganan media arusutama versi digital tentu menjadi pilihan utama. Saya termasuk yang “tergoda” untuk berlangganan NYT karena promo harga 0,25 dollar AS per minggu atau 1 dollar AS per bulan. NYT memberi akses digital kliping surat kabar yang terbit sejak tahun 1851. Ini tentu nilai tambah bagi pemerhati sejarah seperti saya. 

Di Britania Raya (United Kingdom), jumlah tiras media cetak terus menurun dalam kurun waktu 2002-2012, mulai dari The Sun, Daily Mail, The Mirror, The Telegraph, The Express, The Star, The Times, The Record, Financial Times, The Guardian, hingga Independent. 

Media Cetak di Indonesia dan Konten Berbayar

Bagaimana dengan Indonesia? Penetrasi internet yang meluas suka tidak suka telah berdampak terhadap penurunan tiras media cetak. Beberapa tahun terakhir ini, kita sudah jarang melihat penumpang kereta membaca koran. Pemandangan sehari-hari adalah mereka asyik dengan ponsel pintar masing-masing — dan terhubung dengan earphone

Kita juga sudah jarang melihat loper-loper koran menjajakan media cetak di perhentian lampu merah, koran pagi maupun koran sore, quality paper maupun yellow paper.  Semakin jarang kita menemukan kios-kios yang menjajakan berbagai media cetak.   

Seiring dengan meluasnya penetrasi internet dan penggunaan ponsel pintar di Indonesia, satu persatu media cetak berguguran, “mati” terbawa angin perubahan zaman. Tentu tidak semua. Sebagian perusahaan media cetak mengalihkan suratkabar menjadi media daring sepenuhnya (Suara Karya, Bernas, Sinar Harapan), sebagian lagi masih mempertahankan media cetak, tetapi sekaligus membuat versi daring, menciptakan versi e-paper digital, dan menawarkan konten-konten berbayar (Kompas, Media Indonesia, Tempo).

Sebagian lagi gencar memanfaatkan kehadiran media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram untuk mempromosikan konten-konten kepada khalayak pengguna medsos. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah setelah membaca kilasan berita di media sosial, berapa persen orang akan membuka web media bersangkutan, ataupun bersedia membayarnya?  Jangankan orang Indonesia yang senang gratisan, orang Amerika pun masih punya pola pikir demikian. Kalau ada yang gratis, mengapa harus mencari yang berbayar, pikir mereka. Tetapi tentu orang-orang yang berpikir gratisan seperti ini lupa, di dunia maya, kita kesulitan membedakan kabar bohong, propaganda, iklan,  dan berita sesungguhnya. Satu-satunya mencari konten “bergizi” dan berkualitas adalah di media cetak yang sejak lama memiliki nama dan dikenal berintegritas. 

Belajar dari media arusutama di Amerika menangani perubahan ini,  Kompas dan  media arusutama lainnya melakukan langkah serupa dengan NYT, yaitu membuat versi digital (teks dan e-paper) berbayar, juga memonetisasi kliping berita dan dokumentasi foto. Meski harus berjuang agar tetap hidup di tengah derasnya perubahan zaman di era digital ini, media arusutama di Indonesia berupaya untuk tetap berintegritas, tetap berpihak pada yang papa dan mengingatkan yang mapan. 

Karena itu, berlangganan media arusutama di Indonesia yang memiliki konten berkualitas, menurut saya, merupakan keniscayaan, terutama bila kita ingin mengonsumsi bacaan-bacaan bermutu, dan menghindari kabar bohong (hoaks) yang tersebar di belantara dunia maya. Biaya berlangganan per bulan (apalagi saat ada promo) lebih murah dibandingkan secangkir kopi dengan snack-nya atau biaya parkir di pusat perbelanjaan selama beberapa jam. 

Mengapa kita perlu menghargai karya jurnalistik yang dimuat di media arusutama?  Mengapa kita perlu membayar langganan media arusutama? Bayangkanlah proses pencarian, pengumpulan, penulisan berita yang dilakukan para jurnalis di lapangan, terutama yang berlokasi yang jauh dari Jakarta. Bahkan untuk sebuah berita pendek ataupun sebuah foto yang dimuat, dibutuhkan proses yang tidak mudah dan berpeluh keringat. Pemahaman ini perlu disampaikan ke khalayak luas.  

Antisipasi Dunia Pendidikan

Perubahan radikal yang terjadi dalam dunia jurnalistik ini tentunya perlu diantisipasi oleh institusi pendidikan di bidang jurnalistik, dalam hal ini Fakultas Ilmu Komunikasi. Redupnya industri media cetak dan tantangan yang dihadapi pengelola media cetak saat ini menarik untuk diteliti dan dikupas lebih dalam oleh pengajar dan mahasiswa Jurusan Jurnalistik. 

Tantangan media cetak di era digital sudah jauh berbeda dengan tantangan pada era 1970-an, 1980-an, 1990-an hingga awal 2000-an. Sampai era 1980-an, wartawan masih menggunakan mesin ketik dan mesin teleks. Pada awal 1990-an, jurnalis mulai menggunakan komputer dan modem. Setelah internet makin populer dan surat elektronik (email), jurnalis makin mudah menulis dan mengirim berita. 

Namun setelah penetrasi internet melampaui 70 persen penduduk, masa keemasan media cetak kian redup. Pemilik media kehilangan pemasukan iklan dan penurunan tiras yang tajam. Apalagi media sosial makin populer di kalangan generasi milenial dan generasi Z. Setiap orang bisa menjadi “jurnalis” dengan melaporkan berbagai peristiwa di depan matanya, melaporkan secara langsung melalui fasilitas live di media sosial. Namun laporan-laporan di media sosial hanya sebatas itu. Pembaca tetap membutuhkan laporan “jurnalistik makna”, apa makna dari peristiwa yang terjadi. Tulisan, artikel berkualitas semacam ini hanya bisa diperoleh dari media-media cetak arusutama. 

Pengelola media cetak berupaya keras untuk memonetisasi konten-konten andalan yang “bergizi”? Tentu kita berharap media cetak tetap hidup meski berganti platform dan format. Sirkulasi media cetak bisa jadi berkurang, namun distribusi media cetak dalam format digital (e-paper dan web berbayar) selayaknya jangkauannya semakin luas. Bagaimana agar generasi milenial dan generasi Z tetap membutuhkan dan membaca konten-konten media cetak yang berkualitas di era digital ini? Tantangan yang tidak mudah.  

Di tengah derasnya perubahan zaman dan perkembangan teknologi, pers harus tetap mampu  menjadi salah satu pilar demokrasi,   kekuasaan keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dunia pendidikan perlu memberi kontribusi pemikiran dan solusi agar industri media cetak tetap bertahan di  era digital. *

CATATAN: Robert Adhi Kusumaputra adalah alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Jurusan Jurnalistik angkatan 1982.