
ROBERT ADHI KSP
CATATAN: Tulisan saya berjudul “Sembilan dari Sepuluh Orang Singapura Miliki Flat Sendiri” dan tulisan pendukungnya “Semuanya Berkat Dukungan Pemerintah” dimuat di Harian Kompas, 14 Juli 1996. Dua tulisan ini hasil kunjungan jurnalistik ke Singapura untuk membedah hunian rumah susun rakyat (flat). Saya unggah kembali di blog ini, dengan pertimbangan mungkin masih ada manfaatnya bagi para pembaca blog ini. O ya, kebijakan Pemerintah Singapura tentang pembangunan rumah susun rakyat ini adalah yang berlaku pada masa ketika tulisan ini dibuat. (Robert Adhi Ksp)
NYONYA Maryati binti Husein (41) merasa senang tinggal di rumah susun (flat) di kawasan Clementi. Bersama suaminya, Syamsuddin bin Achmad (50) yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran, Maryati membesarkan ketiga anak-anaknya di flat seluas 78 meter persegi itu.
“Kami tidak mau pindah lagi. Kami sudah senang tinggal di sini,” kata Maryati yang ditemui di flatnya hari Selasa (9/7/1996) lalu. Dengan gaji suaminya sebesar 1.000 dollar Singapura (Rp 1,7 juta) sebulan, Maryati kini merasa hidup cukup sejahtera.
Pertama kali tinggal di flat di kawasan Clementi, harga flat di sana sekitar 15.000 dollar Singapura (sekitar Rp 25,5 juta). Keluarga Syamsuddin dan Maryati tentu saja tidak membayar tunai, karena mereka tak mungkin mampu membayar sekaligus. Tanpa mencicil, harga flat sebesar itu pasti tak akan terjangkau oleh penghasilan suaminya, yang bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran. Setiap bulan gaji suaminya dipotong 20 persen, yang secara otomatis untuk cicilan pembayaran flat.
“Sekarang cicilan itu sudah lunas, dan flat ini sudah menjadi milik sendiri. Kalau mau dijual lagi, harganya mencapai 180.000 dollar Singapura (Rp 306 juta),” kata Maryati. Hak guna bangunan itu berlaku 99 tahun, cukup untuk diwariskan pada anak dan cucunya kelak.
Flat seluas 78 meter persegi itu meliputi dua kamar tidur, satu kamar tamu, dapur, dan kamar mandi. Dengan penataan interior yang rapi, flat itu pun menjadi sangat nyaman untuk ditempati. Di ruang tamu, ada sofa dan televisi ukuran 28 inci yang dilengkapi dengan laser disc, serta satu set peralatan komputer. Di dinding, ada hiasan kaligrafi dan lukisan.
Ketiga putrinya tidur di satu kamar seluas 4 m x 5 m. Pada siang hari, tempat tidurnya berubah menjadi sofa sehingga ruangan kelihatan lebih luas. “Kami memang menggunakan tempat tidur seperti itu agar kamar ini mudah diatur,” kata Dewi (18).
Dapur dan ruangan makan cukup luas, dengan lantai keramik yang mengkilap. “Kami menambah ruangan ini secara bertahap sesuai dengan kemampuan. Waktu masuk flat ini tahun 1978, lantai memang belum keramik dan mebel belum lengkap,” kata Ny Maryati.
Keluarga itu sekarang menggunakan kompor gas, listrik dan air. Setiap bulan, mereka harus mengeluarkan biaya sekitar 80 dollar Singapura (sekitar Rp 136.000) untuk membayar tiga rekening penggunaan utilitas itu. Sedangkan untuk penggunaan telepon, rata-rata harus membayar 40 dollar Singapura (Rp 68.000).
Untuk berbelanja, Ny Maryati tak perlu pergi jauh-jauh karena di dekat flatnya sudah dibangun supermarket dan rumah makan. Kalau mau berolahraga, di sana ada taman kota untuk jogging. Juga dibangun sekolah-sekolah untuk penghuni flat.
Bahkan di kawasan flat lainnya seperti di kawasan Tampines, disediakan stadion olahraga untuk sepak bola, juga ada kolam renang dan lapangan tenis. Penghuni flat di Singapura tak perlu jauh-jauh ke pusat kota untuk melakukan aktivitas lain selain bekerja karena di dekat flatnya sudah disediakan berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial.
Penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum pada setiap kompleks perumahan di Singapura memang sudah menjadi suatu keharusan, untuk mengurangi mobilitas warga.
Penyediaan fasilitas sosial dan fasilitas umum pada setiap kompleks perumahan di Singapura memang sudah menjadi suatu keharusan, untuk mengurangi mobilitas warga Singapura. “Kebijakan seperti ini memang membuat kami lebih nyaman,” kata Teo Eng Lian (43) yang bekerja di surat kabar berbahasa Mandarin Lianhe Zaobao yang terbit di Singapura.
Teo Eng Lian tinggal di flat eksekutif di kawasan Tampines, bersama istri, dua orang anak dan ibunya yang sudah lanjut usia. Dengan penghasilan sebesar 3.000 dollar Singapura (Rp 5,1 juta) per bulan ditambah dengan penghasilan istrinya yang juga bekerja sebesar 2.000 dollar Singapura (Rp 3,4 juta), Teo Eng Lian mampu membeli flat yang lebih mahal, seluas 151 meter persegi. Flat itu memiliki tiga kamar tidur, dapur, kamar tamu, kamar mandi, serta gudang. “Didandani” dengan interior yang cantik yang mengesankan, jadilah tempat tinggal mereka nyaman untuk dihuni. Kesan mewah cukup terasa ketika memasuki flat mereka.
Sama dengan keluarga Maryati dan Syamsuddin yang tinggal di flat di kawasan Clementi, keluarga Teo Eng Lian membeli flat itu dengan cara mencicil selama 25 tahun, dipotong dari penghasilannya setiap bulan. Harga flat eksekutif di kawasan Tampines itu 221.000 dollar Singapura (sekitar Rp 375 juta). Setelah membayar uang muka 10 persen dari harga jual, keluarga Teo bisa tinggal di flat yang cukup mewah itu. “Kami tinggal di sini sejak dua tahun yang lalu,” kata Teo yang dijumpai di flatnya hari Kamis (11/7) lalu.
***
PEMBANGUNAN flat di Singapura dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah menyediakan permukiman bagi rakyatnya. Dengan lahan kota-negara yang terbatas (data tahun 1995 mencatat, luas Singapura tercatat 648 kilometer persegi), Pemerintah Singapura -dalam hal ini Dewan Pegembangan dan Perumahan (the Housing and Development Board, HDB)- membangun perumahan bagi rakyat dalam bentuk flat.
Pembangunan flat (rumah susun) di Singapura dilaksanakan sepenuhnya oleh pemerintah karena itu sudah menjadi kewajiban pemerintah menyediakan permukiman bagi rakyatnya. Dengan lahan kota-negara yang terbatas, Pemerintah Singapura, dalam hal ini The Housing and Development Board/HDB, membangun perumahan bagi rakyat dalam bentuk rumah susun.
Menurut Tay Boon Sun, humas HDB di kantornya di kawasan Jalan Bukit Merah, sekitar 86 persen orang Singapura tinggal di flat yang dibangun pemerintah. Jumlah penduduk Singapura sampai akhir tahun 1995 tercatat 2.987.000 jiwa. Sembilan dari 10 orang Singapura memiliki flat sendiri, sebagian besar dimiliki dengan cara mencicil. Sampai awal tahun 1996 ini, sudah 633.399 unit flat yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan perumahan warga Singapura. Tipe flat yang dibangun untuk dimiliki dengan sistem potong gaji itu, bervariasi antara satu kamar hingga lima kamar dan eksekutif. Rinciannya, flat satu kamar sebanyak 1.156 unit, dua kamar (5.608 unit), tiga kamar (230.302 unit), empat kamar (235.344 unit), lima kamar (111.618 unit) dan kamar eksekutif (49.371 unit).
Sedangkan tipe flat yang dibangun untuk disewakan tercatat 66.614 unit, dengan rincian tipe satu kamar (24.774 unit), dua kamar (29.557 unit), tiga kamar (10.783 unit), empat kamar (1.454 unit) dan lima kamar (56 unit).
Pemerintah Singapura menetapkan 20 persen gaji pekerja warga Singapura otomatis dipotong untuk membayar cicilan flat. “Pemerintah memberi subsidi perumahan bagi pekerja yang penghasilannya tidak lebih dari 8.000 dollar Singapura (Rp 13,6 juta) per bulan. Mereka yang mempunyai gaji lebih dari 8.000 dollar Singapura, tidak memperoleh subsidi pemerintah untuk memiliki flat,” kata Tay Boon Sun. Subsidi pemerintah kepada pembeli flat besarnya antara lima sampai sepuluh persen dari harga flat.
Menurut Bonn Sun, yang bisa membeli flat dari HDB hanyalah warga negara Singapura, usianya di atas 21 tahun dan sudah berkeluarga, mengisi formulir, penghasilan per bulan tidak lebih dari 8.000 dollar Singapura, dan belum memiliki rumah atau flat. Di Singapura, orang tak boleh memiliki lebih dari satu rumah/flat.
Pemerintah Singapura menetapkan 20 persen gaji pekerja warga negara itu otomatis dipotong untuk membayar cicilan rumah susun. Pemerintah memberi subsidi perumahan bagi pekerja yang penghasilannya tidak lebih dari 8.000 dollar Singapura per bulan. Mereka yang mempunyai gaji di atas 8.000 dollar, tidak mendapatkan subsidi pemerintah.
Sedangkan mereka yang menetap permanen di Singapura maupun warga Singapura sendiri diperbolehkan membeli flat melalui penjualan di pasar terbuka, dengan syarat-syarat yang sama. Kini HDB tidak lagi membangun flat tipe satu kamar dan dua kamar. Yang dijual kini flat-flat dengan tipe tiga kamar (69 meter persegi), tipe empat kamar (100 m2), tipe lima kamar (120 m2) dan tipe eksekutif (140 m2).
Untuk membeli flat di Singapura, orang harus menunggu, setidaknya harus antre sampai dua-tiga tahun dulu, tidak bisa langsung menempatinya. Setelah flat dibangun oleh HDB, pengelolaannya diserahkan kepada town council (dewan kota) yang anggotanya terdiri dari orang-orang terpilih. Semua permasalahan dan keluhan yang ada, ditangani oleh dewan kota. Pemeliharaan fasilitas umum dan fasilitas sosial menjadi tanggung jawab setiap penghuni flat.
Setiap tahun HDB membangun sekitar 30.000 unit flat dengan berbagai tipe, kecuali tipe satu kamar dan dua kamar. “Kami tidak membangun banyak flat karena lebih mengutamakan kualitas. Kami membangun flat yang representatif dan berkualitas,” kata Tay Boon Sun. Karena itulah sekarang HDB tidak lagi membangun flat tipe-tipe kecil, karena untuk memanusiawikan penghuni yang tinggal di flat itu. Pembangunan lebih diprioritaskan pada flat dengan tipe besar.
Flat-flat tipe satu kamar hingga tiga kamar, memang banyak dibangun sampai tahun 1993 lalu. Namun sejak tahun 1995, HDB hanya membangun flat tipe empat kamar, lima kamar dan tipe eksekutif. Dalam satu tahun terakhir ini saja, sudah 26.185 unit flat tipe besar yang dibangun HDB. Untuk flat tipe empat kamar misalnya, dibangun sebanyak 12.441 unit, tipe lima kamar 10.489 unit dan tipe eksekutif 3.255 unit. Hal ini wajar saja karena kebutuhan masyarakat Singapura makin besar. Jumlah anggota keluarga pun kini makin banyak. Penghuni flat yang sebelumnya keluarga muda, kini sudah dilengkapi dengan anak-anak yang tumbuh jadi remaja.
Bagaimana dengan Jakarta? Sulit memang untuk membandingkannya dengan Singapura. Di Jakarta, pembangunan rumah susun yang dilakukan pemerintah, lebih banyak diperuntukkan bagi masyarakat golongan menengah ke bawah, sebagian korban penggusuran. Tipe yang dibangun pun masih ukuran kecil, tipe 18 dan 21. Tak jarang, dalam satu unit rumah susun tipe 21 di kawasan Tanah Tinggi Jakarta Pusat, jumlah penghuninya sampai 10 orang sehingga mengesankan tidak manusiawi.
Rumah susun untuk kelompok menengah dan menengah ke atas (yang sering disebut apartemen dan kondominium), lebih banyak dibangun untuk pihak swasta, harganya pun relatif lebih mahal. Luas lahan di Kota Jakarta (650 kilometer persegi) kurang lebih sama dengan Singapura, namun jumlah penduduk Jakarta tiga kali lipat dari jumlah penduduk Singapura. Pemerintah DKI Jakarta setiap saat selalu berpesan cepat atau lambat warga Jakarta harus mau tinggal di rumah susun.
Kalau saja rumah susun di Jakarta, sama nyamannya dengan rumah susun di Singapura, tanpa disuruh-suruh pun, orang akan dengan senang hati tinggal di sana. Nyaman dan manusiawi. Sayangnya, rumah susun yang nyaman (baca kondominium) di Jakarta hanya mampu dibeli oleh masyarakat golongan menengah ke atas.
Memang sulit untuk membanding-bandingkan Singapura dengan Jakarta. Sebab pendapatan per kapita penduduk Singapura (awal 1996) tercatat 28.820 dollar Singapura (Rp 48.994.000), sedangkan pendapatan per kapita penduduk Jakarta baru 3.900 dollar AS (Rp 8,5 juta). Sebuah perbedaan yang mencolok, hampir enam kali lipat. Penghasilan rata-rata penduduk Singapura kini tercatat 2.086 dollar Singapura (Rp 3.546.200).
Dibutuhkan waktu yang panjang dan juga kemauan politik yang kuat untuk bisa membangun rumah-rumah susun yang nyaman dan manusiawi di Jakarta, yang bisa dihuni semua golongan dan lapisan masyarakat.
Agaknya, dibutuhkan waktu yang panjang dan juga kemauan politik yang kuat, untuk bisa membangun rumah-rumah susun yang nyaman dan manusiawi di Jakarta, yang bisa dihuni semua golongan dan lapisan masyarakat. (Adhi Ksp, dari Singapura)

***
Semuanya Berkat Dukungan Kuat Pemerintah
ROBERT ADHI KSP
PADA awalnya, Pemerintah Singapura juga menghadapi persoalan berat dalam pembangunan perumahan. Ini dianggap wajar karena pemerintahan Singapura masih muda usia, sehingga masalah pengangguran dan perumahan pun muncul ke permukaan. Di mana-mana ada kawasan kumuh.
HDB (the Housing and Development Board) yang dibentuk pada 1 Februari 1960, bertugas membangun perumahan yang layak untuk rakyat Singapura. Dengan program pembangunan perumahan yang matang, dalam waktu 35 tahun, HDB sudah membangun hampir 700.000 unit flat atau rumah susun di seluruh pelosok Singapura, yang dihuni sekitar 86 persen penduduk Negeri Singa itu.
Keberhasilan HDB membangun flat yang nyaman bagi penghuninya itu, tentu saja berkat dukungan kuat Pemerintah Singapura, terutama dalam penyediaan anggaran, untuk bisa membangun perumahan dengan semua pendukung kegiatannya.
HDB menerima dua bentuk pinjaman dari pemerintah. Pertama, Pinjaman Pembangunan Perumahan (the Housing Development Loan, HDL) untuk program pembangunan dan operasi; dan Pinjaman Pembiayaan Hipotek (the Mortgage Financing Loan, MFL) di mana memungkinkan HDB untuk memberikan pinjaman hipotek kepada pembeli flat (rumah susun). Dengan bantuan developer dan bank, HDB memberi kemudahan bagi masyarakat Singapura yang akan membeli flat.
HDB menerima bantuan dana setiap tahun dari pemerintah untuk menutup defisit dari pembangunan perumahan. Selain itu, Pemerintah Singapura juga memberikan dukungan legislatif yang sangat penting. Pertama, Undang-undang Penerimaan/Tambahan Tanah (Land Acquisition Act, LAA). Pada tahun 1967, pemerintah membuat undang-undang ini yang memberikan wewenang bagi HDB, yang bisa memperoleh tanah swasta untuk program pembangunan perumahan rakyat dan program-program pembangunan lainnya. UU ini bersama kebijakan pemindahan tempat tinggal/relokasi yang cukup sensitif, memungkinkan HDB membersihkan penghuni liar dan daerah-daerah kumuh dengan lancar. Di bekas daerah itu kemudian HDB membangun flat-flat baru yang nyaman.
Kedua, Undang-undang Pembangunan dan Perumahan (the Housing and Development Act, HDA). Undang-undang yang lahir pada tahun 1960 ini memberi HDB kekuasaan hukum yang sah dalam masalah-masalah perumahan rakyat.
***
PADA tahun 1964, pemerintah memperkenalkan Pola Kepemilikan Rumah (Home Ownership Scheme, HOS) untuk memberi warga negara Singapura sebuah aset di negerinya sendiri. Pola ini sebagai salah satu usaha untuk mengamankan keuangan dan membendung inflasi. Pola ini juga membantu menyumbang stabilitas politik, sosial dan ekonomi negara.
Untuk memudahkan warga Singapura membeli dan memiliki sebuah flat, HDB memperkenalkan persyaratan. Sejak tahun 1968, the Central Provident Fund (Amandement) Act atau Undang-Undang (Amandemen) Dana Hari Esok memperbolehkan para pembeli flat menggunakan tabungan Dana Hari Esok mereka untuk 20 persen uang muka, dan membayar setiap bulan dengan pinjaman hipotek.
Setiap sembilan dari 10 orang Singapura yang memenuhi syarat dapat menikmati rumah yang dibangun HDB, yang berarti menerima subsidi pemerintah. Dengan plafon penghasilan paling tinggi 8.000 dollar Singapura (Rp 13,6 juta) per bulan untuk keluarga inti dan 12.000 dollar Singapura (Rp 20,4 juta) per bulan untuk keluarga besar, warga Singapura dapat membeli rumah/flat yang dibangun HDB.
Pembeli flat dapat memilih, mau mencicil pembayaran flat dalam waktu lima tahun, 10 tahun, 15 tahun, 20 tahun atau bahkan 25 tahun. Suku bunga yang ditentukan HDB, biasanya lebih rendah dibandingkan di pasaran.
Untuk membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah, Pemerintah Singapura membuat empat pendekatan agar mereka bisa membeli flat yang dibangun HDB.
Pertama, menjual flat sewa untuk penyewa yang ada. Untuk membantu seorang penyewa flat agar bisa memiliki flat yang ditempatinya, HDB menawarkan potongan harga dari harga jual flat, maksimal 30 persen atau 10.000 dollar Singapura (Rp 17 juta). Penyewa itu diberi pinjaman hipotek sampai 100 persen dari harga flat yang sudah mendapat diskon, untuk membantu proses pembelian flat oleh penyewa.
Kedua, agar flat-flat dapat dibeli oleh keluarga yang pendapatannya di bawah 1.200 dollar Singapura (Rp 2.040.000) per bulan, HDB membeli kembali flat dengan tipe tiga kamar di pasaran bebas, dan menjualnya kepada mereka dengan harga yang sudah disubsidi.
Ketiga, untuk membantu keluarga-keluarga yang berpenghasilan rendah agar bisa memiliki flat tipe empat kamar, HDB menawarkan mereka flat empat kamar yang lebih kecil sedikit dari 90 meter persegi, dengan harga 15 persen sampai 18 persen lebih rendah dari biasanya.
Kelima, seorang penyewa flat dapat mengajukan permohonan untuk membeli sebuah flat HDB untuk pertama kalinya dalam waktu enam bulan sejak namanya tercantum dalam daftar tunggu.
***
KEBIJAKAN Pemerintah Singapura dalam perencanaan dan pembangunan kota baru yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas umum dan infrastrukturnya, mau tak mau membuat HDB membangun flat-flat dengan kualitas yang tinggi, apalagi permintaan akan flat semakin meningkat.
Hampir setiap kota baru dengan ribuan unit flat, kini dilengkapi dengan pusat kota, taman bermain anak-anak, kolam renang, toko, pasar, bioskop, perpustakaan, dan industri yang menyediakan pekerjaan bagi penghuni kota baru tersebut.
Hampir setiap kota baru dengan ribuan unit flat dilengkapi dengan pusat kota, taman bermain anak-anak, kolam renang, toko, pasar, bioskop, perpustakaan, dan industri yang menyediakan lapangan pekerjaan bagi penghuni.
Penghargaan Habitat Dunia pada tahun 1991 untuk perencanaan dan pembangunan Kota Tampines misalnya, membuktikan HDB merupakan pengembang pembangunan perumahan dengan standar internasional, yang berhasil dan inovatif.
Dengan manajemen yang profesional, HDB kini memiliki 19 kantor cabang di lokasi strategis untuk melayani pembeli dan penyewa flat. Sistem desentralisasi ini memudahkan warga Singapura yang membutuhkan flat, memperoleh pelayanan yang cepat.
Menjalani lebih dari tiga dekade dengan pengalaman di bidang perumahan rakyat, HDB telah memenuhi kebutuhan dan aspirasi warga Singapura. Perhatian terhadap perumahan rakyat kini bukan lagi sekadar penyediaan “sebuah atap” namun sudah menjadi kualitas lingkungan hidup.
HDB tidak sekadar membangun flat (rumah susun), tetapi juga mempunyai program memperbarui atau meremajakan kawasan lama (renewal of old estates) melalui berbagai kebijakannya.
HDB tidak sekadar membangun flat, tapi juga mempunyai program memperbarui kawasan lama (renewal of old estates) melalui program-program Redevelopment, Selective En Bloc Redevelopment Scheme dan Upgrading of Old Estates.
Dalam program Redevelopment, blok-blok apartemen/flat tua dengan satu kamar atau dua kamar -yang biasanya disewa- diganti dengan blok-blok baru dengan flat-flat tipe empat kamar, lima kamar dan eksekutif. Flat-flat baru ini sangat disukai penghuni yang mengembangkan sebuah rasa cinta dalam sebuah komunitas.
Program Selective En Bloc Redevelopment Scheme dimulai bulan Agustus 1995 lalu. Dengan pola baru ini, kawasan lama HDB dengan tingkat hunian yang rendah atau pada blok-blok yang dipilih, dapat dibangun kembali. Flat-flat baru ini ditawarkan lebih murah dari flat yang ada, dan memungkinkan penghuni pindah ke flat baru di daerah yang sama.
Program Upgrading of Old Estates bertujuan menata kembali fasilitas di kawasan tua HDB dengan standar di kota-kota baru.
Untuk memberi variasi dan pilihan dalam desain perumahan, HDB memulai Pola Design & Build pada tahun 1991. Swasta diundang untuk ikut tender dalam pembuatan desain flat perumahan rakyat.
Bulan Januari 1996, HDB mengumumkan sebuah tipe baru, flat Design Plus yang diciptakan oleh arsitek-arsitek HDB. Dengan sejumlah inovasi desain, flat-flat yang dibangun HDB telah mencapai tingkat lebih tinggi dalam bidang arsitektur. Para penghuninya sekarang menikmati desain yang lebih baik dengan banyak pilihan. (ROBERT ADHI KSP)