senkaku diaoyu

ROBERT ADHI KSP

Hubungan China dan Jepang tegang lagi. Kedua negara saling mengancam untuk menyerang meski baru sebatas kata-kata. Persaingan kedua bangsa ini sesungguhnya mencerminkan pergeseran kekuatan menyusul kebangkitan ekonomi dan diplomasi China, sementara Jepang terperosok dalam kemerosotan ekonomi dalam dua dekade terakhir ini.

Ketegangan terbaru setelah pekan lalu Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe menyatakan akan menembak pesawat tanpa awak (drone) China yang melanggar wilayah udara Jepang.Hari Sabtu (26/10), Kementerian Pertahanan China menjawab, ”Jika Jepang melakukan langkah-langkah dengan menembak jatuh pesawat, itu provokasi serius bagi kami dan bisa menjadi aksi perang. Kami akan melakukan tindakan tegas menyerang kembali dengan konsekuensi ditanggung oleh pihak yang menyebabkan masalah.”

Menurut Abe, sejumlah negara menginginkan Jepang mengadopsi peran kepemimpinan yang lebih tegas di Asia untuk melawan pertumbuhan kekuatan China. Abe tidak menyebutkan sejumlah negara dimaksud.

Abe menegaskan, Jepang akan menjadi pemimpin tidak hanya di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang keamanan Asia Pasifik. Abe menjanjikan kebijakan untuk mengatasi pudarnya pengaruh Jepang.

Abe melihat, ”China berupaya mengubah status quo dengan kekuatan, bukan dengan aturan hukum. Jika China memilih mengambil jalan itu, tak ada jalan damai. China akan bertanggung jawab atas aksi mereka dalam masyarakat internasional.” (Japan will stand up to China, says PM Shinzo Abe, BBC, 26 Oktober 2013).

Sengketa kepulauan

Hubungan antara China dan Jepang memang berulang kali tegang. Salah satu penyebab utama adalah sengketa teritorial atas kepulauan, dikenal sebagai Senkaku di Jepang dan Diaoyu di China. Pulau-pulau di Laut China Timur itu saat ini dikendalikan Tokyo, tetapi diklaim Beijing.

Delapan pulau tak berpenghuni itu terletak di Laut China Timur dengan luas total 7 kilometer persegi. Lokasinya di sebelah timur Taiwan, di timur China daratan, dan di sebelah barat daya prefektur paling selatan Jepang, Okinawa.

Kepulauan ini dianggap penting karena berada di jalur pelayaran strategis, memiliki kekayaan perikanan, dan diduga mengandung deposit minyak.

YouTube

Belum lama ini Jepang menggunakan YouTube untuk meyakinkan kepemilikan atas kepulauan tersebut. Kementerian Luar Negeri Jepang memublikasikan dua video di kanal resmi YouTube dengan nama pengguna MOFAchannel pada 16 Oktober lalu. (How Japan is deploying YouTube as new weapon in dispute over island chain, CNN, 25 Oktober 2013).

Salah satu video menegaskan klaim Jepang atas Kepulauan Senkaku, didukung foto-foto hitam putih dan lintas masa peristiwa dengan dokumen 1895.

Jepang menegaskan, video tersebut tak akan dihapus. Kemenlu Jepang malah berencana memproduksi video tentang Kepulauan Kuril—yang diklaim oleh Rusia, menurut kantor berita Jepang, Kyodo.

Klaim Jepang

Jepang menyatakan telah menyurvei kepulauan itu selama 10 tahun dan menyimpulkan pulau-pulau itu tidak berpenghuni. Tanggal 14 Januari 1895 adalah saat resmi kepulauan tersebut masuk ke wilayah Jepang. Kepulauan Senkaku menjadi bagian dari Kepulauan Nansei Shoto, yang dikenal sebagai Kepulauan Ryukyu dan pada masa modern dikenal dengan nama prefektur Okinawa.

Setelah Perang Dunia II, Jepang menolak klaim sejumlah wilayah dan teritorial, termasuk Taiwan dalam Traktat San Francisco tahun 1951. Namun, di dalam traktat itu, Kepulauan Nansei Shoto berada di bawah perwalian Amerika Serikat dan kemudian dikembalikan ke Jepang pada 1971 di bawah kesepakatan pengembalian Okinawa.

Jepang menyebutkan, China tidak keberatan dengan kesepakatan San Francisco tersebut. Namun, sejak 1970-an, ketika masalah sumber minyak muncul, otoritas China dan Taiwan mulai mengklaim kepulauan itu.

Klaim China

China menyatakan, Kepulauan Diaoyu telah menjadi bagian wilayah China sejak zaman kuno dan berfungsi sebagai lahan perikanan penting yang dikelola Provinsi Taiwan. Kemenlu China menyatakan, ”Klaim ini dibuktikan oleh sejarah dan secara hukum beralasan.”

Taiwan diserahkan kepada Jepang dalam Traktat Shimonoseki pada 1895 setelah perang China-Jepang. Ketika Taiwan dikembalikan dalam Traktat San Francisco, China menyebutkan bahwa kepulauan tersebut—bagian dari Taiwan—juga harus dikembalikan. Namun, Beijing mengatakan, pemimpin Kuo Min Tang Chiang Kai Shek tidak mengangkat masalah ini.

Kemenlu China menyebutkan, masalah ini disimpan untuk diselesaikan pada masa depan dan kedua belah pihak mencoba mencegah agar tidak menjadi faktor pengganggu dalam hubungan bilateral. Namun, insiden sporadis atas pulau-pulau itu tetap terjadi.

Beberapa insiden

Insiden berkaitan sengketa kepulauan ini beberapa kali terjadi. Tahun 1996, satu kelompok Jepang mendirikan mercu suar di salah satu pulau. Aktivis China kemudian berlayar mengelilingi pulau itu berulang kali.

Tahun 2004, Jepang menangkap tujuh aktivis China yang mendarat di pulau utama.

Pada September 2010, Jepang menyita kapal pukat China yang bertabrakan dengan dua kapal penjaga pantai Jepang di dekat kepulauan tersebut. Insiden ini memicu ketegangan diplomatik yang serius. Aksi protes anti-Jepang terjadi di sejumlah kota di China. Kunjungan 1.000 mahasiswa Jepang ke Shanghai Expo dibatalkan dan kunjungan band Jepang ke China juga dibatalkan. Akhirnya, Jepang membebaskan semua awak kapal pukat China, pertama 14 awak kapal, lalu kapten kapal beberapa hari setelahnya.

Pada April 2012, ketegangan terbaru terjadi setelah Gubernur Tokyo Shintaro Ishihara menyatakan akan menggunakan uang publik untuk membeli pulau-pulau tersebut dari pemilik swasta Jepang. Sekelompok aktivis Hongkong berlayar ke pulau-pulau itu bulan Agustus. Mereka ditahan aparat Jepang dan dikirim kembali ke Hongkong. Beberapa hari kemudian, aktivis nasionalis Jepang juga mendarat di kepulauan itu.

Pemerintah Jepang kemudian mencapai kesepakatan dengan membeli tiga pulau dari pemilik swasta Jepang. Langkah ini membuat China marah. Sejumlah aksi protes digelar di beberapa kota di China, menyebabkan operasi sejumlah perusahaan Jepang di China terhenti. Sejak itu, kapal Pemerintah China berlayar masuk dan keluar dari wilayah sengketa. Pada Desember 2012, Jepang mengatakan, sebuah pesawat China melanggar wilayah udara Jepang.

Sikap keras Abe

Shinzo Abe yang menjadi Perdana Menteri Jepang pada bulan yang sama menjanjikan sikap keras, tetapi juga menyerukan dialog dengan Beijing. Sementara itu, China pada Januari 2013 mengumumkan akan melakukan survei geologi di pulau-pulau tersebut sebagai ”program untuk melindungi hak-hak maritim”.

Pada April 2013, kapal boat membawa aktivis Jepang ke wilayah sengketa. China lalu mengirim delapan kapal pemerintah masuk ke perairan kepulauan tersebut, jumlah terbanyak yang pernah dikirim.

Jepang memanggil utusan China sebagai bentuk protes. Shinzo Abe kepada parlemen mengatakan, Jepang siap menggunakan kekuatan bila pejabat China berupaya mendarat di kepulauan itu.

Masalah Senkaku atau Diaoyu mempersulit upaya Jepang dan China menyelesaikan sengketa ladang gas dan minyak di Laut China Timur yang dua-duanya diklaim.

AS telah menyerukan kedua negara berkepala dingin. Ketegangan dua raksasa Asia ini memicu keprihatinan semua pihak. Bagaimanapun ketegangan China-Jepang akan berdampak pada stabilitas kawasan.

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG, SELASA 29 OKTOBER 2013