ROBERT ADHI KSP
Ketika berkonsultasi dengan dokter Ign Yansen di Eka Hospital awal Agustus 2022, aku menunjukkan catatan rekaman Aritmia (irama jantung yang tudak beraturan) di jam tangan pintar (smart watch) yang terkoneksi dengan ponsel cerdas (smartphone). Dokter jantung itu memeriksa catatan Atrial Fibrillation (AF) atau Atrial Fibrilasi yang terekam, lengkap dengan tanggal dan jamnya.
Atrial Fibrilasi adalah gangguan irama jantung yang ditandai dengan denyut jantung tidak beraturan dan cepat. Penderita atrial fibrilasi dapat merasakan gejala lemas, jantung berdebar, dan sesak napas. Denyut jantung yang normal berkisar antara 60–100 kali per menit dengan irama yang teratur. Pada penderita atrial fibrilasi, irama jantung menjadi tidak teratur dan bisa lebih dari 100 kali per menit.
“Ini sudah berulang kali dan Anda tidak merasakan lagi ya?” tanya dokter Yansen, yang kemudian menyarankanku untuk melakukan pemeriksaan lanjutan. Aku memang tidak merasakan jantung berdebar dan sesak nafas. Mungkin juga sudah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Tetapi dari sisi kesehatan, dokter menilai, kondisi ini justru berbahaya.
Singkatnya, dokter menyimpulkan tingkat AF-ku “baru” 30 persen, belum terlalu parah, tetapi harus langsung dilakukan tindakan ablasi. Jika dibiarkan, akan memunculkan risiko stroke 8-10 kali lebih dari orang yang irama jantungnya normal.

Memang, setiap kali aku selesai berenang selama satu jam nonstop (30 kali p.p), heart-rate (HR)-ku selama berenang adalah 160 bpm, 170 bpm, bahkan pernah 185 bpm. Salah satu contoh, pada 7 Desember 2020, aku berenang sejauh 2,5 km nonstop, 94 menit, dan HR rata-rataku saat berenang mencapai 185 bpm. Bahkan HR rata-rataku selama berlari pada 13 Agustus 2021 pernah mencapai 195 bpm! Ini semua terekam oleh jam tangan pintarku yang terkoneksi dengan ponsel cerdas.
Angka HR yang relatif tinggi ini mengindikasikan ada yang tidak beres pada jantungku. Beberapa kali hasil rekam ECG memang menunjukkan irama jantungku tidak beraturan. Tetapi saat itu aku menganggapnya “bukan masalah” karena toh aku merasa sehat dan bugar. Aku “santai-santai” saja. Bahkan aku sering mengunggah capaian renangku berikut catatan heart rate yang relatif tinggi.
Namun sejak jam tangan pintar yang kupakai memberi warning setiap hari tentang adanya AF dan menyarankan agar aku berkonsultasi dengan dokter, aku mulai berpikir untuk mengikuti “saran” jam tangan pintar ini.
Aku sudah cukup lama memakai Apple Watch. Awalnya aku hanya ingin mengetahui sejauh mana performa olahragaku, jika aku berenang selama satu jam nonstop misalnya, membakar berapa kalori; juga berapa lama aku tidur berkualitas (deep sleep). Semakin tahun smart watch ini semakin keren, mampu mengukur saturasi oksigen, dan mendeteksi irama jantung yang tidak beraturan (aritmia) yang dalam bahasa kedokteran disebut atrial fibrillation. Nah, sejak Mei lalu, setiap hari aku menerima warning dari Apple Watch yang menginformasikan bahwa irama jantungku tidak beraturan, dan aku disarankan berkonsultasi dengan dokter jantung.
Jika Atrial Fibrilasi dibiarkan, akan memunculkan risiko stroke 8-10 kali lebih besar dibandingkan orang yang irama jantungnya normal.
DOKTER IGNATIUS YANSEN
Setelah berkonsultasi dengan dr Ign Yansen, aku menerima penjelasan tentang AF dan perlunya tindakan ablasi. Aku baru bisa memenuhi jadwal ablasi pada akhir September 2022 karena antara Agustus dan September, aku masih dikejar tenggat waktu menyelesaikan penulisan buku terbaruku.
Sebelum masuk ruangan khusus, aku “transit” di kamar perawatan dan didatangi dua dokter, yaitu dokter kepala HCU/ICU dr Vanessy Sp.An, dan satu lagi dokter Ghita yang melakukan pemeriksaan standar. Aku menunjukkan rekaman AF di ponsel cerdasku —yang terkoneksi dengan jam tangan pintarku ke dokter Ghita. “Banyak orang datang ke rumah sakit dalam keadaan sakit. Sebagian besar yang mengalami stroke, setelah dicek, ternyata mengalami AF. Sejak kapan? Tidak diketahui,” kata dokter Ghita. “Tetapi Pak Robert datang dalam kondisi sehat setelah mendapat peringatan tentang AF dari jam tangan pintar yang Pak Robert pakai,” lanjutnya.
Tindakan ablasi yang aku jalani membutuhkan waktu 4-6 jam. Saat itu aku tidak sadarkan diri karena rupanya dibius (anestesi). Singkat cerita, aku hanya membutuhkan waktu dua hari satu malam di rumah sakit itu. (Aku tidak menjelaskan secara teknis tentang tindakan ablasi ini. Silakan buka YouTube dr Ign Yansen yang menjelaskan ablasi secara ilmiah). Saat akan pulang, dokter Caroline, dokter yang saat itu bertugas di ruang HCU/ICU menjelaskan, “tindakan ablasi ini berhasil.”

Sekitar dua minggu setelah tindakan ablasi, aku menyempatkan diri untuk berenang lagi. Ini semata-mata karena aku baru punya waktu lagi. Hasilnya? HR-ku 95 bpm. Artinya, irama jantungku sudah kembali normal. Aku selalu mengecek HR-ku di jam tangan pintarku, dan irama jantungku sudah pada angka yang normal, antara 60-100 bpm.
Beberapa hari lalu, aku dihubungi pihak Eka Hospital dan meminta izin untuk mengunggah testimoniku di Instagram. Aku tidak keberatan. Pertama, informasiku, testimoniku mungkin bermanfaat bagi orang lain. Karena mendeteksi secara dini gangguan kesehatan sangat penting. Mencegah lebih baik daripada mengobati, pepatah ini sudah aku dengar sejak kecil.
Kedua, aku ingin menyampaikan terima kasih kepada dokter Ign Yansen dari Eka Hospital atas saran dan tindakan ablasi ini. Sekarang aku tak perlu waswas tentang irama jantungku selama berolahraga.
Banyak orang datang ke rumah sakit dalam keadaan sakit. Sebagian besar yang mengalami stroke, setelah dicek, ternyata mengalami AF. Sejak kapan? Tidak diketahui. Nah, Pak Robert datang ke sini dalam kondisi sehat setelah mendapat peringatan tentang AF dari jam tangan pintar yang Pak Robert pakai.
DOKTER GHITA
Syukurlah selamat. Ada gunanya smartwatch bagi preventive action. God bless you , my brother
SukaSuka