ROBERT ADHI KSP
Liem Swie King (58) adalah salah satu legenda bulu tangkis Indonesia yang berjaya pada era tahun 1970 dan 1980-an. King dikenal dengan smes tajam sambil melompat yang disebut ”King Smash”. Apabila King sudah melompat, pada umumnya smesnya tidak bisa dikembalikan lawan.
Liem Swie King dibesarkan dalam klub Djarum Kudus. Pemilik perusahaan rokok Djarum, Robert Budi Hartono, mengajak King berlatih di klub itu. Budi Hartono dalam buku biografi Panggil Aku King bercerita, dia sendiri yang membawa genset dari rumahnya agar lapangan Bitingan Lama di Kudus pada malam hari terang-benderang dan dapat digunakan sebagai tempat berlatih bulu tangkis. Pada pagi dan siang hari, lapangan itu digunakan para pekerja untuk melinting rokok. Budi Hartono mengamati permainan remaja Liem Swie King, dan melihat potensinya menjadi juara.
Salah satu pertanyaan yang masih mengganjal dalam pikiran para penggemarnya adalah apakah benar dalam final All England 1976, Liem Swie King ”kalah” dari Rudy Hartono dan memberi jalan bagi koleganya menjadi juara delapan kali? Apakah ada rahasia terpendam di balik kekalahan King? Ia tidak pernah menjelaskan hal ini. Namun, King mengaku sangat menyesal karena pada saat itu ia merasa berada dalam puncak prestasi. Kekalahan King membuat Budi Hartono kecewa. ”Saya pikir King mengalah,” kata Budi Hartono, yang kecewa dengan cara King bertanding dengan Rudy Hartono waktu itu.

King mencetak prestasi tak terkalahkan selama 33 bulan. Sepanjang tahun 1978, King mengalahkan semua pemain terbaik dunia, mulai dari Morten Frost Hansen, Svend Pri, Flemming Delfs, Thomas Kihlstroem, Iie Sumirat, Rudy Hartono, dan dua raksasa muda Tiongkok, Luan Jin dan Han Jian.
King berhasil tujuh kali masuk final turnamen bulu tangkis bergengsi All England, yaitu pada tahun 1976, 1977, 1978, 1979, 1980, 1981, dan 1984. Tiga di antaranya meraih juara, yakni pada 1978, 1979, dan 1981.
King juga enam kali memperkuat tim Piala Thomas (1976, 1979, 1982, 1984, 1986, dan 1988), dan tiga di antaranya ikut mengantar tim Indonesia menjadi juara, yaitu pada 1976, 1979, dan 1984.
Setelah mundur dari dunia bulu tangkis, nama King nyaris tak terdengar. Nama King sempat muncul lagi pada tahun 2009 setelah biografinya berjudul Panggil Aku King diterbitkan Penerbit Buku Kompas, serta film King yang terinspirasi dari kehidupan King, yang digarap Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale, diputar di bioskop-bioskop di Indonesia.
Lima tahun berlalu, Liem Swie King yang lahir di Kudus, Jawa Tengah, 28 Februari 1956, itu lama tak muncul di depan publik. Di mana dia sekarang?
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Liem Swie King di rumahnya di Jakarta Selatan pada Rabu (26/3) lalu.
Pak King masih sehat dan bugar. Apa rahasianya?
Usia saya sekarang sudah 58 tahun. Begitu cepatnya waktu berlalu. Saya merasa kemarin masih berusia 30 tahun, sekarang sudah hampir 60 tahun ya?
Rahasia untuk selalu tetap bugar dan sehat adalah berolahraga secara rutin. Kalau kita berolahraga, meskipun tubuh terasa lelah, tetap lebih segar.
Saya masih rutin bermain tenis bersama teman-teman di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan. Tetapi, saya tidak pernah lagi bermain bulu tangkis.
Dokter tidak menganjurkan saya berolahraga bulu tangkis karena lebih berat dan tidak pas untuk saya yang pernah mengalami operasi tulang pinggul. Satu tahun yang lalu, tulang pinggul saya dioperasi. Dokter mengatakan tulang pinggul saya aus dini. Mungkin dulu digunakan secara berlebihan.
Selain itu, saya selalu berpikir positif, positive thinking dalam memandang hidup. Positive thinkingitu bisa dilatih.
Selain itu, bila dalam hidup ini kita tidak pernah melakukan hal negatif, mengapa khawatir?
Kegiatan Anda sekarang?
Saya sebetulnya hidup santai. Saya sekarang asyik bermain dengan cucu pertama saya, Samantha (3 tahun), anak pertama putri saya, Stephanie.
Setelah dua anak saya, Alex dan Stephanie menikah, saya memberi bimbingan kepada mereka, memberi tahu bagaimana hidup berkeluarga yang baik. Satu anak lagi, Michelle, segera lulus SMA dan baru akan kuliah.
Bisnis saya masih seperti dulu, yang aman-aman saja. Karena dulu ngumpulinnya dengan susah payah, saya tidak terlalu berani untuk terjun dalam bisnis yang risikonya besar. Saya buka SPBU di Jakarta Selatan, selain punya kos-kosan. Istri saya (Lucia Alamsah) masih mengelola hotel di Jakarta Selatan.
Secara bertahap, saya mulai menyerahkan bisnis kepada anak-anak saya, Alex dan Fanny (Stephanie). Mereka sebenarnya memiliki usaha sendiri, tetapi mereka dapat berlatih mengelola usaha di perusahaan agar dapat lebih banyak pengalaman.
Bagaimana Pak King melihat dunia bulu tangkis Indonesia saat ini?
Dalam satu tahun terakhir ini, dunia bulu tangkis Indonesia sangat baik. Di arena All England dan kejuaraan dunia, pebulu tangkis Indonesia selalu meraih gelar. Mendapat dua gelar di arena All England itu bagus karena sudah lama Indonesia tidak meraih gelar juara.
Sistem pembinaan dan perhatian PBSI memang mutlak. Pemerintah seharusnya juga memprioritaskan bulu tangkis. Jarang bulu tangkis bisa maju tanpa campur tangan pemerintah. Salah satu contoh negara yang berhasil dalam pembinaan bulu tangkis adalah Tiongkok.
Saya juga melihat sistem kontrak sponsor langsung ke pemain, memotivasi pemain. Dulu kontrak sponsor diserahkan ke PBSI, dan dibagi ke pemain berdasarkan peringkat. Sekarang, pemain mendapat bonus langsung. Ini membuat pemain termotivasi. Kalau tidak berprestasi, menanggung risiko sendiri.
Awal mulanya pada zaman saya, kontrak sponsor juga langsung diberikan kepada pemain. Pada tahun 1982, sistem kontrak sponsor diubah. PBSI yang menentukan peringkat pemain secara nasional. Itu berarti pemain yang sudah mencapai juara di dalam negeri, merasa tak perlu berprestasi di luar negeri karena bila meraih peringkat nomor 2 nasional saja, sudah lumayan.
Sementara dalam sistem kontrak langsung, sponsor akan melihat peringkat dunia pemain. Sistem yang diterapkan PBSI sekarang lebih memotivasi pemain. Kalau di tingkat dunia tak pernah menang, sponsor akan memberi uang lebih sedikit.
Saya melihat, paling tidak saat ini ada perbaikan ke arah positif. PBSI bisa menarik kembali pelatih-pelatih Indonesia yang melatih di luar negeri. Mereka harus dihargai dan dibayar secara layak. Nilainya jangan berbeda terlalu jauh dengan gaji pelatih di luar negeri. Kalau tidak beda jauh, saya yakin mereka akan melatih pemain di Indonesia dengan senang hati.
Bagaimana dengan gelar juara tunggal putra yang jarang diraih Indonesia?
Perlu waktu untuk mencetak juara tunggal putra. Saya melihat banyak pemain di tingkat yunior bagus, tapi setelah masuk pelatnas dan berlaga di tingkat senior, tidak bisa lagi berprestasi. Bahkan tak bergigi lagi. Padahal pemain yunior yang berprestasi seharusnya menjadi pemain andalan masa depan.
Kenapa bisa begitu? PBSI harus mencari penyebabnya dan harus peduli pada hal ini.
Saya juga melihat, tidak sedikit pemain yunior yang mencuri umur. Misalnya, pemain berusia sudah 18 tahun, tapi mengaku masih 15-16 tahun. Ini sangat merusak.
Pak King yakin bulu tangkis Indonesia akan mencapai kejayaan emas lagi?
Saya sangat yakin Indonesia akan mampu meraih kejayaan bulu tangkis lagi bila penanganannya baik. Sistem pembinaan seperti sekarang sudah baik untuk memacu motivasi pemain. Yang perlu diperhatikan adalah memelihara bibit-bibit pemain yunior yang berprestasi untuk konsisten berprestasi menjadi juara.
SUMBER: DI MANA DIA SEKARANG, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SABTU 29 MARET 2014
