ROBERT ADHI KSP
Pemerintah Turki, akhir pekan lalu, memblokir akses ke media sosial Twitter. Pemblokiran terhadap Twitter dilakukan setelah Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan menilai sebagian rakyat Turki menggunakan media sosial itu untuk mengkritik pemerintahannya dan menghancurkan reputasinya.
Turki satu-satunya negara yang tergabung dalam Uni Eropa, yang saat ini memblokir Twitter. Ini bukan kali pertama Turki melarang media sosial. Sebelumnya, Turki memblokir YouTube ketika salah satu isinya mempersoalkan Mustafa Kemal Ataturk, pendiri negara Turki.
Erdogan menyebutkan, situs- situs media sosial telah melakukan ”pembunuhan karakter secara sistematis” terhadap dirinya dan pemerintahan yang dipimpinnya. Seorang pengguna Twitter anonim yang menyebut diri ”pseudonym” mem-posting tautan (link) yang mengarah pada dokumen dan rekaman audio yang menuduh keterlibatan Erdogan dalam kasus korupsi.
Perdana Menteri Turki menambahkan, bukan hanya Twitter yang dilarang, tetapi bisa juga media sosial lainnya, seperti Facebook dan YouTube, yang digunakan pengguna di Turki untuk membongkar keterlibatan Erdogan dalam kasus-kasus korupsi.
Pemblokiran Twitter di Turki dilakukan menjelang pemilihan lokal, 30 Maret. ”Twitter, YouTube, dan Facebook mengguncang akar keluarga. Mengapa kita tidak melawan mereka yang menghancurkan bangsa kita?” kata Erdogan dalam pidato di televisi hari Minggu (Bloomberg Businessweek, ”Erdogan Defends Blocking Twitter Before Local Turk Elections”, 23 Maret).
Pemblokiran Twitter di Turki menjadi topik tren pengguna Twitter di seluruh dunia dengan hashtag (tagar) #twitterisblockedinturkey. Jutaan pengguna Twitter dari berbagai belahan dunia mem-bully Erdogan dan mengecam sikap Pemerintah Turki.
Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat (AS), dalam pernyataan resmi dalam blognya, melukiskan sensor terhadap internet merupakan ”pembakaran buku pada abad ke-21” dan ”ancaman terhadap kebebasan berbicara di mana saja”.
Hillary Clinton, mantan Menteri Luar Negeri AS, dalam Twitternya berpendapat, ”Kebebasan berbicara dan terhubung dengan dunia merupakan hak paling mendasar” (Financial Times, ”US compares Turkey Twitter ban to ’book burning’”, 22 Maret).
Alasan Turki
Burhan Kuzu, anggota Partai Pembangunan dan Keadilan (Justice and Development Party/AKP) Turki, seperti dikutip Al Jazeera, menjelaskan alasan di balik pemblokiran Twitter.
”Twitter tidak dapat menerapkan kebiasaan mem-posting di Amerika, Inggris, Perancis, Kanada, dan sebagainya di Turki. Mereka tidak menghargai Turki dan putusan pengadilan Turki. Ini isu sangat penting bagi kami,” kata Burhan.
Alasan kedua, Twitter tidak membayar pajak apa pun kepada Pemerintah Turki, padahal media sosial itu memiliki jutaan pengguna warga Turki. Tak ada perwakilan atau kantor komersial Twitter di Turki (Al Jazeera, Tackling Twitter in Turkey, 23 Maret 2014).
Pemerintah Turki meningkatkan upaya memblokir akses ke Twitter setelah banyak pengguna Twitter menemukan cara untuk tetap ngetwit. Penyedia layanan internet di Turki kini memblokir alamat yang digunakan situs media sosial itu (The Guardian, ”Turkey steps up bid to block Twitter after users flout ban”, 23 Maret 2014).
Makin banyak
Twitter menyatakan tetap berupaya agar pengguna di Turki dapat mengakses media sosial itu melalui VPN gratis, yaitu Hotspot Shield. Dalam 12 jam, kata David Gorodyansky, CEO AnchorFree, perusahaan yang menciptakan Hotspot Shield, VPN itu diunduh 270.000 kali oleh pengguna di Turki.
VPN, singkatan dari virtual private network, merupakan koneksi private melalui jaringan publik atau internet. Virtual network bermakna jaringan bersifat virtual, sedangkan private berarti jaringan yang terbentuk bersifat private, dan tidak semua orang bisa mengaksesnya. Data yang dikirimkan terenkripsi sehingga tetap rahasia walaupun melalui jaringan publik.
Hotspot Shield merupakan jaringan pribadi virtual yang dapat mengenkrispsi data dan mengizinkan pengguna berselancar di internet tanpa bisa dilacak. Jaringan itu menghubungkan pengguna melalui server di AS atau di mana saja. ”Ini kebutuhan mutlak bagi rakyat Turki,” kata Gorodyansky.
Sysomos, perusahaan pemantau media sosial yang bermarkas di Toronto, Kanada, mengungkapkan, sebanyak 2,2 juta twit dikirim di Turki, hari Jumat pekan lalu.
Sementara itu, HootSuite menyebutkan, lalu lintas Twitter naik tiga kali lipat dalam 24 jam, dan jumlah pengguna Twitter yang sign up meningkat 300 persen sejak larangan penggunaan Twitter diumumkan Pemerintah Turki. Pengguna di Turki dapat mengakses Twitter melalui HootSuite karena domain perusahaan manajemen media sosial yang bermarkas di Vancouver itu tidak termasuk target Pemerintah Turki.
CEO HootSuite Ryan Holmes mengungkapkan, isi Twitter di Turki, pada umumnya, berupa informasi lokasi dan waktu rencana demo. Perusahaan itu mengalami hal yang sama ketika Pemerintah Venezuela, Mesir, dan Iran menutup akses situs media sosial. Ryan Holmes mempersiapkan untuk membuka domain lain HootSuite bila suatu hari domain ini diblokir pemerintah negara tertentu (The Wall Street Journal, ”Turkey’s Twitter Ban Boosts Downloads of a VPN”, 21 Maret 2014).
Peneliti pada Oxford Internet Institute di Inggris, Andrew Przybylski, mengatakan, teknik Pemerintah Turki melarang media sosial sejauh ini tampak masih primitif.
Pengguna aktif Twitter di seluruh dunia, menurut data 2013, mencapai 500 juta. Dari jumlah itu, 288 juta adalah pengguna aktif. Setiap hari rata-rata 400 juta twit di-posting di Twitter.
Apa yang dapat kita simpulkan dari kasus ini? Dalam zaman teknologi yang semakin canggih, pemerintah di negara mana pun tidak akan bisa menutup akses media sosial dengan cara apa pun. Banyak jalan menuju Roma. Banyak cara untuk tetap bisa mengakses media sosial dan memperoleh informasi.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 24 MARET 2014