Gambar

ROBERT ADHI KSP

Langkah Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal (Pol) Sutarman belum lama ini patut diapresiasi. Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Metro Jaya dan Polda Jawa Timur, serta Kapolda Kalimantan Barat, dimutasi menyusul dugaan pelanggaran yang ditemukan oleh Divisi Profesi dan Pengamanan Polri setelah melakukan Operasi Senyap. Polri mulai ”bersih-bersih”?

Kapolda Kalimantan Barat Brigadir Jenderal (Pol) Arie Sulistyo, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Nurhadi Yuwono, dan Direktur Lalu Lintas Polda Jawa Timur Kombes Rahmat Hidayat dimutasi setelah Divisi Pengamanan Polri (Propam) Polri melancarkan Operasi Senyap. Bukan hanya komandannya, wakil dan pimpinan unit di bawahnya juga dimutasi ke sejumlah wilayah polda di timur Indonesia. Propam Polri menemukan indikasi pelanggaran sehingga para komandan harus bertanggung jawab atas pelanggaran yang terjadi.

Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman berharap langkah pembersihan yang dilakukannya ini, untuk mengubah citra Polri, menjadi institusi yang bersih dan dicintai.

Mengubah citra Polri memang tidak mudah. Apalagi, belum lama ini, salah satu jenderal polisi yang bertugas di bidang lalu lintas, Djoko Susilo, divonis 18 tahun penjara karena korupsi. Puluhan asetnya berupa rumah dan tanah yang tersebar di beberapa lokasi disita.

Korupsi di tubuh Polri memang menjadi persoalan serius bangsa ini. Kepolisian RI termasuk kepolisian yang korup, seperti halnya kepolisian di Brasil, India, Meksiko, Rusia, dan Ukraina.

Sebuah survei pada Oktober 2012, yang melibatkan 10.000 keluarga di 33 provinsi, yang dikutip Wall Street Journal, menyebutkan, satu dari tiga orang Indonesia menganggap menyuap polisi sebagai hal normal dan wajar. Memberi uang lebih kepada polisi agar urusan lancar. Persoalan ini terjadi bertahun-tahun (Wall Street Journal, Many in Indonesia See Bribing Police as Normal, 2 Januari 2013).

Untuk mendapatkan surat izin mengemudi (SIM), rakyat harus berurusan dengan polisi. Untuk memperpanjang STNK dan BPKB, rakyat harus berurusan dengan polisi. Bayangkan bila semua orang ingin cepat selesai, berapa banyak uang yang harus disisihkan kepada polisi? Banyak orang tak mau ambil pusing. Semua urusan lewat calo, dan calo harus menyetor kepada polisi.

Ketika praktik semacam itu dianggap normal, tiba-tiba Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman melakukan pembersihan. Apakah langkah ini efektif?

Belajarlah dari Hongkong

Mengubah wajah Polri dari institusi korup menjadi institusi bersih bukan hal yang mudah. Namun, itu bukan berarti tidak bisa. Hongkong adalah contoh paling nyata bagaimana memberantas korupsi di tubuh kepolisian. Empat puluh tahun lalu, Hongkong adalah salah satu kota paling korup di dunia, menurut organisasi anti korupsi Transparency International.

Inspektur Kepala (Chief Superintendent) Kepolisian Hongkong Peter Fitzroy Godber kelahiran London sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Hongkong. Pada saat itu korupsi menggurita ke semua institusi dan setiap strata masyarakat.

Selama bertahun-tahun, polisi di Hongkong menerima suap, ”uang teh”, untuk pelayanan mendasar. Semua anggota kepolisian Hongkong menerima uang selama beberapa dekade.

Pada 1971, unit internal kepolisian menemukan rekening dari Hongkong ke Kanada senilai 12.000 dollar Kanada yang ditransfer ke akun bank di Kanada di bawah nama P F Gedber. Polisi Hongkong melakukan investigasi internal dengan sandi ”Havana”. Namun karena kekuasaan yang terbatas, unit anti korupsi tidak menemukan banyak kemajuan.

Peter Godber mengajukan pensiun dini pada Juli 1973. Namun, tiga bulan sebelum dia pensiun, komisioner polisi itu diketahui menerima uang. Polisi mengontak 480 bank dan menemukan jutaan dollar AS di akun bank-bank lokal dan luar negeri, semua dikendalikan Godber (South China Morning Post, ”Forty years since its creation, how the ICAC cleaned up corruption in Hong Kong”, 15 Februari 2014).

Perubahan terjadi menyusul protes rakyat Hongkong. Setelah itu dibentuklah Independent Commission Againts Corruption (ICAC), badan pemerintah yang memiliki kekuatan investigatif, yang mengadopsi tiga pendekatan, yaitu hukuman, pendidikan, dan pencegahan.

ICAC yang memulai tugas 15 Februari 1974 telah mengubah Hongkong menjadi pusat keuangan internasional yang bersih dan jujur, dan membuka jalan bagi ”boom” ekonomi Hongkong sejak 1980-an.

Dalam buku A History Modern Hong Kong yang diterbitkan tahun 2004, Steve Tsang, profesor yang mendalami masalah Tiongkok di University Nottingham, menggambarkan ICAC sebagai ”hadiah perpisahan terbaik dari pemerintahan kolonial Inggris, yang memiliki dampak psikologis yang tepat terhadap masyarakat umum”.

Empat puluh tahun lalu, mereka yang masuk polisi dan pemerintahan bisa jadi korup. Namun, kini, anak-anak muda yang bekerja dalam pemerintahan di Hongkong hidup dalam masyarakat bebas korupsi.

Revolusi mental

Apa yang dilakukan Hongkong pada awalnya memang sulit, tetapi buktinya bisa dilaksanakan.

Indonesia sudah memulai membabat koruptor melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sudah banyak pejabat dan mantan pejabat ditangkap petugas berwenang karena terlibat korupsi uang negara.

Namun, membabat habis korupsi di tubuh kepolisian tidak seperti membalik telapak tangan. Dibutuhkan revolusi mental anggota Polri.

Bagaimana mengubah mental polisi yang selama bertahun-tahun menganggap menerima suap merupakan hal normal? Untuk masuk menjadi polisi saja, mereka sudah harus mengeluarkan uang. Setelah menjadi polisi, lalu mereka berupaya ”balik modal” dengan berbagai cara.

Bagaimana mengubah mental Polantas di jalan yang masih mencari-cari kesalahan pengendara dan ujung-ujungnya duit? Bagaimana mengubah mental polisi reserse yang memberi kesan ”lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing”? Laporan ke polisi bukannya membuat warga nyaman, tetapi malah membuat warga harus mengeluarkan uang ”operasional”. Kesan semacam ini masih sangat kuat dalam masyarakat kita.

Upaya Kapolri yang bertekad membersihkan institusinya memang layak diapresiasi. Jangan menyerah dan jangan putus asa. Ingatlah, Hongkong butuh puluhan tahun untuk betul-betul bisa membersihkan institusi kepolisiannya dari korupsi.

Operasi Senyap memang perlu dilanjutkan. Namun, ”pembersihan” di lingkungan Polri akan efektif bila dilakukan secara menyeluruh dan terkonsep agar tidak terkesan sporadis atau ”hangat-hangat tahi ayam”. Rakyat akan mendukung penuh bila Polri bertekad ”bersih-bersih”.

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 5 MEI 2014