ROBERT ADHI KSP

Komisaris Jenderal Badrodin Haiti (56) menjadi calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diajukan Presiden Joko Widodo kepada DPR. Dari sejumlah perwira tinggi berbintang tiga, Badrodin Haiti memiliki pengalaman yang relatif lengkap di berbagai bidang.

Badrodin Haiti yang lahir di Jember, Jawa Timur, 24 Juli 1958, adalah lulusan terbaik Akademi Kepolisian 1982 dan meraih penghargaan Adhi Makayasa. Haiti juga lulusan terbaik Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) tahun 1989 dan meraih Adhi Wira, lulusan Sekolah Staf Pimpinan (Sespim) Angkatan XXXIII tahun 1998, dan lulusan terbaik di Lemhannas KRA ke-36 tahun 2003 dengan meraih Wibawa Seroja Nugraha.

Badrodin Haiti

Di kewilayahan, Badrodin pernah menjabat sebagai Kepala Polres Probolinggo (1999), Kepala Poltabes Medan (2000), Kepala Polwiltabes Semarang (2004). Dia pernah bertugas di bidang reserse, yaitu sebagai Direktur Reserse Kriminal Polda Jatim (2003) dan Direktur I Keamanan dan Transnasional Badan Reserse Kriminal (2008-2009); di bidang hukum sebagai Kepala Divisi Hukum (2010); serta di bidang pendidikan sebagai Sekretaris Lembaga Pendidikan dan Latihan (2005).

Haiti pernah menjabat sebagai Kepala Polda Banten (2004), Kapolda Sulawesi Tengah (2006), Kapolda Sumatera Utara (2009-2010), dan Kapolda Jawa Timur (2010-2011). Badrodin juga pernah menjadi Asisten Operasi (2011-2013), Kepala Badan Pemelihara Keamanan atau Baharkam (2013-2014), dan Wakil Kapolri (2014-sekarang), sebelum ditunjuk sebagai pelaksana tugas Kapolri sejak 16 Januari 2015.

Nama Badrodin pernah disebut-sebut tersangkut kasus rekening gendut sejumlah perwira tinggi Polri pada 2010, tetapi Badrodin dengan tegas membantah informasi itu. Sesuai data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 2 Mei 2014, harta Badrodin senilai Rp 8,2 miliar dan 4.000 dollar AS. Kekayaannya meliputi tanah dan bangunan di Jabodetabek, sejumlah mobil, dan logam mulia.

Dari sisi sumber daya manusia yang ada di Polri, Badrodin Haiti dianggap sebagai sosok yang terbaik saat ini dan yang paling pantas menduduki jabatan Kapolri. Badrodin akan menjalani uji kepatutan dan kelayakan di DPR. Ketua DPR Setya Novanto menyebutkan, nasib Badrodin ditentukan paling lambat 11 April 2015.

Melihat pengalamannya yang beragam di Kepolisian RI, publik tidak meragukan kemampuan dan kepemimpinan Badrodin Haiti menjabat orang nomor satu di institusi Polri. Apabila DPR menyetujuinya, Badrodin akan menjabat Kapolri ke-22 sejak Indonesia merdeka.

Profesional
Salah satu tantangan terbesar Kapolri adalah menjadikan polisi sosok profesional yang setia terhadap konstitusi dan berpihak kepada rakyat. Jangan pernah terjadi lagi Polri berpihak kepada politisi dan partai politik. Cukup sudah hiruk pikuk politik yang terjadi di institusi Polri.

Politisasi institusi Polri pernah juga terjadi pada 2001 di awal masa Reformasi. Catatan Kompas menunjukkan, pada awal Juni 2001, Presiden Abdurrahman Wahid meminta Bimantoro yang baru menjabat Kapolri selama 8 bulan untuk mengundurkan diri, tetapi permintaan itu ditolak Bimantoro dengan alasan tidak sesuai prosedur. Gus Dur kemudian menonaktifkan Bimantoro melalui Keppres No 40 dan 41/Polri/2001, serta melantik Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail menjadi Wakil Kapolri. Pada saat bersamaan, DPR menolak penonaktifan Bimantoro sebagai Kapolri karena tidak sesuai dengan Tap MPR No VII/MPR/2000 (Kompas, 10 Juni 2001).

Lebih dari seratus perwira tinggi dan menengah Polri menyampaikan sikap menolak segala bentuk campur tangan pihak luar yang bertujuan memolitisasi Polri sebagai alat kekuasaan, sekaligus bentuk dukungan kepada Bimantoro sebagai Kapolri. Menko Polsoskam Agum Gumelar akhirnya menyatakan Bimantoro tetap menjabat Kapolri sampai memasuki masa persiapan pensiun Juli 2001. Chaeruddin Ismail tercatat menjabat hanya tiga bulan (2 Juni 2001-7 Agustus 2001).

Berkaca pada pengalaman sebelumnya, sudah sepantasnya Polri kini menjadi institusi profesional, apalagi Polri sudah mandiri. Status Polri sejak Reformasi, 1 April 1999, tidak lagi di bawah ABRI dan di bawah pembinaan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Sejak 1 Juli 2000, sesuai Keppres No 89/2000, status Polri berada di bawah pengawasan Presiden RI dan Kapolri bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Ini berarti Polri lebih leluasa mengatur anggaran dan kebutuhannya. Artinya, apa yang pernah dikeluhkan oleh mantan Kapolri Jenderal Kunarto (alm) tentang betapa sulitnya Polri meminta anggaran untuk alat pengamanan pemilu (pentungan), misalnya, tidak bakal terjadi lagi.

Namun, pasca mandiri, Polri juga menghadapi persoalan serius dalam urusan korupsi dan penyalahgunaan wewenang, seperti yang pernah terjadi pada (mantan) Kepala Korps Lalu Lintas Irjen Djoko Susilo, yang tersangkut kasus korupsi. Djoko divonis 18 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan hukuman pengganti Rp 32 miliar. Hak politiknya, dipilih dan memilih, dicabut.

Menjelang 15 tahun Polri mandiri pada 2015 ini, publik berharap Kapolri betul-betul menjadikan institusi ini profesional, tidak lagi menjadi alat penguasa yang tunduk pada politisi dan partai politik. Banyak pekerjaan rumah menanti. Selain secara internal menindak tegas oknum Polri yang terlibat berbagai kasus kejahatan, Kapolri dan institusi yang dipimpinnya wajib menjamin keamanan dalam negeri.

Dalam konteks ini, kita yakin Badrodin Haiti yang sudah mengenyam banyak pengalaman mampu memimpin Polri dengan tegas dan menjadikan Polri lebih profesional.

robert.adhiksp@kompas.com

SUMBER: SUDUT PANDANG – KOLOM – OPINI, HARIAN KOMPAS DIGITAL, SELASA 3 MARET 2015