ROBERT ADHI KSP

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Taiwan Ma Ying Jeou akan bertemu hari Sabtu (7/11) di Singapura. Pertemuan tingkat tinggi kedua pemimpin negara itu merupakan yang pertama sejak perang saudara Tiongkok berakhir tahun 1949.

Sejak pasukan Partai Nasionalis (Kuomintang) pimpinan Chiang Kai Sek melarikan diri ke Taiwan setelah kalah dalam perang saudara dan Revolusi Komunis Tiongkok 1949 membagi Tiongkok menjadi dua negara, pemimpin Tiongkok dan Taiwan belum pernah bertemu.

screenshot-print.kompas.com 2015-11-06 07-03-10

Kini setelah 66 tahun berlalu, kedua pemimpin, Xi Jinping dan Ma Ying Jeou, akan bertukar pikiran bagaimana meningkatkan hubungan kedua negara. Namun, menurut juru bicara Kepresidenan Taiwan, Charles Chen, dalam pertemuan nanti, belum ada perjanjian yang akan disepakati.

Kantor berita Pemerintah Tiongkok, Xinhua, mengonfirmasi bahwa pertemuan kedua pemimpin akan berlangsung di Singapura akhir pekan ini. “Status dan titel pemimpin kedua negara akan disepakati oleh kedua pihak,” demikian Xinhua mengutip Kepala Kantor Urusan Taiwan pada Pemerintah Tiongkok Zhang Zhijun. Menurut Zhang, kedua pemimpin akan bertukar pandangan mengenai mempromosikan pengembangan hubungan yang damai di lintas Selat Taiwan.

Meski hubungan antara Tiongkok dan Taiwan meningkat dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Tiongkok menegaskan berulang kali bahwa Taiwan adalah sebuah provinsi yang memisahkan diri dan untuk itu reunifikasi merupakan jalan yang tak bisa dihindari, kalau perlu dengan kekerasan. Banyak orang Taiwan waspada dengan niat Tiongkok tersebut.

Sejak menjabat presiden tahun 2008, Ma telah meningkatkan hubungan ekonomi dengan Tiongkok melalui kebijakan kuncinya. Ma telah menandatangani serangkaian kesepakatan pariwisata dan bisnis meski belum ada kemajuan yang dapat menyelesaikan perbedaan politik mereka.

Menjelang pilpres Taiwan

Pertemuan bersejarah itu dilaksanakan pada masa yang sensitif di Taiwan, di mana pemilihan presiden dan legislatif baru akan digelar pada 16 Januari 2016. Pemilihan itu digelar di tengah meningkatnya sentimen anti-Tiongkok, terutama di kalangan kaum muda Taiwan yang tidak percaya dengan keuntungan yang diperoleh Taiwan dari hubungan ekonomi yang lebih dekat dengan tetangganya.

Ma akan meninggalkan kursi kepresidenannya awal tahun depan setelah menjabat selama dua periode. Dalam jajak pendapat, partai pendukungnya, Kuomintang, tertinggal jauh dibandingkan dengan partai oposisi, Partai Demokratik Progresif, yang sangat dibenci oleh Partai Komunis Tiongkok.

Kandidat presiden dari Partai Kuomintang, Eric Chu, mendukung keberlanjutan kebijakan Ma tentang Tiongkok. Sementara Partai Demokratik Progresif mengatakan, mereka percaya hanya orang Taiwan yang dapat memutuskan masa depan negeri itu. Beijing menganggap ini sebagai keinginan Taiwan untuk merdeka.

Tsai Ing Wen, calon presiden Taiwan dari Partai Demokratik Progresif, unggul dalam jajak pendapat di Taiwan sepanjang tahun lalu. Jika perempuan itu menang dalam pemilu di Taiwan Januari 2016, kemungkinan dia akan mengambil kebijakan lebih hati-hati terhadap Tiongkok daratan. Dia akan mempertahankan status quo, tetapi belum menjelaskan bagaimana dia merencanakan hal itu.

Ma pada bulan-bulan terakhir masa jabatan keduanya dan terakhir sebagai Presiden Taiwan telah menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping. Kepada The New York Times tahun lalu, Ma mengatakan, “sangat disayangkan” pemimpin kedua negara di dua sisi Selat Taiwan tak bisa bertemu dalam pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (Asia-Pacific Economic Cooperation/APEC) di Beijing, November 2014.

Para pemimpin Tiongkok daratan sangat berhati-hati bicara tentang pertemuan dengan para pejabat Taiwan karena takut melegitimasi pemerintahan Taiwan, yang sejak lama mengisolasi diri.

Selama Ma menjabat Presiden selama delapan tahun (dua periode), Taiwan dan Tiongkok telah mencapai serangkaian perjanjian yang memperluas perdagangan dan perjalanan wisata di antara kedua negara.

Partai Nasionalis Taiwan yang mendukung Ma Ying Jeou, dikenal juga dengan nama Kuomintang, memosisikan diri sebagai oposisi dalam pro-kemerdekaan Taiwan.

Apakah pertemuan Ma dan Xi bisa membantu Kuomintang dalam pemilihan presiden dan legislatif Taiwan pada Januari 2016? Partai Kuomintang kini berada di posisi bawah dalam jajak pendapat setelah Ma berupaya mendekatkan diri dengan Tiongkok daratan. Dukungan terhadap Ma menurun secara signifikan selama masa jabatannya yang kedua. Ini mencerminkan adanya kecemasan rakyat Taiwan melihat Ma memulihkan hubungan dengan Tiongkok daratan.

Para mahasiswa Taiwan yang berunjuk rasa sejak satu bulan lalu mengambil alih legislatif dan memaksa mereka meninjau kembali kesepakatan layanan perdagangan dengan Tiongkok daratan. Dalam pemilu lokal tahun 2014, Partai Kuomintang mengalami penurunan dukungan yang tajam akibat kebijakan partai tentang Tiongkok.

Tak akan hasilkan terobosan besar

Pertemuan antara Xi Jinping dan Ma Ying Jeou memang pertemuan bersejarah, tetapi kemungkinan besar tak akan menghasilkan terobosan besar.

Jika tak ada perjanjian yang akan ditandatangani di Singapura, sementara masa pemerintahan Presiden Ma akan berakhir awal tahun depan, tinggal sedikit waktu yang tersedia untuk mengejar perjanjian baru.

Sejumlah pengamat mengatakan, Tiongkok berusaha memengaruhi pemilihan presiden di Taiwan. Ma mengambil risiko jika bertemu dengan Xi sementara pemilihan umum akan digelar 10 pekan ke depan.

“Tiongkok mencoba menunjukkan hubungan kedua negara akan membaik jika Taiwan terus dipimpin pemimpin dari Kuomintang.” kata Aaron Friedberg, profesor di Woodrow Wilson School di Universitas Princeton, Amerika Serikat. Tiongkok ingin memberi penghargaan kepada Presiden Ma atas kebijakannya yang mendekatkan diri dengan Tiongkok, seperti ditulis Newsweek.

Bonnie Glaser, pakar Asia di Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington, AS menyebutkan, terjadi pergeseran opini publik di Taiwan menuju lebih skeptis terhadap hubungan dengan Tiongkok. Dukungan publik dalam kerja sama ekonomi dengan Tiongkok daratan cenderung kurang. Karena itu Glaser menilai, “sulit untuk melihat bagaimana pertemuan kedua pemimpin itu akan dapat membantu Partai Kuomintang tetap berkuasa.”

Sebelumnya Tiongkok pernah berupaya mempengaruhi pemilihan umum di Taiwan tetapi langkah itu malah menjadi bumerang. Pada 1996, Presiden Tiongkok Jiang Zemin memerintahkan tes rudal dan latihan perang di sekitar Selat Taiwan, dan mengintimidasi para pemilih untuk tidak memilih kembali Lee Teng-hui, yang diyakini Tiongkok saat itu mempersiapkan kemerdekaan Taiwan secara resmi.

Krisis tersebut membawa kedua belah pihak ke ambang konflik dan mendorong Amerika Serikat mengerahkan armada kapal induknya melalui Selat Taiwan, untuk memperingatkan Beijing. Namun apakah Tiongkok berhasil mengintimidasi rakyat Taiwan? Yang terjadi malah sebaliknya. Lee Teng-hui malah memenangi pemilihan presiden dengan angka telak (54 persen).

Kini Tiongkok tetap berupaya mempengaruhi pemilihan presiden Taiwan, tetapi cara yang digunakan pemimpin Tiongkok tidak lagi dengan cara provokatif dengan menggelar latihan perang, melainkan dengan cara yang lebih simpatik.

Mungkinkah pertemuan bersejarah pemimpin Tiongkok dan Taiwan Sabtu akhir pekan ini akan membuat hubungan kedua negara memasuki babak baru?

robert.adhiksp@kompas.com

SUMBER: KOLOM – KOMPAS PRINT.COM, RABU 4 NOVEMBER 2015