ROBERT ADHI KSP

Setelah melakukan foto diri atau selfie di dalam bus yang membawa puluhan orang, Dijle Deli, seorang mahasiswi, mengunggahnya ke media sosial dan menulis, “Kami ke Ankara untuk membawa perdamaian.” Deli dan ratusan orang lainnya berencana melakukan aksi damai, memprotes konflik antara Pemerintah Turki dan militan Kurdi di Turki tenggara.

Namun, foto selfie itu foto terakhir Deli karena tak berapa lama, sekitar pukul 10.04, dua bom meledak hampir bersamaan mengguncang Ankara, ibu kota Turki itu. Deli termasuk salah satu dari 128 korban yang tewas dalam insiden berdarah, Sabtu (10/10), itu. Hari itu, ratusan orang, dari aktivis remaja sampai nenek berusia 70 tahun, menggelar aksi damai dengan menyanyi, menari, dan mengibarkan bendera yang digelar serikat buruh, kelompok masyarakat sipil, asosiasi sayap kiri, dan pendukung Partai Demokratik Rakyat Kurdi (HDP).

screenshot-print.kompas.com 2015-10-13 11-40-26

“Ledakan pertama terdengar sangat keras disusul ledakan kedua beberapa detik kemudian. Potongan tubuh beterbangan. Saya tersadar, banyak teman saya di lokasi itu. Ini peristiwa paling buruk dalam hidup saya,” ujar Serdar Cil (23) kepada BBC.

Di antara yang tewas adalah Meryem Bulut (70), seorang anggota Saturday Mothers, sekelompok ibu yang mencari anak-anak lelaki mereka yang hilang dalam tahanan polisi pada puncak kampanye anti teror di Turki tenggara pada 1990-an. Cucu Bulut tewas tahun lalu ketika bersama gerilyawan Kurdi di Pegunungan Sinjar melawan militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).

Korban tewas lainnya adalah Elif Kanlioglu (19), mahasiswi Mersin University di Turki selatan. Putri seorang politisi lokal dari partai sayap kiri, Partai Buruh Rakyat (EMEP), itu sempat mengunjungi orangtuanya di Aydin di wilayah Aegean sebelum menumpang bus menuju Ankara untuk menghadiri aksi damai.

Sehari setelah insiden peledakan bom, ribuan orang berkumpul di dekat lokasi kejadian di stasiun kereta Ankara. Banyak yang menuduh Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan membangkitkan sentimen nasionalisme dalam perlawanan terhadap kelompok militan separatis Kurdi (PKK). “Erdogan pembunuh. Polisi pembunuh,” demikian teriak kerumunan massa di Sihhiye Square.

Sampai Senin (12/10), belum ada pihak yang bertanggung jawab atas ledakan bom di Ankara itu. Pemerintah Turki meyakini serangan itu dilakukan militan NIIS.

Aksi bom bunuh diri itu disebutkan dilakukan oleh dua lelaki. Targetnya massa pro Partai HDP dan aktivis sayap kiri yang pada hari itu menggelar rally damai untuk menyerukan perdamaian antara Pemerintah Turki dan militan Kurdi-hal yang mustahil dilakukan PKK.

Surat kabar Haberturk mengutip sumber kepolisian mengatakan, jenis bahan peledak dan pilihan target mengarah pada NIIS. Turki yang berbatasan langsung dengan Suriah sangat rentan terhadap infiltrasi militan NIIS. Namun, kelompok itu, yang biasanya selalu bersuara setelah melakukan serangan, tidak mengklaim apa pun atas serangan bom di Ankara.

Kantor berita pemerintah, Anadolu, seperti dikutip Reuters, Senin, memberitakan, 43 tersangka ditangkap dalam operasi yang menargetkan militan NIIS di seluruh Turki, mulai dari Sanliurfa di wilayah tenggara sampai Izmir di wilayah barat dan di Antalya di selatan. Tidak jelas kapan mereka ditangkap.

Surat kabar sekuler Cumhuriyet membuat judul berita utamanya, Kami Berkabung demi Perdamaian. Surat kabar pro-pemerintah, The Star, menulis,Tujuannya untuk Memecah Belah Bangsa.

Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengecam keras peledakan bom ganda itu. “Saya sangat mengecam serangan keji terhadap persatuan dan perdamaian negara ini. Kami menentang segala bentuk aksi terorisme dan organisasi teroris. Kita wajib melawan mereka bersama-sama,” kata Erdogan dalam pernyataan yang diunggah di situs kepresidenan. Erdogan yang menunda rencana kunjungannya ke Turkmenistan mengatakan, “Serangan bom itu aksi terorisme dan sangat menjijikkan.”

Serangan bom bunuh diri di Ankara, tulis The Mirror, mirip dengan serangan bom bunuh diri di tengah berkumpulnya massa aktivis sayap kiri di kota Suruc, kota yang dihuni mayoritas Kurdi, dekat perbatasan Suriah, 20 Juli lalu, yang menewaskan 32 orang. Semua tanda menunjukkan serangan ini bisa jadi dilakukan militan NIIS. Namun, pengunjuk rasa Kurdi menyalahkan Pemerintah Turki berkolusi dengan militan NIIS. Tuduhan ini dibantah Pemerintah Turki. Dua hari kemudian, pemberontak PKK membunuh dua polisi Turki, menganggap mereka memfasilitasi aksi peledakan bom di Suruc.

Paling mematikan

Serangan bom bunuh diri di Ankara merupakan serangan paling mematikan dalam sejarah modern Turki. Itu membuktikan bahwa negara yang seharusnya menjadi jangkar stabilitas Timur Tengah makin rentan dengan kekerasan, baik dampak dari peristiwa regional maupun akibat ketidakpuasan di dalam negeri sendiri.

Tahun 2003, Turki juga diguncang bom ketika dua sinagoga, kantor pusat Bank HSBC dan kantor Konsulat Inggris di Istanbul dibom. Insiden pengeboman yang dilakukan militan Al Qaeda itu menewaskan 62 orang.

Pemimpin HDP, Selahettin Demirtas, mengecam negara atas insiden berdarah itu dan membatalkan semua kampanye pemilu. Demirtas marah dan mengecam pemerintah sebagai “pembunuh”. Partai ini mengatakan pemerintah telah berkolusi dalam serangan terhadap aktivis Kurdi. Tuduhan itu pun dibantah Pemerintah Turki.

HDP yang mempersiapkan pemilihan 1 November mendatang kehilangan anggota penting dan kunci. Kubra Meltem Mollaoglu (45), kandidat HDP dari Istanbul; dan Abdullah Erol, kandidat HDP dari kota Giresun di tepi Laut Hitam. Mollaoglu sempat mengunggah foto selfie-nya bersama pemimpin HDP, Selahettin Demirtas, di dalam bus, dengan tagar #InSpiteOfEverything #peace.

Partai oposisi utama, Partai Rakyat Republikan (CHP), juga kehilangan anggotanya. Menurut laporanAFP, 11 anggota muda dari kota Malatya di wilayah Anatolia timur juga jadi korban tewas. Beberapa di antaranya sempat berfoto selfie bersama pemimpin CHP, Kemal Kilicdaroglu, di bandara Malatya.

Jelang pemilihan

Serangan bom bunuh diri ini memanaskan situasi politik di Turki yang tiga pekan mendatang (1 November) menggelar pemilihan parlemen kedua-yang diadakan kurang dari satu tahun. Pemilih pada Juni lalu menggembosi Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dari mayoritas parlemen untuk kali pertama dalam 13 tahun terakhir, terutama karena khawatir dengan ambisi otoriter Presiden Erdogan. Serangan ini juga menyisakan pertanyaan, apakah pemilihan dapat digelar dengan aman?

Partai HDP masuk parlemen untuk kali pertama dalam pemilihan dan menang di luar basis Kurdi. Partai berkuasa AKP menolak bernegosiasi dengan partai-partai oposisi yang mencari koalisi sehingga memungkinkan tenggat waktu membentuk pemerintahan terlewatkan. Itu memberi kesempatan kepada Erdogan untuk menggelar pemilihan, sementara pada saat yang sama dia melakukan kampanye buruk terhadap HDP dan meninggalkan pembicaraan damai dengan PKK.

PKK yang dicap sebagai organisasi teroris oleh Turki dan sekutu Baratnya sejak 1984 berjuang untuk bangsa Kurdi agar bisa menentukan nasib sendiri. Sejak itu, sudah 40.000 orang tewas akibat bentrokan itu.

Jika masa lalu adalah preseden, tulis The Wall Street Journal, insiden peledakan bom di Ankara akan memperkuat kecenderungan otokratis Erdogan. Pengguna media sosial Turki melaporkan bahwa mereka tak bisa mengakses Twitter dan Facebook pasca serangan bom. Pemerintah melarang televisi dan radio menyiarkan peristiwa ledakan bom tersebut.

Militer Turki terus menghancurkan posisi PKK meski kelompok Kurdi mengumumkan deklarasi gencatan senjata. Pesawat-pesawat Angkatan Udara Turki menyerang wilayah pemberontak Kurdi dalam serangan udara di Irak utara dan Turki tenggara pada 10 dan 11 Oktober, sehari setelah serangan bom bunuh diri mengguncang Ankara. Sejak Juli lalu, setelah gencatan senjata yang ditandatangani pada 2013 buyar, bentrokan antara pasukan keamanan Turki dan militan PKK meningkat yang menewaskan lebih dari 150 orang, sebagian besar tentara dan polisi.

Pada saat bersamaan, Turki juga menyediakan pangkalan udara Incirlik di selatan Turki bagi jet-jet tempur F-16 Amerika Serikat untuk menyerang militan NIIS di Suriah. Drone-drone Amerika dikendalikan dari lokasi ini.

Kerem Oktem, profesor di Centre for Southeast European Studies di University of Graz, Austria, kepada BBC mengungkapkan, “Kebijakan Turki berpura-pura melancarkan perang terhadap NIIS, sementara pada saat bersamaan menghancurkan PKK.” Sementara itu Pemimpin PKK, Cemil Bayik, menuduh Turki menyerang PKK untuk menghentikan langkah PKK melawan NIIS. “Jadi, Turki sebenarnya melindungi NIIS,” kata Bayik.

Turki, sekutu Barat paling penting di Timur Tengah, kini menghadapi “badai” yang sempurna: polarisasi politik yang mendalam, ancaman bubble ekonomi, meningkatnya kekerasan dengan PKK, ancaman NIIS, dan kedatangan 2 juta pengungsi Suriah. Apakah tragedi di Ankara merupakan tanda masa kegelapan Turki sudah tiba?

robert.adhiksp@kompas.com

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS PRINT.COM, SELASA 12 OKTOBER 2015