Tahun 1967, perekonomian Indonesia masih morat-marit. Inflasi masih tinggi, dan rakyat menjerit karena terpaksa antre sejak pukul tiga pagi untuk mendapatkan 3 liter beras kualitas rendah. Namun, para wakil rakyat di DPR-GR berebutan memesan mobil Holden.
Harian Kompas pada Kamis, 12 Oktober 1967, mengutip kantor berita Antara, mewartakan, DPR-GR telah memesan 380 mobil Holden 1967 melalui sebuah perusahaan swasta di Singapura. Prosedur pembelian dilakukan atas dasar kerja sama antara perusahaan swasta Indonesia dan perusahaan swasta Singapura yang membuka L/C-nya.
Sebelumnya Kepala Rumah Tangga DPR-GR mengumumkan kepada para anggota DPR-GR untuk membeli tiga jenis mobil, yaitu Fiat tipe 1100, Mercedes Benz tipe 250 S, dan Holden 1967. Setelah muncul reaksi keras masyarakat yang tak setuju devisa negara keluar untuk membeli mobil-mobil tersebut, DPR-GR kemudian membantah keras pembelian mobil menggunakan devisa negara. Sumber Antara malah menyebutkan, pemesanan mobil Holden dibiayai Pemerintah Indonesia.
Agen General Motor di Singapura membantah keras berita yang menyebutkan Parlemen Indonesia telah memesan 380 mobil Holden buatan Australia melalui Singapura, seperti dikutip Harian Kompas, Senin, 16 Oktober 1967.
Namun, Panitia Rumah Tangga DPR-GR, seperti diberitakan Harian Kompas, Kamis, 19 Oktober 1967, akhirnya membenarkan berita tentang pemesanan/pembelian mobil Holden untuk anggota DPR-GR. Harga satu mobil Holden itu Rp 335.000 per unit dan melalui PT Pamos. Sampai 2 Oktober 1967, sudah 148 anggota DPR-GR yang mendaftarkan diri membeli, sebagian membayar uang muka, sebagian membayar lunas.
Jika dibeli dalam dollar AS, harganya paling tinggi 2.000 dollar AS. Jika 1 dollar AS setara dengan Rp 140, harga satu mobil Holden 1967 menjadi Rp 280.000 per unit. Apabila ditambah dengan biaya gudang dan sebagainya, harganya menjadi Rp 335.000 di tangan pemesan.
Tuntutan mahasiswa
Kelompok mahasiswa mengajukan surat terbuka kepada pimpinan DPR-GR agar membatalkan pembelian mobil oleh DPR-GR karena persoalan ini menimbulkan reaksi yang menurunkan wibawa DPR-GR. Surat terbuka itu ditandatangani Koordinator Kelompok Mahasiswa Mari’e Muhammad, seperti diberitakan Harian Kompas, Rabu 25 Oktober 1967.

Berita Harian Kompas, 25 Oktober 1967
Pimpinan DPR GR Sjarief Thajeb ketika menerima delegasi KAPPI Jaya menegaskan, secara fungsional sebagai Lembaga Negara, DPR-GR tak pernah berniat membeli mobil Holden untuk para anggotanya. ”Membeli atau tidak, hak masing-masing anggota. DPR-GR tidak berhak untuk memutuskan boleh tidaknya anggota DPR-GR punya mobil,” kata Sjarief Thajeb seperti dikutip Harian Kompas, Rabu 25 Oktober 1967.
Jumlah anggota DPR-GR yang mencatatkan diri untuk membeli mobil dengan alasan membutuhkan mobil 145 orang. Dari sudut hukum, mereka tak bisa dipersalahkan.
Pimpinan DPR-GR menyatakan tak mau mengurus soal ini dan meminta anggota yang ingin membeli mobil, mengurus sendiri.
Yang menjadi persoalan adalah sejumlah anggota DPR-GR yang duduk dalam Panitia Rumah tangga DPR-GR membentuk tim pembelian mobil Holden. Mereka dinilai sewenang-wenang menggunakan fasilitas DPR-GR, mulai dari alat administrasi, kendaraan, sampai gedung. Mereka mengatasnamakan Panitia Rumah Tangga DPR-GR.
Tajuk Rencana Harian Kompas Kamis, 26 Oktober 1967, berjudul ”Proporsi yang Sebenarnya” mengingatkan, keberatan masyarakat atau protes generasi muda yang disampaikan kepada DPR dalam masalah Holden tidak hanya berlaku bagi lembaga itu saja, tetapi berlaku pula para penikmat fasilitas tak seimbang dengan kehidupan rakyat banyak dewasa ini. ”Jika terhadap penggunaan fasilitas saja, masyarakat sudah keberatan, apalagi terhadap penyelewengan-penyelewengan. Dengan demikian, janganlah masalah Holden dijadikan isu politik yang berlarut-larut, melainkan tanggapilah oleh semua pihak menurut proporsinya dan janganlah para penikmat fasilitas lainnya merasa tak kena oleh protes masyarakat itu.”
Ketua DPR-GR Sjaichu akhirnya menyatakan pembelian Holden oleh anggota DPR-GR dibatalkan. Pernyataan itu disampaikan Sjaichu di hadapan massa KAPI yang khusus datang menanyakan hal ini, seperti diberitakan Harian Kompas, Rabu, 1 November 1967.
Berita yang menyoroti anggota DPR-GR pada 1967 atau 50 tahun yang lalu itu, berkaitan dengan perilaku para wakil rakyat pada saat perekonomian negeri ini masih morat-marit. Mereka seakan mengambil kesempatan mendapatkan fasilitas mobil, sementara kondisi sebagian besar rakyat Indonesia masih bergulat dalam kemiskinan. Dan setengah abad setelah peristiwa Holden ini, mencuat berita korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik yang melibatkan para politisi lintas partai. Hampir setengah dari dari anggaran proyek KTP-el yang besarnya Rp 5,9 triliun diduga dibagi ke politisi dan pejabat dari berbagai partai politik. Mereka seakan tak peduli dengan keadaan sebagian rakyat Indonesia yang masih bergulat dengan kehidupan yang keras.
