ROBERT ADHI KSP
Tanggal 13 November ini, genap empat tahun Serangan Teror Paris. Aksi teror yang terencana ini terjadi di stadion utama, restoran dan bar, dan gedung konser di Paris, dilakukan oleh kelompok bersenjata dan pelaku bom bunuh diri, menewaskan 130 orang dan melukai 352 orang. Berikut ini kilas balik Serangan Teror Paris.

Tiga Ledakan Bom Bunuh Diri di Luar Stade de France
Hari Jumat yang cerah. Suhu udara di kota Paris sekitar 13 derajat Celcius. Penggemar sepakbola bersiap-siap mendatangi stadion Stade de France karena pada malam hari pukul 21.00 waktu Paris, akan berlaga tim nasional Perancis melawan tim nasional Jerman. Itu merupakan pertemuan ke-26 antara kedua timnas.
Dua jam sebelum pertandingan dimulai, stadion berkapasitas 81.000 orang itu sudah penuh sesak. Presiden Perancis Francois Hollande menjadi tamu VVIP yang menonton laga Perancis vs Jerman yang disiarkan langsung di televisi.
Salim, petugas keamanan Stade de France, menghentikan langkah seorang pemuda. “Apakah saya dapat memeriksa tiket Anda?” tanya Salim. Pemuda itu memaksa masuk. “Saya butuh berada di dalam stadion. Saya harus masuk ke sana,” sahutnya, seperti terungkap dalam film dokumenter “November 13 – Attack on Paris” yang ditayangkan Netflix.
“Anda menghalangi pekerjaan saya,” kata Salim kepada pemuda itu, yang usianya masih relatif muda dan wajahnya agak kekanak-kanakan. “Silakan berdiri di samping sana. Anda lihat, banyak orang lain yang menunggu untuk masuk,” ujar Salim. Pemuda itu mematuhi perintah Salim, kemudian menatap wajah petugas keamanan itu dalam-dalam.
“Hati-hati dengan orang itu,” teriak Salim kepada koleganya yang berdiri di sekitar pintu masuk. Salim sibuk memeriksa tiket nonton pertandingan sepakbola. Begitu dia mencari pemuda itu di tengah keramaian, dia tak menemukannya lagi.
Pertandingan baru berjalan 20 menit ketika terdengar ledakan di luar stadion. Sebagian penonton mengira suara itu suara kembang api di luar stadion. Ledakan itu berasal dari ledakan bom bunuh diri. Pelakunya, seorang lelaki mengenakan sabuk bom bunuh diri, yang gagal masuk ke dalam stadion setelah berusaha melewati pemeriksaan rutin yang mengecek bahan peledak.
The Wall Street Journal melaporkan, lelaki tersebut kemudian melangkah pergi dari barisan petugas keamanan, kemudian menekan tombol detonasi. Duaarr, suara ledakan terdengar keras. Pelaku bom bunuh diri itu tewas seketika, termasuk seorang yang sedang melintas di dekatnya.
Pertandingan baru berjalan 20 menit ketika terdengar ledakan di luar stadion. Sebagian penonton mengira suara itu suara kembang api di luar stadion. Ledakan itu berasal dari ledakan bom bunuh diri. Pelakunya, seorang lelaki mengenakan sabuk bom bunuh diri, yang gagal masuk ke dalam stadion setelah berusaha melewati pemeriksaan rutin yang mengecek bahan peledak.
Menurut Zouheir, penjaga keamanan stadion yang sedang bertugas, salah seorang penyerang memiliki tiket masuk dan berusaha masuk ke stadion melalui Gate D. Lelaki itu mengenakan rompi bahan peledak ketika digeledah di pintu masuk stadion, sekitar 15 menit setelah pertandingan dimulai.
“Penyerang meledakkan rompi yang penuh dengan bahan peledak dan baut,” kata Zouheir yang bertugas di terowongan para pemain. Polisi juga mencurigai penyerang itu bermaksud meledakkan rompinya di dalam stadion. Lelaki itu diidentifikasi sebagai Ahmed Almohammad (25) berasal dari Suriah.
Pukul 21.30, ledakan kedua terdengar di luar Stadion Perancis (Stade de France), masih di jalan yang sama dengan ledakan pertama, di Avenue Jules Rimet. Pelakunya diketahui bernama Bilal Hadfi (20) berasal dari Belgia dan pernah bergabung dengan NIIS di Suriah.
Dua ledakan keras yang terdengar jelas pada babak pertama pertandingan membuat penonton di dalam stadion dan pemirsa televisi bingung.
Awalnya Zouheir berpikir ledakan pertama adalah suara petasan. Namun dari walkie-talkie yang ramai dengan percakapan, dia mengetahui bahwa setelah ledakan pertama, Presiden Francois Hollande dibawa ke luar stadion. “Begitu saya tahu Presiden dievakuasi, saya sadar bahwa ledakan itu bukan suara petasan biasa,” katanya.
Setelah ledakan pertama, Presiden Francois Hollande dibawa ke luar stadion. Begitu saya tahu Presiden dievakuasi, saya sadar bahwa ledakan itu bukan suara petasan biasa.
ZOUHEIR, PETUGAS KEAMANAN STADE DE FRANCE
Pukul 21.53, penyerang ketiga meledakkan diri di gerai McDonald’s di Rue de la Coquerie, menewaskan satu orang sipil di sana. Lokasinya sekitar 400 meter dari Stadion Stade de France. Lelaki ini berusia sekitar 20 tahun.

Dalam tiga ledakan di luar stadion, empat orang tewas, tiga di antaranya pelaku bom bunuh diri, dan seorang lagi yang kebetulan sedang melintas di dekat pengebom.
Pertandingan persahabatan antara timnas Perancis dan Jerman berlanjut sampai 90 menit sesuai peraturan FIFA. Ketua Federasi Sepak Bola Perancis Noel le Graet mengatakan pihaknya sengaja tidak menyampaikan informasi tentang ledakan bom bunuh diri di luar stadion kepada para pemain dan puluhan ribu penonton di dalam stadion untuk menghindari kepanikan.
Kami sengaja tidak menyampaikan informasi tentang ledakan bom bunuh diri di luar stadion kepada para pemain dan puluhan ribu penonton di dalam stadion untuk menghindari kepanikan.
NOEL LE GRAET, KETUA FEDERASI SEPAKBOLA PERANCIS
Berita tentang aksi teror mulai menyebar di dalam stadion pada akhir babak kedua. “Selama babak kedua, saya mulai mendapat peringatan berita tentang serangan di Paris. Saya memang mendengar suara ledakan, tapi saya masih berpikir itu hanya suara petasan,” ungkap Pierre Tissier (27).
Pelatih timnas Jerman Joachim Low mengaku cemas dengan kabar ledakan bom di luar stadion. Sebelumnya timnas Jerman yang menginap di Hotel Molitor, hotel bintang lima di Distrik ke-16 Paris, diancam bom dan dievakuasi.
Timnas Jerman memutuskan untuk tetap bermain di Stade de France pada Jumat malam. Mereka membawa masuk kasur ke dalam ruangan pemain. Beberapa pemain tertidur tetapi sebagian lagi terjaga dan mendiskusikan peristiwa yang sedang terjadi di Paris.
Pelatih timnas Jerman Joachim Low mengaku cemas dengan kabar ledakan bom di luar stadion. Sebelumnya timnas Jerman yang menginap di Hotel Molitor, hotel bintang lima di Distrik ke-16 Paris, diancam bom dan dievakuasi.
Hari Sabtu 14 November, Joachim Low dan anak-anak asuhnya pulang ke Jerman dengan pesawat pagi.
Serangan itu terjadi tujuh bulan sebelum Perancis menjadi tuan rumah kejuaraan sepakbola Eropa (Euro) selama satu bulan. Pertandingan Euro 2016 —yang merupakan turnamen sepak bola terbesar pertama di Perancis setelah Piala Dunia 1998— digelar di 10 lokasi di Perancis, dua di antaranya di Paris, yaitu di Parc des Princes di barat dan Stade de France di pinggiran utara.
***

Penembakan di Petit Cambodge dan Le Carillon
Le Carillon adalah kafe-bar di kawasan Canal Saint-Martin yang trendi di Paris timur, terkenal dengan minuman kopi berharga relatif murah dan suasana santai. Bagi warga setempat, kafe-bar ini bersahaja dengan sofa-sofa tua dan pencahayaan yang remang-remang pada malam hari.
Saat itu pukul 21.25. Tak ada yang menyangka ketika sekelompok pemuda turun dari mobil berwarna hitam, langsung menembaki orang-orang yang sedang berjalan di Rue Alibert dan Rue Bichart di wilayah Distrik 10 Paris, tak jauh dari Place de la Republique. Mobil itu kemudian ditemukan di pinggiran timur Montreuil, sekitar lima kilometer dari lokasi penembakan.
Ben Grant, saksi mata di Bar Le Carillon awalnya mengira petasan telah padam. Beberapa detik kemudian dia menyadari mereka ditembaki dengan senjata semi otomatis. “Orang-orang berjatuhan di tanah. Saya dan istri berlindung dengan meletakkan meja di atas kepala,” kisahnya.
Kelompok bersenjata itu juga melepaskan tembakan ke orang-orang yang berkumpul di Le Petit Cambodge, restoran Kamboja, di seberang Le Carillon. Saksi mata melukiskan, seorang lelaki menyeberang jalan dan mengarahkan senjatanya ke restoran Le Petit Cambodge.
Orang-orang berjatuhan di tanah. Saya dan istri berlindung dengan meletakkan meja di atas kepala
BEN GRANT, SAKSI MATA
Serangan di dekat pusat kota di sekitar tempat hiburan malam di Paris ini menyebabkan lima belas orang meninggal, 15 lainnya luka parah. Lebih dari 100 peluru ditembakkan.
Pierre Monfort tinggal di dekat restoran Kamboja, di dekat Rue Bichat. “Kami mendengar suara tembakan sekitar 30 detik tanpa henti. Kami pikir itu suara kembang api,” katanya kepada AFP.
Saksi mata lain yang berada di dalam restoran mengatakan semua orang tergeletak di lantai. “Seorang gadis digendong seorang pemuda. Tampaknya dia sudah tak bernyawa,” ungkapnya.

Penembakan di La Bonne Biere
Pukul 21.32, aksi penembakan terjadi di persimpangan Rue de La Fontaine au Roi dan Rue du Faubourg du Temple di depan Cafe Bonne Biere dan resto pizza La Casa Nostra di wilayah Distrik 11 Paris.
Lima orang tewas dan delapan orang terluka. Saksi mata mengungkapkan, kelompok bersenjata mengendarai mobil berwarna hitam.
***

Penembakan di La Belle Equipe
Pukul 21.36, kelompok bersenjata yang sama tiba di Restoran La Belle Equipe di Rue de Charonne nomor 92. Dua orang melepaskan tembakan sekitar tiga menit ke arah pengunjung resto yang duduk di teras kafe itu. Mereka kemudian kembali menaiki mobil hitam dan menuju ke arah stasiun Charonne.
Sembilan belas orang tewas di lokasi ini dan sembilan lainnya dalam kondisi kritis.
Dua orang melepaskan tembakan sekitar tiga menit ke arah pengunjung resto yang duduk di teras kafe itu. Mereka kemudian kembali menaiki mobil hitam dan menuju ke arah stasiun Charonne. Sembilan belas orang tewas di lokasi ini dan sembilan lainnya dalam kondisi kritis.
Andrian Svec, fotografer asal Slovakia dan kekasihnya, Zuzanna Szamocka, sedang menikmati makan malam di restoran Septime (nomor 80), tak jauh dari La Belle Equippe. Dia mendengar suara tembakan. Dia dan pengunjung restoran sempat bersembunyi di bawah meja.
Tapi beberapa saat kemudian, Svec mengikuti nalurinya sebagai fotografer. Dia tiba di lokasi dan melihat di luar resto, korban-korban tewas masih terduduk di meja dengan gaya alfresco. Dia mengambil foto-foto dengan kamera LeicaM6.

“Kami mendengar suara tembakan seperti dari senjata otomatis. Saya berlari menuju restoran tersebut. Saya melihat 10 orang, tak ada tanda-tanda mereka masih bernyawa. Suasana hening. Tiba-tiba seseorang mulai berteriak dan menangis,” ungkap Svec seperti dikutip The Guardian, 17 November 2015.
Pemilik La Belle Equipe, Gregory Reibenberg, selamat dari serangan. Namun istrinya, Djamila, seorang muslim, tewas diberondong tembakan teroris.
Korban di La Belle Equipe di antaranya kelompok 11 orang yang bekerja di Cafe des Anges di sekitar lokasi dan merayakan ulang tahun rekannya, Houda Saadi dan saudara perempuannya, Halima, warga Perancis keturunan Tunisia. Keduanya menjadi korban tewas.
Pemilik La Belle Equipe, Gregory Reibenberg, selamat dari serangan. Namun istrinya, Djamila, seorang muslim, tewas diberondong tembakan teroris.
Kelompok bersenjata sempat menembaki jendela depan restoran sushi Jepang di sebelah La Belle Equipe tapi tak ada korban.
***

Bom Bunuh Diri di Comptoir Voltaire
Pukul 21.40, seorang pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya di Restoran Comptoir Voltaire di Boulevard Voltaire nomor 253 di wilayah Distrik 11 Paris. Satu orang yang berada di dalam restoran itu mengalami luka serius dan dua lainnya luka-luka.
Pelaku bom bunuh diri di restoran ini diidentifikasi bernama Ibrahim Abdeslam (31) yang tinggal di Moleenbeek, Brussels, Belgia.
“Sejak menikah dengan Ibrahim, dia pengangguran dan setiap hari mengisap ganja. Ibrahim tak pernah ke masjid dan malah beberapa kali masuk penjara,” kata mantan istrinya, Naima (36) kepada “The Mail”.
Meskipun ijazahnya sebagai teknisi listrik, Ibrahim tak pernah mendapatkan pekerjaan. Pasangan itu tidak memiliki anak karena menurut Naima, mereka tak punya uang untuk membesarkan anak.
***

Pembantaian Massal di Bataclan
Pada waktu bersamaan, pada pukul 21.40, tiga orang bersenjata masuk ke gedung konser mini Bataclan, yang jaraknya sekitar dua mil dari Notre Dame Paris. Mereka mengendarai Volkswagen Polo warna hitam yang diparkir di luar gedung tua yang berusia 151 tahun.
Mereka lalu masuk melalui pintu utama sekitar 30 menit – 45 menit setelah grup band rock asal California, Amerika Serikat, Eagles of Death Metal memulai pertunjukannya, kemudian melepaskan tembakan ke arah kerumunan orang yang berdiri di bar.
Pada pukul 21.40, tiga orang bersenjata masuk ke gedung konser mini Bataclan, yang jaraknya sekitar dua mil dari Notre Dame Paris. Mereka mengendarai Volkswagen Polo warna hitam yang diparkir di luar gedung tua yang berusia 151 tahun.
Saksi mata, Fahmi, awalnya mengira suara petasan dan bagian dari pertunjukan. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dua melihat seseorang roboh dan terjatuh terkena peluru. “Tiga penyerang itu menembak secara acak ke kerumunan penonton,” kisahnya kepada “Liberation”.
Salah satu lelaki bersenjata naik tangga dan membunuh para penonton di balkon.

Di tengah kebingungan dan kepanikan, seorang penjaga keamanan berteriak dan meminta semua orang mengikutinya ke kiri gedung agar bisa ke luar gedung melalui jalan darurat. Banyak orang berhasil lolos dari maut, sebagian dalam kondisi terluka parah, seperti tergambar dalam video yang direkam dari jendela atas sebuah apartemen di seberang jalan.
Saksi mata mendengar kata-kata seorang lelaki bersenjata yang menyalahkan Presiden Francois Hollande ikut campur tangan di Suriah.
“Kami pikir suara kembang api tetapi kami melihat seorang lelaki menembak ke segala arah. Kami semua berbaring di lantai dan mulai merangkak menuju panggung,” ungkap seorang perempuan. Beberapa orang melarikan diri melalui pintu darurat di sebelah kiri panggung dan sebagian lagi menemukan rute ke atap.
Saya melihat dua orang baru saja menembaki penonton dengan senjata seperti AK-47. Suasananya seperti rumah jagal. Saya mengarungi genangan darah sedalam satu sentimeter.
MICHAEL O’CONNOR, SAKSI MATA
“Kami mendengar ledakan keras. Saya mengira itu hanya bagian dari pertunjukan. Awalnya saya tidak bereaksi tapi kemudian saya mendengar orang-orang di belakang saya berteriak. Saya berbalik, saya melihat ada dua orang yang baru saja menembaki penonton dengan senjata seperti AK-47,” ungkap Michael O’Connor, warga South Shields, Inggris kepada BBC. “Suasananya seperti rumah jagal. Saya mengarungi genangan darah sedalam satu senti meter,” ungkapnya.

Julien Pierce, jurnalis Radio Europe-1 berada di dalam gedung konser Bataclan ketika penembakan terjadi.
“Beberapa lelaki bersenjata tanpa mengenakan topeng, masuk ke gedung. Mereka membawa senjata seperti Kalashnikov dan menembak kerumunan penonton secara membabi-buta. Itu berlangsung antara 10 menit dan 15 menit. Sungguh sangat kejam. Banyak orang panik. Para penyerang masih sangat muda. Mereka mengisi ulang senjata setidaknya tiga kali. Ma “Pembantaian massal” di Bataclan menewaskan 89 orang.yat tergeletak di mana-mana,” cerita Pierce dalam web stasiun radio.
Beberapa lelaki bersenjata tanpa mengenakan topeng, masuk ke gedung. Mereka membawa senjata seperti Kalashnikov dan menembak kerumunan penonton secara membabi-buta. Itu berlangsung antara 10 menit dan 15 menit. Sungguh sangat kejam.
JULIEN PIERCE, JURNALIS RADIO EUROPE-1
Presiden Perancis Francois Hollande setelah menggelar rapat bersama Perdana Menteri Manuel Valls dan Menteri Dalam Negeri Bernard Cazeneuve, mengumumkan bahwa, “Perancis dalam keadaan darurat”. Aparat keamanan memperketat wilayah perbatasan.
Hollande memerintahkan agar pasukan elit diturunkan ke gedung konser Bataclan. Pukul 22.15, polisi bersenjata berat masuk ke gedung konser. Mereka merupakan tim BRI (Brigades de Recherche et d’Intervention) yang spesialisasinya menangani dan mengatasi situasi penyanderaan.
“Mayat di mana-mana. Genangan darah membasahi lantai gedung. Banyak orang yang bersembunyi di setiap sudut dan celah. Kami mengeluarkan korban-korban selamat dan terluka,” kata seorang polisi.
Michael O’Connor mengungkapkan, dia melihat pintu masuk ke arena terbuka perlahan-lahan, lalu muncul orang-orang yang melindungi diri dengan perisai anti-peluru. “Saya pikir mereka pasti polisi. Mereka tidak mengatakan apa-apa tetapi menyuruh kami semua diam. Mereka membentuk perimeter di belakang aula dan mengarahkan senjata ke balkon, tempat teroris berada,” kata O’Connor.
Setelah satu jam menyerbu masuk gedung konser, pukul 23.15, tim BRI mencapai pintu di lantai pertama. Seorang penonton masih disandera. Terdengar suara di belakang pintu yang memberi tahu tim BRI bahwa ada dua lelaki mengenakan rompi bahan peledak. Sandera dipaksa berdiri di depan pintu dan jendela, dan menjadi perantara antara teroris dan polisi.
Sandera memberi nomor ponsel teroris kepada perunding atau negosiator. Sebelum tengah malam, polisi perunding sempat bercakap-cakap dengan para penyerang beberapa kali melalui telepon seluler. Negosiator menyimpulkan para penyerang bersenjata tersebut berencana membantai para sandera di depan media.
Dihujani 27 peluru, tim BRI masuk dengan perisai logam antipeluru. Mereka harus menyelesaikan ini dengan cepat. Anggota unit BRI berhasil menembak mati satu penyerang dengan sabuk penuh bom. Tapi dua penyerang lainnya meledakkan diri. Operasi pengepungan dan pembebasan sandera di Bataclan berakhir pukul 00.17.
Ketiga penyerang Bataclan diketahui sebagai Omar Ismail Mostefai (29), Samy Animopur (28) dan Foued Mohamed-Aggad (23).
Serangan Paris pada Jumat malam, 13 November 2015 di gedung konser, stadion utama, restoran dan bar oleh kelompok bersenjata dan pelaku bom bunuh diri, menewaskan 130 orang dan melukai 352 orang.
Serangan Paris pada Jumat malam, 13 November 2015 di gedung konser, stadion utama, restoran dan bar oleh kelompok bersenjata dan pelaku bom bunuh diri, menewaskan 130 orang dan melukai 352 orang.
Presiden Perancis Francois Hollande melukiskan serangan tersebut sebagai “aksi perang” yang diorganisir kelompok militan. “Tiga tim terkoordinir” diyakini berada di belakang serangan mematikan tersebut, kata jaksa kepala Paris, Francois Molins.
Hari-hari berikutnya setelah Serangan Paris, polisi Perancis melakukan 128 penyergapan di seluruh negeri untuk mencari para tersangka, termasuk di Brussels, Belgia.
Selama 24 jam pada 16 dan 17 November 2015, Perancis melancarkan serangan udara dan menjatuhkan 16 bom ke pusat pelatihan dan komando NIIS di Raqqa di Suriah.

Siapa Pelaku Serangan Teror Paris 2015?
Dari hasil investigasi yang dilakukan pemerintah Perancis, diketahui para pelakunya pernah bergabung dengan NIIS di Suriah. Otak penyerangan ini adalah Abdelhamid Abaaoud, berkebangsaan Belgia, tewas dalam serangan polisi di Saint-Denis di utara Paris, beberapa hari setelah Serangan Paris terjadi. Figur kunci lainnya adalah Salah Abdeslam yang ditangkap pada 18 Maret 2016 setelah melarikan diri.
Mohamed Abrini, tersangka lainnya diyakini memiliki jaringan dengan Serangan Paris, ditangkap di Brussels pada 8 April 2016.
Dari hasil investigasi yang dilakukan pemerintah Perancis, diketahui para pelakunya pernah bergabung dengan NIIS di Suriah.
Salah Abdeslam saat ditangkap di wilayah Molenbeek, berusia 26 tahun. Lelaki kelahiran Brussels ini terluka saat disergap polisi yang memburunya sejak 13 November 2015. Pada 15 Maret 2016, sidik jari Abdeslam ditemukan di flat di distrik Forest di selatan Brussels.
Jaksa Belgia kepada BBC mengatakan, saat itu belum jelas apakah dia ada di sana karena sidik jarinya tidak tercatat waktunya. Pada 10 Desember 2015, polisi menemukan satu sidik jarinya, jejak bahan peledak TATP (acetone peroxide) dan tiga sabuk buatan —tampaknya untuk bahan peledak, di sebuah apartemen di Distrik Schaerbeek. Apartemen itu disewa dengan nama palsu. Ada dugaan pelaku bom bunuh diri mengambil sabuk mereka di apartemen ini sebelum beraksi di Paris.
Salah Abdeslam diperkirakan kembali ke Belgia setelah Serangan Paris. Dia menyewa mobil VW Polo di Belgia —yang kemudian ditemukan di dekat gedung konser Bataclan di Paris. Dia juga menyewa mobil Renault Clio dan memesan dua kamar hotel di luar kota Paris sebelum serangan dilakukan. Perannya belum jelas meski saudara kandungnya, Ibrahim Abdeslam meledakkan diri.
Penyelidik meyakini Salah Abdeslam mendorong tiga pelaku bom bunuh diri yang menyerang Stade de France ke tujuan mereka. Salah juga menugasi mereka melakukan serangan di Distrik ke-18 meski serangan itu tidak pernah terjadi karena ketiganya sudah meledakkan diri di luar stadion.
Masa lalu Salah Abdeslam dipenuhi dengan hukuman. Beberapa laporan menyebutkan, Salah menghabiskan waktu di penjara karena kasus perampokan. Saat di penjara itulah, Salah bertemu dengan Abdelhamid Abaaoud.
Februari 2016, Kepolisian Belanda menahan Salah dan mendendanya 70 Euro karena memiliki ganja. Pada 27 April 2016, Salah diekstradisi ke Perancis dan menghadapi dakwaan terkait Serangan Paris 13 November 2015. Salah juga menghadapi dakwaan terlibat dalam aksi penembakan di Brussels pada 15 Maret 2016 yang mennyebabkan empat polisi terluka.
Saudara kandung Salah Abdeslam yaitu Ibrahim Abdeslam meninggal sebagai pelaku bom bunuh diri di kafe Comptoir Voltaire di Boulevard Voltaire. Dia menyewa mobil Seat, yang ditemukan sehari setelah Serangan Paris, di Montreuil ke arah timur Paris.
Nama Ibrahim Abdeslam muncul dalam beberapa dokumen Kepolisian Belgia bersama nama Abdelhamid Abbaoud, terkait kasus-kasus pidana pada 2010-2011.
Pada awal 2015, Ibrahim melakukan perjalanan ke Turki dan bermaksud melanjutkan ke Suriah, namun otoritas Turki mendeportasinya kembali ke Brussels., kata pejabat Jaksa Belgia mengungkapkan ini kepada suratkabar “Le Soir”. Yang menjadi pertanyaan, mengapa saat kembali ke Belgia, Ibrahim dibebaskan.
Beberapa jam setelah Serangan Paris, Salah Abdeslam berada di dalam VW Golf bersama dua teman lelakinya di perbatasan Belgia. Mobil mereka sempat dihentikan satu kali oleh polisi. Ketika pencarian makin gencar dilakukan di Belgia, saudaranya bernama Mohamed meminta Salah untuk menyerah.
Surat Terbuka Penyintas Serangan Paris
Para korban Serangan Paris yang selamat meminta Pemerintah Perancis dan negara lainnya untuk menghentikan kaum jihadis Barat melarikan diri dari penjara di Suriah untuk mendirikan otonomi baru menyusul penarikan tentara Amerika Serikat.
Dalam surat terbuka yang dipublikasi di suratkabar “Le Parisien” dua pekan menjelang peringatan 4 tahun Serangan Paris, sebuah kelompok terdiri dari 44 korban selamat (penyintas) mengajukan permintaan kepada Pemerintah Perancis dan negara-negara Barat lainnya untuk tidak melarang orang Kurdi berperang melawan NIIS.
Para korban Serangan Paris yang selamat meminta Pemerintah Perancis dan negara lainnya untuk menghentikan kaum jihadis Barat melarikan diri dari penjara di Suriah untuk mendirikan otonomi baru menyusul penarikan tentara Amerika Serikat.
Kelompok penyintas mengungkapkan pendapat mereka sehari setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan, “Tidak adil jika pemerintah Inggris belum membawa kembali para jihadis Inggris yang ditangkap tentara AS.”
Dalam wawancara di Radio LBC dengan Nigel Farage, pemimpin Partai Brexit, Trump mengatakan, “Kami menawarkan untuk memberi jihadis Inggris untuk dibawa kembali ke Inggris tapi mereka tidak menginginkannya.” Trump juga mengajukan tawaran yang sama kepada Perancis dan Jerman tapi pemerintah kedua negara itu tidak meresponnya.
Banyak orang Perancis dan kaum jihadis Barat lainnya ditahan di kantong Suku Kurdi yang dilindungi tentara AS dan kekuatan udaranya. “Ketidakaktifan saat ini membuat ratusan teroris melarikan diri, termasuk para jihadis Perancis yang sangat berbahaya,” demikian surat para korban selamat. Berapa banyak waktu lagi yang dibutuhkan sebelum mereka menyerang lagi?
Pemerintah Perancis di bawah Presiden Emmanuel Marcon dan pendahulunya Francois Hollande berusaha “membersihkan” warga berkebangsaan Perancis yang ditangkap di Suriah, namun tekanan meningkat untuk membawa mereka kembali menghadapi pengadilan di Perancis pasca-penarikan tentara AS di Suriah. Beberapa orang dipindahkan ke penjara di Irak.
NIIS mengklaim merencanakan Serangan Paris di Suriah. Sebagian besar penyerang memiliki dwi kewarganegaraan Perancis dan Irak. Beberapa penyerang pernah bertempur di Suriah dan masuk Eropa di tengah membanjirnya imigran dan pengungsi ke wilayah ini.
Nasib para jihadis Perancis merupakan “ladang ranjau” bagi Macron. Komisi Hak Asasi Manusia dan kelompok Sayap Kanan Perancis menyerukan agar pemerintah mencabut kewarganegaraan Perancis para jihadis di Suriah dan Irak.
NIIS mengklaim merencanakan Serangan Paris di Suriah. Sebagian besar penyerang memiliki dwi kewarganegaraan Perancis dan Irak. Beberapa penyerang pernah bertempur di Suriah dan masuk Eropa di tengah membanjirnya imigran dan pengungsi ke wilayah ini.

REPRO: FRANCE24
Perancis dan Sejarah Panjang Kekerasan Militan
Aksi teror yang menyebabkan korban tewas berulang terjadi di Perancis. Pada 7 Januari 2015 serangan terhadap kantor majalah satire Charlie Hebdo, menewaskan 20 orang.
Sebelumnya, pada pertengahan Maret 2012, seorang pemuda Perancis keturunan Aljazair, Mohammed Merah (23 tahun) tewas ditembak polisi penembak jitu setelah Merah diketahui membunuh tiga prajurit penerjun payung, seorang Rabbi, dan tiga pelajar sekolah selama 11 hari di Toulouse dan Montauban. Mohammed Merah menderita masalah psikologi dan mengaku marah terhadap Perang Afganistan.
Pada 3 Februari 2015, tiga penjaga di pusat komunitas Yahudi di Nice luka-luka diserang lelaki berusia 30 tahun bernama Moussa Coulibaly. Pada 19 April 2015, seorang mahasiswa Aljazair berusia 24 tahun menabrak mati seorang perempuan di luar kota Paris. Setelah itu lelaki yang menembak kakinya sendiri itu ditangkap. Polisi, seperti dikutip Deutsche Welle, menemukan bukti bahwa mahasiswa itu berhubungan dengan para militan di Suriah yang membantu dia merencanakan menyerang dua gereja di Paris.
Pada 26 Juni 2015 terjadi serangan di sebuah pabrik gas industri di kota Grenoble di sebelah tenggara Perancis. Satu orang menabrakkan mobilnya di perusahaan Amerika Serikat dan menimbulkan ledakan, menyebabkan sejumlah orang luka-luka. Ditemukan satu kepala supervisor pabrik yang dipenggal dengan tulisan arab di gerbang pabrik itu. Penyerang itu bernama Yassin Sahli (35 tahun) ditangkap, tapi dia tewas bunuh diri di penjara.
Perancis memiliki sejarah panjang kekerasan militan, diawali serangan militan Aljazair di kereta bawah tanah Paris pada 1995 silam.
Pada 21 Agustus 2015, seorang lelaki warga negara Maroko berusia 25 tahun, Ayoub El Khazzani ditangkap setelah melakukan penembakan massal dengan senapan serbu Kalashnikov di kereta cepat Thalys jurusan Amsterdam-Paris. Khazzani naik dari stasiun Brussels, Belgia, dan menyerang penumpang, sebelum akhirnya dibekuk oleh empat penumpang lain, tiga berkebangsaan Amerika Serikat dan satu warga Inggris. Dalam aksi teror itu, empat penumpang kereta cepat luka-luka.
Pada 13 Juni 2016, seorang Perancis keturunan Maroko berusia 25 tahun, Larossi Abballa menyerang dan membunuh seorang komandan polisi dan istrinya di rumahnya di Magnanville, sekitar 55 kilometer dari kota Paris. Penyerang itu dalam video streaming menyatakan bersumpah setia kepada NIIS, sebelum akhirnya dilumpuhkan pasukan komando. Balita berusia 3 tahun ditemukan dalam kondisi hidup di rumah itu.
Pada 14 Juli 2016, teroris yang mengemudikan truk menabrakkan diri pada kerumunan orang di kawasan Promenade des Anglais di kota Nice di tepi Laut Mediterania. Sebanyak 84 orang tewas -10 di antaranya bayi dan remaja, serta 202 lainnya luka-luka, 52 di antaranya dalam kondisi kritis dan 25 lainnya luka.
Mengapa Perancis sering menjadi sasaran aksi teror? Paul Adams dari BBC menulis, Perancis memiliki sejarah panjang kekerasan militan, diawali serangan militan Aljazair di kereta bawah tanah Paris pada 1995 silam.
Beberapa tahun terakhir, ribuan kaum muda muslim Perancis ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan NIIS. Jumlah itu terbesar untuk negara di daratan Eropa. Beberapa di antaranya kembali ke Perancis, melakukan kekerasan di negaranya. Perancis kini menghadapi persoalan besar dalam ancaman teror dan peristiwa terorisme. Perancis harus lebih memperketat keamanan negerinya.
ROBERT ADHI KSP, diolah dari berbagai sumber: BBC, CNN, France24, The Guardian, The Telegraph, The Mail, The Wall Street Journal, Netflix, EuroNews, Aljazeera, SkyNews