SUDRAJAT/DetikNews

Suatu ketika di tahun 2003, Sofjan Wanandi selaku ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menjadi pembicara dalam Musyawarah Nasional Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) di Hotel Hard Rock, Bali. Pembicara lain adalah Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sofjan mengenalnya sejak SBY menjabat menteri pertambangan dan energi pada 1999. 

Di sela acara, kejahilan Sofjan kambuh. Dia melontarkan pernyataan provokatif. “Bagaimana saudara-saudara kalau kita jadikan SBY presiden?” Banyak anggota HKI berteriak, “Setujuuu.”

SBY tak cuma tersenyum, tapi kemudian meminta kesungguhan Sofjan. “Sdr. Sofjan, apakah Anda serius?,” tulisnya di secarik kertas kecil. “Serius, Pak,” balas Sofjan, juga lewat secarik kertas kecil.

Drama tersebut terungkap dalam bab Sembilan, Sofjan Wanandi dan Tujuh Presiden, My Love for My Country, karya Robert Adhi Ksp. Sesuai judulnya, buku ini mengupas perjalanan hidup Sofjan, kini Ketua Tim Ahli Wapres Jusuf Kalla, saat berinteraksi dengan presiden RI pertama, Bung Karno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Jokowi.

Dari ketujuh Presiden, hubungan Sofjan cuma tak mulus dengan Habibie. Kenapa? Itu akan dikutipkan dari buku ini dalam tulisan terpisah.


Kembali ke Sofjan-SBY. Di Jakarta keduanya kembali bertemu di kantor Menko Polkam. Kepada sang jenderal, Bos Grup Gemala itu mengajukan syarat agar SBY mengambil calon wakil presiden dari kalangan pengusaha. Dia menyodorkan dua nama: Aburizal Bakrie (Ical) dan Jusuf Kalla (JK). Soal logistik, bersama para pengusaha dia yang akan menggalangnya.

Sofjan kemudian mengatur pertemuan SBY dengan Ical. Tapi setelah tiga kali pertemuan, Ical menyatakan dirinya justru ingin menjadi capres lewat Partai Golkar yang tengah menggelar konvensi.

Di pihak lain, JK pun ternyata tak tertarik menjadi cawapresnya SBY. Alasannya, SBY sosok yang lemah karena sulit mengambil keputusan. “Urusan Poso dan lainnya, dia tinggalkan begitu saja,”kata JK kepada Sofjan yang datang membujuknya.

Belakangan, Sofjan tahu kalau JK ingin menjadi cawapres Megawati Sukarnoputri. Namun, pertemuan JK dan Mega tak membuahkan hasil. Tapi dalam makan siang bersama yang dirancang Kepala BIN AM Hendropriyono, Mega dan JK saling menunggu lamaran. Jusuf Kalla pun akhirnya menghampiri SBY. Sebaliknya Mega kemudian berduet dengan Ketua Umum PBNU K.H. Hasyim Muzadi.

Karena mendukung SBY-JK, Sofjan “perang dingin”dengan abangnya, Jusuf Wanandi, yang mendukung Mega-Hasyim. Mereka tak berbicara selama tiga bulan sampai didamaikan oleh ibunya, Katrina, ketika liburan keluarga ke Tiongkok.

Pada Pilpres 2014, Sofjan kembali memainkan peran memasangkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dengan JK. “Sofjan tidak hanya mengusulkan, tetapi juga mengajak teman-temannya di Apindo untuk mendukung kami,” kata JK dalam pengantar buku ini.

Dalam buku ini Sofjan mengungkapkan dirinya yang pertama diminta Jusuf Kalla untuk membujuk Megawati agar Walikota Solo Joko Widodo menjadi calon gubernur DKI pada 2012. Rupanya JK terpikat oleh style Jokowi membenahi berbagai masalah di Solo. “Dia tidak partisan dan low profile,” kata Kalla kepada Sofjan.

Megawati tentu tak serta merta setuju. Izin baru diberikan setelah keduanya terus melakukan lobi intens, dan hasil survei menunjukkan Jokowi kian popular. Untuk pendampingnya, Prabowo menyodorkan nama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).