ROBERT ADHI KSP

Tanggal 16-17 Juli 1942. Polisi Perancis di bawah rezim Vichy —pemerintahan boneka Nazi Jerman — meluncurkan Operasi “Spring Breeze”, yang menangkap lebih dari 13.000 orang Yahudi di Paris. Awalnya mereka dibawa ke stadion Velodrome d’Hiver (Vel d’Hiv) di Paris, sebelum dikirim ke kamp konsentrasi di Auschwitz, Polandia.

Hanya kurang dari 100 orang yang selamat. Salah satunya Sarah Lichtsztejn-Montard (saat ini berusia 89 tahun). Sarah adalah satu dari segelintir korban Vél d’Hiv; yang berhasil melarikan diri dari stadion yang dijadikan kamp Nazi itu.

Auschwitz KSP1
Bangunan kamp konsentrasi Nazi di Auschwitz, Polandia, yang kini dijadikan museum. Foto diambil 26 Juni 2017. FOTO: ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Untuk waktu yang lama, setiap malam Sarah mengalami mimpi buruk yang sama. “Pada malam hari, saya melihat hantu hijau kecil di Vel d’Hiv,” katanya dengan suara yang jelas. “Hantu itu mengeluarkan cahaya,” ungkapnya kepada France24.

Pada tahun 1942, Sarah baru berusia 14 tahun. Remaja kelahiran Polandia itu tinggal bersama ibunya di sebuah apartemen sederhana di distrik ke-20 Paris. Ayahnya, Moise, ditangkap pada Juli 1941 dan dikirim ke kamp pengasingan Pithiviers, dan berhasil melarikan diri. Ayahnya bersembunyi di sebuah kamar di Paris dan menggunakan surat palsu.

Hanya kurang dari 100 orang yang selamat. Salah satunya Sarah Lichtsztejn-Montard (saat ini berusia 89 tahun). Sarah adalah satu dari segelintir korban Vél d’Hiv; yang berhasil melarikan diri dari stadion yang dijadikan kamp Nazi itu.

Pada 15 Juli, Sarah dan teman-teman sekelasnya merayakan hari terakhir sekolah sebelum liburan musim panas. Pada hari itu, seorang teman sekelasnya, keturunan Yahudi memberitahu kepada Sarah bahwa orangtuanya, “mengenal seorang komisaris polisi yang mengatakan kepada mereka bahwa dia sedang mempersiapkan sebuah pabrik yang akan mempekerjakan perempuan, anak-anak dan orang tua dalam jumlah yang besar. Dia menambahkan bahwa mereka akan meninggalkan apartemen mereka dan saya harus melakukan hal yang sama.”

Setibanya di rumah, Sarah memberi tahu ibunya, Maria, tentang hal itu. Namun ibunda Sarah tidak mempercayai rumor itu. “Tidak mungkin Perancis menangkap perempuan dan anak-anak. Bagi ibu, Perancis adalah negara yang melindungi hak asasi manusia,” ungkap Sarah.

Ibu Sarah kemudian memutuskan untuk menghabiskan malam di kursi. Dia menyelipkan tabungan kecilnya di dalam korset dan siap melarikan diri melalui jendela dapur bila ada yang datang. Ibunya tertidur di kursi. Pukul enam pagi ada yang menggedor pintu. Ibunya terbangun dan berteriak, “Ada apa?” Dua polisi Perancis, seorang berpakaian preman dan seorang lainnya masuk ke apartemen dan meminta keluarga itu membawa barang-barang milik mereka. Maria Lichtsztjen berusaha melawan namun tidak berhasil.

Atas permintaan rezim Nazi, otoritas Perancis baru saja meluncurkan ‘pembantaian besar kaum Yahudi’ di Paris dan daerah pinggiran kota. Sebanyak 13.152 laki-laki, perempuan, dan anak-anak ditangkap dalam dua hari.

Auschwitz KSP3 (1)
Ribuan orang Yahudi dideportasi ke kamp konsentrasi di Auschwitz, Polandia. FOTO REPRO MUSEUM AUSCHWITZ/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Sarah takut melihat yang terjadi di jalan. Ratusan orang dipaksa keluar apartemen mereka. “Beberapa orang menaruh barang-barang mereka dalam bungkusan sprei, yang lain membawa kasur anak-anak. Orangtua tampak panik, membawa anak-anak kecil yang menangis, dan mereka dikelilingi polisi. Ini sangat mengejutkan,” cerita Sarah.

Sarah dan ibunya diarahkan selama satu jam ke sebuah garasi di sudut Jalan Belleville dan Pyrenees. Mereka kemudian dibawa masuk ke bus umum. Sarah melihat salah satu teman sekolahnya melalui jendela.

Atas permintaan rezim Nazi, otoritas Perancis meluncurkan ‘pembantaian besar kaum Yahudi’ di Paris dan daerah pinggiran kota. Sebanyak 13.152 laki-laki, perempuan, dan anak-anak ditangkap dalam dua hari.

“Dia tidak melihat saya tapi kemudian dia mendongak ke arah bus dengan wajah sedih. Saya merasa itu sangat tidak adil. Dia berada di luar pada hari yang menyenangkan, sedangkan saya ditangkap hanya karena saya orang Yahudi,” cerita Sarah.

Bus itu melintasi Paris. Sarah tidak melihat tentara Jerman di jalan. “Saya hanya melihat polisi Perancis menangkap keluarga Yahudi,’ katanya. Tidak jauh dari Menara Eiffel di Jalan Nelaton, kendaraan berhenti di dekat pintu masuk Vel d’Hiv -tempat pertandingan olahraga biasa digelar-, dan semuanya diminta ke luar.

“Saya melihat teman-teman sekolah di sana. Ah, ini Sarah, kata mereka, seolah ini permainan. Tapi saya dengan cepat merasa ini bukan soal permainan,” ungkap Sarah.

Didampingi seorang polisi, ibu Sarah berhasil ke kafe untuk sarapan pagi. Tapi keduanya akhirnya didorong masuk stadion lagi.

“Sudah ada 5.000-an orang di sana. Sangat mengerikan. Anak-anak berkeliaran tapi orangtua mereka terdiam. Ada bau menyengat. Beberapa toilet tersumbat. Banyak orang kesulitan ke kamar mandi. Tak ada rencana menampung begitu banyak orang. Air dan makanan kekurangan pasokan. Kondisi kebersihan memprihatinkan.  Ketika kami bertanya kepada polisi apa yang akan mereka lakukan kepada kami, mereka menjawab bahwa kami akan dikirim ke Jerman untuk bekerja,” cerita Sarah.

Kedatangan orang tua dan orang di kursi roda pada malam itu membuat ibunya berpikir bahwa mereka telah dibohongi. “Mereka mempersiapkan sesuatu yang buruk. Mereka tidak bisa mengajak orang lanjut usia dan orang cacat bekerja. Kita harus melarikan diri,” kata ibu Sarah.

Ibunya memasukkan uang seratus franc dan kartu makanannya ke dalam saku Sarah dan meminta Sarah meninggalkan kamp dengan cara apapun, serta pergi ke teman-teman non-Yahudinya. “Ibu meminta saya untuk mencari pertolongan. Saya mencoba menyelinap ke belakang polisi tapi saya terus-menerus terdesak,” kata Sarah.

Sarah akhirnya berhasil ke luar jalan dengan cara berjalan mundur menuju kerumunan. Seorang polisi bertanya kepada saya, “Apa yang Anda inginkan?” Saya menjawab, “Saya bukan orang Yahudi. Saya datang untuk melihat seseorang. Polisi mengatakan, segera tinggalkan kamp ini dan kembalilah beberapa hari lagi.”

Tanpa berlari, karena dia takut ditembak, Sarah berjalan kaki, meninggalkan Vel d’Hiv, melewati penjagaan polisi dan menuju stasiun bawah tanah.

“Ketika sampai di stasiun Glaciere, saya melihat ibu saya turun di tempat yang sama. Ibu sudah kabur 20 menit lebih dulu dari saya,” cerita Sarah. Ibunya berhasil menyelinap ke belakang seorang polisi. Dia menggandeng tangan seorang penyapu jalan dan pura-pura mengenalinya.

Kedua perempuan itu mengungsi selama beberapa minggu di rumah kenalannya. Sarah menggunakan identitas palsu. Namun pada Mei 1944, Sarah dan ibunya ditangkap dan dikirim ke Auschwitz, untuk kemudian dibawa ke Bergen-Belsen. Mereka tetap bersama sampai akhirnya dibebaskan pada 15 April 1945. Ketika dikirim kamp kerja paksa, ibu Sarah tidak mengatakan dia penjahit karena dia tahu dia akan terpisah dari putrinya.

Auschwitz KSP2
Bangunan di Auschwitz-Birkenau, Polandia, yang kini dijadikan museum. Foto diambil 26 Juni 2017. FOTO: ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA

Sarah merasa dia berutang nyawa kepada ibunya dan kepada polisi Perancis yang mengizinkan diri melarikan diri dari Vel d’Hiv. Karena itulah Sarah tidak membenci polisi.

Sarah marah ketika kandidat Presiden Perancis Marine Le Pen menolak tanggung jawab negara Perancis atas peristiwa di Vel d’Hiv dalam kampanye lalu. “Ini tanggung jawab negara (Perancis)! Mantan Presiden Perancis Jacques Chirac mengakui kesalahan itu pada 1995. Chirac punya keberanian mengatakan itu karena itu benar,” kata Sarah berapi-api kepada France24.

Saya minta Perancis tidak menyangkal peristiwa kelam ini.

Sarah Lichtsztejn-Montard

Sarah meminta agar Perancis tidak menyangkal peristiwa kelam itu. Setelah melalui semuanya, Sarah mengaku tidak pernah membiarkan dirinya dikendalikan rasa benci. Sebagai remaja, dia telah melihat tragedi kemanusiaan terburuk dalam hidupnya. Tujuh dekade berlalu, dia mengatakan saat ini dia hanya melihat cinta.

“Kita semua manusia. Kita semua memiliki darah merah yang sama yang mengalir melalui pembuluh darah. Namun yang terpenting adalah cinta dan humor. Saya selalu tahu bagaimana menemukan kegembiraan dalam hidup saya, bahkan pada momen terburuk,” katanya.

 Macron: “Negara dan Pemerintah Perancis ikut terlibat dan bertanggung jawab” 

Hari Minggu (16/7/2017), Presiden Perancis Emmanuel Macron menggarisbawahi tanggung jawab Perancis atas deportasi warga Yahudi saat Perang Dunia II ketika memperingati 75 tahun penangkapan lebih dari 13.000 orang Yahudi di Velodrome d’Hiver di Paris. 

Macron mengecam komentar pemimpin sayap kanan Perancis, Marine Le Pen yang mengecilkan peran Perancis atas deportasi belasan ribu warga Yahudi ke kamp Nazi, dan hanya menyalahkan rezim Vichy atas tragedi kemanusiaan itu.

“Perancis mengaturnya. Bukan satu orang Jerman yang berperan mengatur 13.000 orang Yahudi di Vel d’Hiv dan kamp pengasingan Drancy di Paris, 16-17 Juli 1942, yang kemudian dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi,” kata Macron. 

“Sangat mudah menganggap rezim Vichy (pemerintahan Perancis boneka Nazi pada era Perang Dunia II) sebagai monster yang baru saja muncul, tapi ini salah. Saya menolak pandangan yang mengklaim bahwa Vichy bukan Perancis. Vichy bukan orang Perancis tapi itu pemerintah dan pemerintahan Perancis. Polisi Perancis berkolaborasi dengan Nazi,” tegas Macron.

Peran serta dan tanggung jawab Perancis dalam holocaust adalah isu sensitif di Perancis dan baru diakui secara resmi oleh (mantan) Presiden Jacques Chirac.

Peran serta dan tanggung jawab Perancis dalam holocaust adalah isu sensitif di negara itu dan baru diakui secara resmi oleh (mantan) Presiden Jacques Chirac.

PM Israel Benjamin Netanyahu yang hadir dalam upacara itu memuji “kepahlawanan khusus” perlawanan Perancis dan memuji warga negara Perancis yang mengambil risiko menyelamatkan ribuan orang Yahudi dari kamp Nazi yang menewaskan sedikitnya enam juta warga Yahudi antara 1941 dan 1945.

Peringatan 75 tahun penangkapan 13.000 warga Yahudi di Vel d’Hiv, Perancis ini bermakna sangat penting yaitu agar tragedi kemanusiaan yang sama tidak berulang.

Seperti kata-kata George Santayana, penulis berkebangsaan Spanyol dan pemikir abad ke-20 dalam bukunya, “The Life of Reason”, yang terpampang di depan pintu masuk museum kamp konsentrasi di Auschwitz, Polandia:  “Those who do not remember the past are condemned to repeat it.”  

 Those who do not remember the past are condemned to repeat it.

George Santayana dalam “The Life of Reason”

SUMBER: KOMPAS.ID, SENIN 17 JULI 2017