ROBERT ADHI KSP
Indonesia membutuhkan regulasi yang komprehensif untuk mengatur berbagai persoalan yang kompleks tentang rumah susun. Regulasi tersebut juga harus mampu mengantisipasi perkembangan zaman sesuai kebutuhan masa kini. Ekosistem rantai pasok yang terintegrasi diyakini akan dapat mengatasi kompleksitas persoalan rumah susun.
“Identifikasi rantai pasok industri properti sangatlah penting dilakukan untuk pembenahan berbagai permasalahan dan kebijakan di dalamnya termasuk masalah rumah susun,” jelas Budiarsa Sastrawinata, Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu Kadin Indonesia. Identifikasi yang dilakukan mencakup dari hulu ke hilir dalam proses bisnis dan ekosistem industri tersebut.

BPKPT berharap kebijakan yang diambil, termasuk berdasarkan studi dari negara lain, dapat dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan ekosistem yang ada di negara tersebut. Tanpa perbaikan ekosistem, akan sulit sekali suatu aturan bisa terlaksana secara efektif walaupun tujuan dibuatnya aturan tersebut adalah baik dan positif.
Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun misalnya, sangat tepat diberlakukan di rumah susun sederhana milik (Rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) yang sejak lama menjadi program andalan pemerintah.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, dan PeraturanPemerintah (PP) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun sangat tepat diberlakukan di rumah susun sederhana milik (Rusunami) dan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) yang sejak lama menjadi program andalan pemerintah.
“Namun UU ini kurang pas ketika diterapkan di kawasan superblok yang memiliki kondominium atau apartemen, gedung perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan. Kami berharap regulasi hukum terkait rumah susun campuran atau di kawasan komersial superblok dapat segera disusun dan disahkan agar sesuai dengan kebutuhan masa kini,” kata Wakil Kepala Badan Pengembangan Kawasan Properti Terpadu (BPKPT) Kadin Bidang Kawasan Komersial, Alexander Stefanus Ridwan.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 kurang pas ketika diterapkan di kawasan superblok yang memiliki kondominium atau apartemen, gedung perkantoran, hotel, dan pusat perbelanjaan.
“Kami menyadari sampai saat ini Indonesia belum punya undang-undang yang khusus mengatur kawasan komersial superblok. Indonesia belum memiliki regulasi khusus tentang Rumah Susun Campuran. BPKPT berharap Menteri PUPR melahirkan Peraturan Menteri khusus untuk Rumah Susun Campuran,” katanya.
Menurut Stefanus Ridwan, kewajiban dan hak suara (one name one vote) tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan cenderung berat sebelah. “Hak suara yang ada dalam UU Rumah Susun hanya cocok untuk Rusunami dan Rusunawa, di mana satu orang hanya boleh membeli satu unit, dan ukuran unitnya hampir sama,” papar Ridwan.
“Sedangkan di kawasan komersial superblok, pengembang atau seseorang misalnya, memiliki 40 lantai gedung perkantoran, katakanlah 80 persen dari luas gedung, hanya memiliki satu suara, sedangkan 20 persen sisanya misalnya memiliki 200 suara. Kondisi semacam ini tidak adil bila one name one vote diterapkan, sedangkan kewajiban berbeda. Pemilik unit yang lebih banyak tentunya punya kewajiban lebih besar sehingga wajar memiliki hak yang lebih. Tidak bisa disamakan dengan pemilik unit yang lebih sedikit atau lebih kecil,” kata Ridwan memberi contoh.
“Kami berharap ada jalan keluar yang lebih adil yaitu aturan yang tidak merugikan hak konsumen, tetapi juga memperhatikan hak pengembang,” tandas Ridwan, yang juga Presiden Direktur PT Pakuwon Jati Tbk. “Keadilan distributif diartikan bahwa setiap orang mendapatkan apa yang menjadi haknya secara proporsional,” urainya.
Dibutuhkan P3SRS Berdiri Sendiri
Persoalan hak suara ini merupakan salah satu masalah yang hingga kini belum terpecahkan di Kawasan Komersial. Persoalan lainnya yang juga menjadi ganjalan adalah persoalan PPPSRS/P3SRS atau Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun.
Menurut Ridwan, idealnya, untuk rumah susun campuran, sebaiknya terdapat P3SRS yang berdiri sendiri di setiap fungsi rumah susunnya meskipun di dalam satu tanah bersama. Dalam satu Kawasan Superblok terdapat berbagai macam fungsi misalkan fungsi hunian, fungsi perkantoran, fungsi toko dan fungsi lainnya, sehingga tentunya ada kemajemukan kepentingan antarpenghuni, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun sisi budaya. Kondisi ini menyebabkan perbedaan yang signifikan antarpenghuni dalam satu Kawasan Superblok.
Untuk rumah susun campuran, sebaiknya terdapat P3SRS yang berdiri sendiri di setiap fungsi rumah susunnya meskipun di dalam satu tanah bersama.
ALEXANDER STEFANUS RIDWAN, WAKIL KEPALA BPKPT KADIN BIDANG KAWASAN KOMERSIAL
“Apabila kondisi ‘pemberlakuan satu P3SRS untuk satu Kawasan Superblok’ terus berjalan, pertanyaan mendasarnya adalah apakah pengurus P3SRS Kawasan Superblok tersebut dapat bekerja secara adil dan merata kepada seluruh fungsi Rumah Susun? Yang dikhawatirkan pengurus terpilih yang berasal dari Apartemen misalnya, hanya akan mengurus Apartemen dan mengabaikan Fungsi Rumah Susun lainnya,” ujar Ridwan.
Seharusnya di Kawasan Superblok, kata Ridwan, diberikan peluang pembentukan beberapa P3SRS dalam satu Kawasan Superblok. “Terlebih lagi dalam pelaksanaan pemilihan pengurus P3SRS yang menggunakan sistem voting dengan hak suara one name one vote. Belum tentu pengurus dari fungsi perkantoran (misalnya) ingin mengelola satu Kawasan Superblok. Untuk mengelola satu Kawasan Superblok, dibutuhkan keahlian, pengalaman, dedikasi dan integritas yang tinggi,” paparnya.

Menurut Stefanus Ridwan, prinsipnya satu P3SRS untuk Rumah Susun Hunian dan atau Non-hunian (hanya terdapat satu fungsi) itu sudah sesuai. Namun seiring perkembangan zaman di mana muncul konsep Rumah Susun Campuran dan atau konsep rumah susun lainnya yang mungkin akan timbul di kemudian hari, maka kondisi ini tidak bisa disamaratakan dengan memberlakukan peraturan rumah susun yang ada saat ini.
Untuk mengelola satu Kawasan Superblok, dibutuhkan keahlian, pengalaman, dedikasi, dan integritas yang tinggi.
ALEXANDER STEFANUS RIDWAN, PRESIDEN DIREKTUR PT PAKUWON JATI TBK
“Sistem pemungutan suara one name one vote sangat cocok bagi rumah susun yang luasannya sama per unit (rumah susun sederhana). Namun begitu diaplikasikan pada rumah susun komersial atau rumah susun campuran, terdapat luasan berbeda-beda untuk masing-masing unit, maka sistem tersebut tentunya tidak adil bagi para pemilik unit. Oleh karenanya, hukum atau peraturan tentang P3SRS juga harus bisa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan konsep rumah susun yang ada sekarang,” kata Ridwan.

P3SRS seharusnya ada di setiap bagian di kawasan superblok, yaitu di apartemen, di perkantoran, di hotel, dan di pusat perbelanjaan. Masing-masing perlu ada Ketua P3SRS. Lalu apakah ada Kepala P3SRS yang membawahi semuanya di kawasan superblok? Menurut Ridwan, tidak ada. “Yang ada hanya Dewan P3SRS yang membahas masalah lingkungan, benda bersama yang dimiliki bersama, umpamanya jalan lingkungan dan lainnya. Idealnya masing-masing Ketua P3SRS duduk bersama dan semua punya hak bicara. Tetapi kenyataannya, sekarang tidak demikian. Tidak ada P3SRS apartemen mau mengurusi hotel, perkantoran, dan mal. Jadi sebaiknya bentuk saja P3SRS masing-masing dan mengurusi wilayah masing-masing,” ungkap Ridwan.
Peraturan tentang P3SRS harus bisa berkembang dan menyesuaikan dengan perubahan-perubahan konsep rumah susun yang ada sekarang.
ALEXANDER STEFANUS RIDWAN, WAKIL KEPALA BPKPT KADIN BIDANG KAWASAN KOMERSIAL
“Di luar itu, kita bisa merekrut pihak lain untuk mengelola lingkungan. Pembagiannya dirundingkan bersama P3SRS,” tambah Ridwan.
Sementara itu, anggota BPKPT Kadin Bidang Kawasan Komersial, Artadinata Djangkar, sependapat dengan pendapat yang menyebutkan bahwa peraturan tentang pengelolaan rumah susun yang ada sekarang, tidak tepat diterapkan buat superblok atau properti komersial. “Bayangkan sebuah superblok yang terdiri dari rumah susun hunian, mal, hotel dan gedung kantor. Menurut peraturan yang ada sekarang, biaya pengelolaan dan pemeliharaan benda bersama dari superblok tersebut ditanggung oleh para pemilik. Padahal kita tahu biaya tersebut untuk masing-masing jenis gedung tentunya berbeda-beda. Umumnya gedung komersial seperti mal, hotel memiliki biaya pengelolaan yang lebih tinggi dibandingkan hunian biasa. Kalau dicampur seperti itu, pastilah pemilik rumah susun hunian tidak akan setuju,” urai Artadinata, yang juga Direktur Senior PT Ciputra Development Tbk.
Pemilik sebuah apartemen memiliki suara yang sama dengan pemilik hotel/mal. Ini sangat tidak adil. Pemilik hotel/mal bisa membayar IPL beratus kali lipat dari pemilik apartemen, namun haknya untuk menentukan Ketua P3SRS sama.
ARTADINATA DJANGKAR, ANGGOTA BPKPT KADIN BIDANG KAWASAN KOMERSIAL
“Sebaliknya pemilik gedung komersial juga akan keberatan jika pengelolaan gedung komersial yang harus cepat, perlu melalui proses formal dengan para pemilik hunian yang bisa ratusan jumlahnya. Di lain pihak, dalam peraturan sekarang, Ketua P3SRS dipilih dengan prinsip one man one vote. Pemilik sebuah apartemen saja memiliki suara yang sama dengan pemilik hotel atau mal. Ini sangat tidak adil. Pemilik mal atau hotel tersebut membayar IPL beratus-ratus kali dari seorang pemilik rumah susun hunian, namun haknya untuk menentukan ketua P3SRS sama,” ungkap Artadinata.
Ignesjz Kemalawarta, Wakil Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) menambahkan pengelolaan rusun tinggal dan komersial memiliki mekanisme yang sangat berbeda. “Seringkali pengelola tidak memahami hal ini sehingga timbul masalah dan perselisihan,” tambah Ignesjz yang juga merupakan Wakil Ketua Komisi Tetap bidang Perumahan Kadin PUPR dan Infrastruktur.
Terkait dikotomi mayoritas dan minoritas, Ignesjz menegaskan bahwa jika keterwakilan diformulasikan dengan baik, tidak ada dikotomi ini. “Ini sudah dibuktikan oleh negara-negara lain yang juga memiliki pengembangan superblok seperti Malaysia dan Singapura,” tegas Ignesjz.
Lalu apakah ada usulan terhadap problem ini? Menurut Artadinata, sebuah superblok diperkenankan memiliki beberapa P3SRS yang masing masing memiliki pengurus dan mengurus benda bersama masing-masing. “Kemudian tentunya ada benda bersama yang tidak bisa dialokasikan ke salah satu gedung, misalnya saja halaman bersama, trotoar bersama, mungkin pengolahan limbah bersama. Inilah yang kita namakan benda bersama Kawasan. Ini yang dikelola dengan biaya dari masing-masing gedung sesuai NPP (porsi kepemilikan),” jelasnya.
Perlu Forum Khusus, Diskusikan Bersama
BPKPT Kadin, kata Stefanus Ridwan, menyampaikan usul kepada otoritas berwenang untuk menggelar seminar yang mengundang ahli-ahli atau praktisi hukum di bidang rumah susun yang dapat menerangkan atau menjelaskan bahwa masing-masing fungsi rumah susun harus memiliki P3SRS sendiri karena adanya perbedaan pemanfaatan, jumlah pemilik, dan besaran iuran pengelolaan yang berbeda-beda.
“Diperlukan suatu forum khusus bagi para pelaku pembangunan yang membuat pakta integritas terkait kesepakatan perlunya P3SRS di setiap fungsi bangunan rumah susun,” demikian usulan BPKPT Kadin.
Ridwan juga menambahkan, perlunya audiensi antara pelaku pembangunan dan instansi terkait dari kementerian sampai dinas perumahan untuk melahirkan regulasi khusus yang berkaitan dengan rumah susun campuran.
Ridwan juga melihat penyamarataan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk rumah susun baik yang sudah maupun yang belum pecah sertfikat. “Kami berharap dapat beraudiensi dengan Dirjen Pajak untuk membahas penghapusan atau penyamarataan tarif pengenaan PBB sehingga dapat dilakukan perubahan aturan atau diskresi terkait besaran tarif tersebut,” ungkapnya.
“Service Charge”
Ridwan juga mempersoalkan aturan baru pemerintah tentang service charge yang tidak bisa ditarik dari penghuni. Sejak Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Rumah Susun dikeluarkan, pengembang tidak bisa lagi menarik service charge dari penghuni.
“Kalau tidak dibayar penghuni, biaya service charge didapatkan dari mana? Kan tidak ada kewajiban pengembang harus memenuhi semua kebutuhan penyewa. Selama uang tidak terkumpul dan tidak bisa memenuhi kebutuhan untuk membayar listrik misalnya, bagaimana? Yang terjadi kan layanan akan jelek, lift mungkin tak bisa beroperasi karena tak ada listrik. Yang rugi kan penghuni apartemen?” tanya Ridwan.
Jika ‘service charge’ tidak cukup, kebutuhan tidak bisa dipenuhi. Harga apartemen bisa jatuh, layanan jelek, ‘lift’ tidak beroperasi, yang rugi penghuni apartemen.
ALEXANDER STEFANUS RIDWAN, WAKIL KEPALA BPKPT KADIN BIDANG KAWASAN KOMERSIAL
Selain penghuni rugi karena tidak mendapatkan service yang memuaskan, apartemen tersebut akan kehilangan daya tarik karena tak ada lagi yang mau menyewa di sana. “Siapa yang dirugikan? Tak ada yang untung. Pengembang dan penghuni apartemen sama-sama rugi. Jika semua pengelola apartemen menghadapi persoalan yang sama, Ridwan melihat situasi ini bakal menyebabkan kekacauan. Sekarang ini menjadi masalah besar. Yang tadinya lancar membayar, sekarang ada yang memprovokasi tidak mau membayar service charge karena sertifikat belum beres,” keluh Ridwan yang berharap adanya audiensi dengan seluruh instansi terkait membahas masalah ini.
Sekali Lagi Pentingnya Perbaikan Ekosistem Rantai Pasok
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil yang menerima pengurus BPKPT Kadin beberapa waktu lalu menyampaikan penerbitan Sertifikat Laik Fungsi (SLF) memang sangat tergantung pada aparat pemerintah daerah. Penerbitan SLF selama ini bisa bertahun-tahun, bahkan belasan tahun, sehingga orang duduk, tidur, tinggal, tanpa mengantungi sertifikat dianggap wajar dan normal.

“Inilah yang kami maksud dengan ekosistem rantai pasok industri properti di mana keseluruhan proses harus diperhatikan ketika mengeluarkan satu kebijakan. Sertifikat tidak berada di otoritas pengembang, tapi dijadikan faktor pengunci yang tidak menguntungkan siapapun,” tambah Budiarsa.
BPKPT Kadin mengusulkan agar bukti pengurusan Sertifikat Laik Fungsi dapat dijadikan patokan. Kami sepakat konsumen harus dilindungi dari pengembang yang nakal, namun jangan sampai pengembang yang baik juga mengalami kesulitan dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Kami harapkan bukti pengurusan SLF bisa menjadi salah satu landasan pengaturan rumah susun ini.
BUDIARSA SASTRAWINATA, KEPALA BPKPT KADIN
Terkait permasalahan sertifikat ini, BPKPT mengajukan usulan agar bukti pengurusan SLF dapat dijadikan patokan. “Kami sepakat bahwa konsumen harus dilindungi dari pengembang yang nakal, namun jangan sampai pengembang yang baik juga mengalami kesulitan dan dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Oleh sebab itu kami harapkan bukti pengurusan SLF bisa menjadi salah satu landasan pengaturan rumah susun ini,” usul Budiarsa.
CATATAN: Tulisan ini dimuat dalam newsletter BPKPT Updates Edisi 8 (tanggal 7 Februari 2022).

Ingin membaca artikel-artikel lain yang pernah dimuat di “BPKPT Updates”? Silakan klik tautan ini: https://robertadhiksp.net/tag/bpkpt-updates/