ROBERT ADHI KSP
PEMBANTAIAN Tiananmen di Beijing, Tiongkok, yang terjadi 25 tahun silam, tak mungkin terhapus dalam sejarah dunia. Pada 4 Juni 1989, tentara Tiongkok membantai ratusan hingga ribuan mahasiswa pro demokrasi pengunjuk rasa yang sudah tujuh pekan mengokupasi kawasan di jantung kota Beijing itu. Apakah anak-anak muda Tiongkok saat ini tetap mengenang peristiwa berdarah itu atau malah sebaliknya, tak paham apa yang terjadi?
Pemerintah Tiongkok merilis angka korban tewas dalam pembantaian Tiananmen itu sebanyak 246 orang. Namun, menurut dokumen Tiananmen Square, 1989: The Declassified History yang diterbitkan lembaga Arsip Keamanan Nasional Universitas Washington, Amerika Serikat, jumlah korban tewas berkisar antara 500 orang dan 2.600 orang.Gerakan pro demokrasi dan pembantaian Tiananmen pada 1989 hingga kini tidak masuk dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah di Tiongkok. Bahkan, gambar dan informasi terkait peristiwa itu tidak dapat ditemukan di internet yang diakses dari seluruh negeri itu.
”Anak-anak muda Tiongkok tak mengerti apa yang telah terjadi pada 1989 dan kini mereka tidak terlalu tertarik membahas peristiwa itu,” kata penulis buku China, The People’s Republic of Amnesia, Louisa Lim.
Di empat sekolah terkemuka di Beijing, dari 100 pelajar, hanya 15 orang yang mengetahui foto ”Tank Man”, foto seorang lelaki berdiri di depan tank-tank berkaitan dengan peristiwa Tiananmen (”Chinese dare recall Tiananmen Square massacre”, USA Today, 1 Juni 2014).
Banyak anak muda Tiongkok yang cukup cerdas menguasai teknologi menghindari pembatasan akses internet di negerinya. Menurut Lim, mereka menganggap politik itu berbahaya dan langkah terbaik adalah menghindarinya.
Tetap dibungkam
Mereka yang berani bicara tentang pembantaian Tiananmen terancam ditangkap. Pada pekan-pekan terakhir ini menjelang peringatan Tiananmen, Amnesti Internasional mengatakan, lusinan aktivis ditahan. Beberapa orang dilaporkan hilang.
”Respons Pemerintah Tiongkok terhadap peringatan 25 tahun pembantaian Tiananmen lebih keras dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah Tiongkok berupaya menghapus peristiwa 4 Juni dari ingatan,” kata Sekretaris Jenderal Amnesti Internasional Salil Shetty dalam pernyataannya.
Hu Jia (40), seorang saksi mata pembantaian Tiananmen, mengimbau rakyat Tiongkok untuk memperingati peristiwa Tiananmen dengan cara mengunjungi Lapangan Tiananmen pada Rabu 4 Juni mengenakan pakaian hitam-hitam. ”Pemerintah tidak dapat menghilangkan ingatan saya. Pemerintah menggunakan teror untuk membungkam suara rakyat, tapi mereka bukan Tuhan dan tidak dapat menghilangkan semuanya. Anak-anak muda harus bangun dari tidur dan memahami apa yang terjadi,” katanya.
Banyak rakyat Tiongkok yang tidak bisa melupakan begitu saja peristiwa ini. Zhang Xianlin (76) menuntut keadilan hukum atas kematian putranya, Wang Nan, yang pada waktu itu berusia 19 tahun. Sebutir peluru tentara menewaskan putranya. Namun, tidak mudah bagi Zhang memperjuangkannya. Dia selalu dicegah untuk bisa bertemu dengan wartawan ataupun aktivis Tiananmen Mothers, kelompok keluarga korban pembantaian Tiananmen yang didirikannya.
”Awalnya kami melakukan ini untuk anak-anak kami yang menjadi korban, tetapi kemudian kami menyadari ini persoalan sistem politik di negeri ini,” ungkap Zhang.
Korupsi merajalela
Pada demo 1989 itu, lebih dari 3.000 mahasiswa Universitas Peking (PKU) berjalan kaki dari kampus menuju Lapangan Tiananmen dan bergabung dengan 1.000-an mahasiswa Universitas Nasional Tsinghua.
Demo ini dipicu antara lain oleh kematian mendadak pejabat reformis Tiongkok, Hu Yaobang. Hu lantang menyuarakan perlunya reformasi politik dan ekonomi. Hu yang menjabat Sekretaris Jenderal Partai Komunis Tiongkok itu lalu dicopot, dan pada April 1989, Hu meninggal.
Pada 15 April, jutaan mahasiswa dan warga Tiongkok mulai berkumpul di Lapangan Tiananmen. Mereka mengajukan tujuh tuntutan. Selain mendukung pandangan kritis dan reformis Hu Yaobang tentang demokrasi dan kebebasan, juga melancarkan kampanye melawan polusi spiritual dan liberalisasi borjuis yang dinilai salah. Mahasiswa juga menuntut pemerintah memublikasikan informasi pendapatan yang diperoleh pejabat negara dan anggota keluarganya. Pemerintah diminta mengakhiri larangan penerbitan media swasta dan menghentikan sensor media.
Mahasiswa juga menuntut pemerintah menambah anggaran pendidikan dan meningkatkan gaji kaum intelektual, serta mengakhiri larangan demo di Beijing.
Selama tujuh pekan, ribuan mahasiswa mengokupasi Lapangan Tiananmen. Sampai akhirnya pada 4 Juni 1989, Pemerintah Tiongkok mengerahkan tentara, termasuk 54 tank, untuk membubarkan aksi unjuk rasa itu.
Pembantaian Tiananmen mengguncang dunia internasional. Namun, dua hari setelah Lapangan Tiananmen dibersihkan tentara, pemimpin Tiongkok Deng Xiaoping berupaya mengubah citra Tiongkok. Liberalisasi ekonomi dilanjutkan dengan leluasa. Tiongkok juga menunjukkan keinginan bekerja sama dengan dunia internasional dan melaksanakan reformasi ekonomi. Deng berhasil meyakinkan dunia internasional dan membawa pertumbuhan ekonomi Tiongkok melesat tinggi. Tiongkok selalu beralasan tidak membutuhkan demokrasi Barat untuk membuat negeri itu makmur.
Bagaimanapun, menghapuskan sejarah kelam negeri itu kelemahan Tiongkok saat ini. Kemakmuran rakyat tidak diimbangi dengan kebebasan bersuara dan berpendapat, hak asasi manusia yang paling mendasar.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 2 JUNI 2014