Tunisia

ROBERT ADHI KSP

Jutaan orang Tunisia hari Minggu (23/11) mengikuti pemilihan umum langsung guna memilih presiden mereka untuk kali pertama sejak revolusi ”Arab Spring” 2011 yang melengserkan pemimpin berkuasa Zine al-Abidine Ben Ali.

Hari Minggu, pemilihan presiden Tunisia putaran pertama tampaknya belum akan memunculkan pemenang yang pasti. Namun, Tunisia mencatat sejarah baru, menorehkan kisah sukses paling demokratis pada era setelah Arab Spring.

Pada pemilu legislatif sebelumnya, banyak orang yang tidak dapat menemukan nama mereka dalam daftar meski sudah melakukan registrasi. Kini, daftar pemilih sudah diperbarui dan petugas pemilu tidak lagi menerima komplain berkaitan dengan masalah itu.

Jaringan televisi Al Jazeera melaporkan, pemilihan umum ini berlangsung aman dan tenang. ”Segala sesuatunya akan berjalan dengan sangat baik,” kata Noureddine Jouino, petugas pemilu di distrik Lafayette di pusat kota Tunis (Tunisians vote in first free election, Al Jazeera, 23 November 2014).

Presiden sementara Moncef Marzouki dan pemimpin sekuler Beji Caid Essebsi (87) merupakan kandidat yang dijagokan di antara 25 kandidat presiden lainnya.

Essebsi diunggulkan setelah partainya, Nidaa Tounes, memenangi pemilihan parlemen bulan lalu, mengalahkan petahana Marzouki. Essebsi yang terjun ke dunia politik sejak Tunisia merdeka 1956 adalah Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertahanan, dan Menteri Luar Negeri pada rezim Habib Bourguiba.

Essebsi meraih dukungan pemilih yang khawatir dengan kiprah Ennahda. Essebsi juga didukung kaum kiri dan unionist, juga menikmati dukungan kaum elite yang ingin kembali ke era sebelumnya.

Baik Essebsi maupun Marzouki mengklaim meraih banyak dukungan, tetapi persaingan keduanya ketat sehingga tak ada kandidat yang meraih kemenangan lebih dari 50 persen. Pemilu putaran kedua dijadwalkan digelar 31 Desember 2014 (Tunisia holds first post-revolution president poll, BBC, 23 November 2014).

Pemilu di Tunisia hari Minggu merupakan pemilu langsung pertama sejak pemerintahan Ben Ali yang berkuasa lebih dari 20 tahun jatuh. ”Kami memasuki suasana perubahan yang disebut Arab Spring. Kami akan menjadi negara pertama yang melakukan transisi dan negara-gara lain mengikuti langkah kami,” kata PM Tunisia Mehdi Jomaa.

Pertama

Tunisia adalah negara pertama tempat revolusi Arab Spring dimulai. Revolusi yang dimulai 19 Desember 2010 itu membuat pemerintahan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali jatuh pada 14 Januari 2011. Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi. Perdana Menteri Ghannouchi mundur. Revolusi Arab Spring di Tunisia yang menyebabkan 338 orang tewas itu kemudian menular ke sejumlah negara lain di kawasan tersebut.

Tunisia sejak berabad-abad silam merupakan wilayah penting di kawasan Mediterania. Berlokasi di Afrika Utara, Tunisia memiliki kota kuno Carthage yang merupakan kota pelabuhan penting di masa silam. Pada masa itu, Romawi, Arab, Ottoman (Turki), dan Perancis menyadari betapa strategisnya Tunisia sebagai wilayah untuk mengontrol kawasan sekitarnya.

Setelah pemerintahan kolonial Perancis berakhir tahun 1956, Tunisia dipimpin Habib Bourguiba selama tiga dekade.

Bourguiba banyak menonjolkan gagasan sekuler, termasuk di antaranya penghapusan poligami dan pendidikan gratis, serta emansipasi bagi kaum perempuan. Di antara negara-negara Arab, hak-hak perempuan di Tunisia sangat dihargai. Bourguiba tidak mendukung kelompok ekstremis Islam garis keras.

Pada 1987, Habib Bourguiba dipaksa turun dengan alasan pikun. Zine al-Abidine Ben Ali menjadi presiden dan melanjutkan perlawanan terhadap kelompok ekstremis Islam.

Ben Ali dikecam oposisi ketika mengubah undang-undang yang memungkinkan dia memenangi pemilu pada 2004 dan 2009 dengan kemenangan 99,9 persen.

Tunisia lebih makmur dibandingkan dengan tetangga-tetangganya dan memiliki hubungan dagang yang kuat dengan Eropa. Sektor pariwisata merupakan sektor kunci dalam bidang ekonomi. Jumlah wisatawan sempat turun menyusul revolusi 2011, tetapi Tunisia berharap wisatawan Eropa berlibur kembali ke negeri itu.

Kaum sekuler Tunisia, khususnya kaum perempuan, cemas dengan tumbuhnya pengaruh kelompok Islam ultrakonservatif sejak Ben Ali jatuh. Partai moderat Islam, Ennahda, yang mengambil alih kekuasaan sejak Oktober 2011, berjanji mendukung toleransi, tetapi mengusulkan konstitusi yang membatasi hak-hak perempuan.

Pada awal 2014 ini, Majelis Konstituante Nasional di Tunisia menghasilkan konstitusi pluralis yang mengatur panggung pemilihan parlemen pada 26 Oktober di mana para petahana kehilangan kursi. Fakta sederhana pergantian politik ini merupakan tonggak sejarah: Ennahda mulai kehilangan kepercayaan dari para pemilih.

Ennahda Movement atau dikenal sebagai Ennahda adalah partai politik Islam moderat di Tunisia yang terinspirasi dari Muslim Brotherhood (Ikhwanul Muslimin). Partai ini dilarang Ben Ali sejak 1992.

Pada 1 Maret 2011 setelah pemerintahan Ben Ali jatuh, Ennahda menjadi parpol terbesar dan paling terorganisasi di Tunisia. Saat yang sama, banyak parpol sekuler bermunculan.

Peran serta Islam dalam proses demokrasi di Tunisia di antara mayoritarianisme Turki dan militerisme Mesir. Namun, Tunisia berbeda: lebih kecil, tak ada hegemoni tentara, dan Ennahda tidak memiliki suara terbanyak (A Historic Compromise in Tunisia? What Rome Can Teach Carthage, Jonathan Laurence, Brookings, 19 November 2014).

Pola utama yang muncul selama bertahun-tahun: pertempuran eksistensial antara Islam dan non-Islam. Hasil pemilu legislatif bulan lalu merefleksikan masyarakat yang terpolarisasi.

Siapa pun presiden yang terpilih, pesta demokrasi di Tunisia menjadi tonggak sejarah penting negeri itu. Tunisia adalah negara pionir revolusi Arab Spring. Selain itu, Tunisia juga negara pertama yang menggelar pemilu presiden setelah revolusi Arab Spring. Apakah negara-negara di kawasan itu juga akan mengikuti jejak Tunisia?

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 24 NOVEMBER 2014