
ROBERT ADHI KSP
Presiden Tiongkok Xi Jinping memimpin peringatan ke-77 Pembantaian Nanjing (”Nanjing Massacre”), Sabtu (13/12) pekan lalu. Dalam insiden pada 1937 itu, tidak kurang dari 300.000 warga sipil tewas dibantai tentara Jepang. Sejak itu, hubungan Tiongkok-Jepang tak pernah harmonis lagi. ”Kemarahan” rakyat Tiongkok terhadap Jepang masih terasa meskipun peristiwa Nanjing sudah berlalu lebih dari tujuh dekade.
”Kami menolak kejahatan itu terulang kembali. Kami memperingati peristiwa ini untuk mendorong perdamaian, bukan memperpanjang kebencian,” kata Presiden Tiongkok Xi Jinping di depan 10.000 orang yang hadir dalam peringatan di Nanjing Massacre Memorial Hall. ”Tanggung jawab atas kejahatan perang berkaitan dengan segelintir militer, bukan rakyat. Namun, kejahatan perang tidak mungkin bisa dilupakan,” katanya.
Kami menolak kejahatan itu terulang kembali. Kami memperingati peristiwa ini untuk mendorong perdamaian, bukan memperpanjang kebencian.
XI JINPING, PRESIDEN REPUBLIK RAKYAT CHINA
Jinping mengecam kaum nasionalis Jepang yang menyangkal pembantaian di Nanjing. ”Siapa pun yang berusaha menyangkal peristiwa ini tidak akan diizinkan oleh sejarah, oleh jiwa-jiwa 300.000 korban pembantaian, oleh 1,3 miliar rakyat Tiongkok, dan oleh semua orang yang mencintai perdamaian dan keadilan di dunia,” ungkap Jinping (Nanjing Massacre: China’s Xi Jinping Leads First State Commemoration, BBC, 13 Desember 2014).

FOTO: KOMPAS/ROBERT ADHI KSP
Jepang dan Tiongkok menjalin hubungan diplomatik pada 1972. Namun, hubungan kedua negara sering diwarnai ketegangan, terutama karena persoalan sengketa pulau-pulau tak berpenghuni di Laut Tiongkok Timur, pandangan kaum nasionalis Jepang, dan sikap politisi Jepang yang mengunjungi kuil Yasukuni untuk menghormati korban perang Jepang, termasuk penjahat Perang Dunia II yang dihukum (China Remembers Nanjing Massacre, The Guardian, 13 Desember 2014).
Pembantaian Nanjing
Kekejaman seperti apa yang dialami rakyat Tiongkok? Situs History.com yang mengupas Nanjing Massacre menulis, pada akhir 1937, selama enam minggu, tentara Kerajaan Jepang secara brutal melakukan pembunuhan terhadap ratusan ribu orang, termasuk prajurit dan rakyat sipil, di kota Nanking (sekarang disebut Nanjing).
Peristiwa mengerikan itu dikenal dengan nama Pembantaian Nanjing (Nanjing Massacre) atau Perkosaan Nanking (The Rape of Nanjing) setelah 20.000 sampai 80.000 perempuan Tiongkok mengalami kekerasan seksual. Nanjing, yang kemudian menjadi ibu kota pemerintahan Tiongkok Nasionalis, menyisakan reruntuhan.
Peristiwa mengerikan itu dikenal dengan nama Pembantaian Nanjing (Nanjing Massacre) atau Perkosaan Nanking (The Rape of Nanjing) setelah 20.000 sampai 80.000 perempuan Tiongkok mengalami kekerasan seksual. Nanjing, yang kemudian menjadi ibu kota pemerintahan Tiongkok Nasionalis, menyisakan reruntuhan.
Menyusul kemenangan berdarah di Shanghai selama perang Tiongkok-Jepang, pasukan Jepang kembali ke Nanjing. Khawatir kalah, pemimpin Tiongkok Nasionalis Chiang Kai-Shek memerintahkan hampir semua pasukan Tiongkok meninggalkan kota Nanjing. Nanjing dijaga oleh pasukan yang tidak terlatih.
Sekelompok kecil pebisnis Barat dan misionaris, Komite Internasional untuk Zona Keselamatan Nanjing, mendirikan wilayah netral yang melindungi penduduk Nanjing. Zona aman ini dibuka pada November 1937. Luasnya kira-kira sama dengan kawasan Central Park di New York, Amerika Serikat. Pada 1 Desember, Pemerintah Tiongkok meninggalkan Nanjing. Komite Internasional mengambil aih tanggung jawab melindungi penduduk dan mereka diperintahkan tinggal di zona aman.
Pada 13 Desember 1937, tentara Jepang pimpinan Jenderal Matsui Iwane masuk kota Nanjing. Dalam perjalanan menuju kota itu, tentara Jepang melakukan pembunuhan dan penjarahan. Pasukan Jepang memburu tentara Tiongkok dan membunuh mereka dengan kejam. Semua keluarga dibantai, orangtua dan bayi dieksekusi, dan puluhan ribu perempuan diperkosa. Mayat-mayat penduduk Nanjing bergelimpangan di jalan, berbulan-bulan setelah serangan terjadi. Pasukan tentara Jepang menghancurkan kota itu dengan menjarah dan membakar sepertiga bangunan di Nanjing.
Jumlah korban tewas dalam Pembantaian Nanjing berkisar antara 200.000 dan 300.000 jiwa. Setelah perang berakhir, Jenderal Matsui dan Letnan Tani Hisao diadili atas dakwaan kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh. Keduanya dieksekusi.
Jumlah korban tewas dalam Pembantaian Nanjing berkisar antara 200.000 dan 300.000 jiwa. Setelah perang berakhir, Jenderal Matsui dan Letnan Tani Hisao diadili atas dakwaan kejahatan perang oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh. Keduanya dieksekusi.
Namun, kemarahan rakyat Tiongkok atas apa yang terjadi di Nanjing pada masa lalu masih berlanjut dan mewarnai hubungan Tiongkok-Jepang dewasa ini.
Pembantaian Nanjing dieksploitasi untuk tujuan propaganda oleh revisionis sejarah, apologis, dan nasionalis Jepang. Beberapa di antaranya menyebutkan, angka korban tewas lebih banyak, sedangkan yang lain membantah telah terjadi pembantaian.
Tujuh dekade telah berlalu. Nanjing kini salah satu kota yang paling makmur, tumbuh menjadi kota industri modern, dan menjadi markas bagi banyak perusahaan terbesar milik negara. Namun, Nanjing membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk pulih dari kehancuran.
Rakyat Tiongkok hingga kini masih menyimpan banyak pertanyaan. Apakah rakyat Jepang merasa bersalah atas perlakuan serdadu Jepang kepada rakyat Tiongkok selama perang pada masa lalu? Jepang dinilai hingga kini belum pernah menyampaikan maaf secara baik ataupun menebus kesalahan mereka pada masa lalu. Buku-buku sejarah di Jepang pun tidak menyinggung pembantaian di Nanjing.

Sebaliknya, rakyat Tiongkok sejak usia dini selalu diingatkan dengan kekejaman ini. Karena itu, tidaklah heran jika hingga kini kemarahan rakyat Tiongkok masih terasa. Pada 2015, Pemerintah Tiongkok bahkan telah mempersiapkan peringatan 70 tahun Perang Dunia II berakhir.
Partai Komunis Tiongkok yang mengendalikan negeri itu membangkitkan sentimen nasionalis terhadap pertunjukan televisi anti-Jepang serta penerbitan memoar perang dan buku-buku teks sekolah yang bertemakan anti-Jepang. Salah satunya yang digunakan murid-murid di Provinsi Jiangsu (Nanjing adalah ibu kotanya) berjudul ”Memory of Blood and Fire” (The Nanjing Massacre: Lest They Forget, The Economist, 12 Desember 2014).
November lalu, Jinping dan PM Jepang Shinzo Abe saling berjabat tangan untuk kali pertama dalam konferensi APEC. Namun, tampaknya hubungan normal di antara kedua negara ini belum terwujud dalam waktu dekat.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 15 DESEMBER 2014