Gambar

ROBERT ADHI KSP

Sejak tahun 2000, Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Polri berada di bawah Presiden, setelah bertahun-tahun lamanya di bawah kendali Angkatan Bersenjata RI. Setelah 14 tahun, bagaimana wajah Polri? Apakah harapan agar Polri makin profesional dan melayani rakyat dengan tulus sudah terwujud?

Pasca Reformasi, Polri memang terus berbenah diri. Setiap tahun, pimpinan Polri mengumumkan jumlah anggota yang dipecat sebagai bukti keseriusan Polri membersihkan institusi ini. Langkah itu tentu saja belum cukup untuk membuat Polri dicintai rakyat.

Pada 2013, Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman menyebutkan, sebanyak 144 anggota Polri dipecat. Jumlah ini berkurang dibandingkan dengan jumlah polisi yang dipecat tahun 2012 yang tercatat 595 orang. Sebagian di antaranya terlibat kasus narkoba dan pungli.

Kapolri Sutarman mencatat, pada 2013 sebanyak 4.315 anggota Polri melakukan berbagai pelanggaran. Jumlah ini naik dibandingkan jumlah anggota Polri yang melakukan pelanggaran pada 2012 sebanyak 3.416.

Memecat anggota Polri yang bermasalah sudah menjadi kewajiban pimpinan Polri. Namun, mengapa citra Polri tak juga berubah? Kasus yang menimpa jenderal polisi berbintang dua, Djoko Susilo, beberapa waktu lalu, merupakan salah satu bukti nyata bagaimana korupsi di tubuh Polri merajalela. Mata rakyat terbelalak. Jenderal yang lama bertugas di bidang lalu lintas ini dihukum 18 tahun penjara. Puluhan asetnya berupa rumah dan tanah di sejumlah lokasi disita.

Jenderal Sutarman juga pernah memutasi perwira menengah Polri yang diduga terlibat pelanggaran menyusul Operasi Senyap yang dilancarkan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri. Sutarman berharap langkah pembersihan itu dapat mengubah citra Polri.

Memberantas korupsi di tubuh Polri menjadi tantangan utama Kepolisian RI. Setelah Reformasi, Polri terpisah dari Angkatan Bersenjata RI dan berada di bawah Presiden. Polri makin mandiri dan diharapkan menjadi Polri yang profesional. Institusi Polri sejajar dengan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.

Mendagri dan ABRI

Sebelumnya, selama bertahun-tahun, Polri berada di bawah ABRI. Artinya, semua kebutuhan Polri, dari urusan personel sampai anggaran, sangat bergantung pada Markas Besar ABRI dan Panglima ABRI. Banyak lembaga asing enggan memberi bantuan pendidikan kepada Polri karena harus melalui Departemen Pertahanan dan Keamanan. Orang asing menganggap itu bantuan untuk militer.

Mantan Kapolri Jenderal Kunarto (almarhum) pernah mengungkapkan, betapa susahnya Polri meminta peralatan pengendalian massa (dalmas) kepada Mabes ABRI. Padahal, peralatan itu untuk mengantisipasi aksi unjuk rasa menjelang pemilihan umum. Begitulah kondisi Polri pada awal 1990-an.

Pada awal kemerdekaan tahun 1945, institusi Polri pernah di bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Satu tahun kemudian, tahun 1946, kedudukan Kepolisian RI (bernama Jawatan Kepolisian Negara) di bawah Perdana Menteri.

Tahun 1949, institusi Polri di bawah Kementerian Pertahanan. Tahun 1950, Konstitusi RI membentuk Kementerian Kepolisian. Setelah Dekrit 5 Juli 1959, Kepolisian RI tak jelas di bawah siapa karena institusi ini tak disebut-sebut. Melalui Ketetapan MPRS Nomor II Tahun 1950, Kepolisian RI disebut sebagai angkatan perang. Ini dikuatkan dengan UU Pokok Kepolisian Negara Tahun 1961 dan UU No 20/1982 tentang Pertahanan Keamanan.

Sejak 1 April 1999, Polri lepas dari Tentara Nasional Indonesia (TNI)—dulu ABRI dan di bawah Departemen Pertahanan. Sejak 1 Juli 2000, Kepolisian Negara RI resmi berpisah dari Departemen Pertahanan dan berada di bawah Presiden. Pemisahan itu tertuang dalam Keputusan Presiden No 89/2000 tertanggal 1 Juli 2000.

Setelah Polri berada di bawah Presiden, Polri lebih mandiri dan memiliki otonomi dalam urusan personel, anggaran, logistik, pendidikan dan latihan, dan lainnya. Dalam bekerja, polisi harus mandiri dan tak boleh diintervensi siapa pun.

Profesional

Yang menjadi pertanyaan adalah setelah mandiri dan berada di bawah Presiden, sejauh mana Polri bekerja secara profesional dan menjadi Polri yang dicintai rakyat? Apakah setelah 14 tahun di bawah Presiden, citra dan kinerja Polri membaik?

Survei yang dilakukan pada Oktober 2012 dan melibatkan 10.000 keluarga di 33 provinsi menyimpulkan, satu dari tiga orang Indonesia menganggap menyuap polisi sebagai hal normal dan wajar. Memberi uang lebih kepada polisi agar urusan lancar dianggap hal normal. (Wall Street Journal, ”Many in Indonesia See Bribing Police as Normal”, 2 Januari 2013).

Masih banyak orang enggan melaporkan kasus kejahatan yang menimpanya ke polisi karena khawatir diminta ”uang operasional”. Istilah ”lapor kehilangan ayam malah kehilangan kambing” masih berlaku selama bertahun-tahun sejak Polri di bawah ABRI. Kesan ini memang pahit bagi Polri, tetapi itulah kenyataannya.

Bukan hanya itu. Korupsi di tubuh Polri makin menjadi-jadi. Rakyat terkejut betapa dahsyatnya korupsi yang dilakukan Irjen Djoko Susilo. Reformasi Polri sejak tahun 2000 belum banyak mengubah wajah Polri.

Belum berdampak

Polri di bawah Presiden sejauh ini belum berdampak positif bagi masyarakat. Apakah pelayanan polisi Indonesia membaik dalam menangani pengaduan, mengusut perkara, menegakkan hukum, dan melindungi masyarakat?

Pertanyaan yang juga sangat penting, apakah Polri betul-betul menegakkan hukum tanpa melihat kepentingan penguasa? Apabila Polri masih mempertimbangkan kepentingan Presiden, keluarga, dan kroninya, termasuk kepentingan pribadi, artinya reformasi Polri sia-sia belaka. Polri hanya mendengar suara penguasa, bukan suara rakyat.

Kasus fitnah oleh pengelola tabloid Obor Rakyat merupakan salah satu contoh terkini. Penanggung jawab Obor Rakyat, Setiyardi Budiono, asisten staf khusus Presiden, dan penulisnya, Darmawan S, sudah memberikan pengakuan. Dewan Pers juga sudah menyatakan Obor Rakyat bukan produk jurnalistik. Anehnya, Polri masih enggan menangani kasus ini. Apakah karena faktor pelakunya ”orang Istana” sehingga menyebabkan Polri menjadi ogah-ogahan?

Sungguh disayangkan apabila Polri tidak bersikap profesional. Perjuangan pimpinan Polri pada masa lalu yang mengharapkan Polri mandiri menjadi sia-sia. Toh, di bawah Presiden atau tidak, wajah Polri sama saja, tak berubah.

Tampaknya dibutuhkan revolusi mental secara menyeluruh agar Polri dapat dicintai rakyat Indonesia.

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 30 JUNI 2014