ROBERT ADHI KSP
Jangan pernah remehkan suara rakyat dalam media sosial. Apabila menyatu dalam nada yang sama, suara rakyat dalam media sosial menjadi kekuatan maha dahsyat. Komentar tentang pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia dan aksi demo di Hongkong, contoh terbaru betapa dahsyatnya kekuatan media sosial.
Pasca pengesahan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada), kemarahan rakyat dituangkan di media sosial Twitter dengan hashtag (tagar) #ShameOnYouSBY. Tagar yang menjadi trending topic worldwide itu bertahan selama 48 jam, sampai akhirnya hilang dalam daftar tren topik dunia.
Meskipun tagar #ShameOnYouSBY hilang, muncul tagar serupa, yaitu #ShamedByYou yang bertahan dalam daftar tren topik dunia sepanjang hari Minggu (28/9).
Bahkan, hari Senin ini, tagar #ShamedByYouAgainSBY muncul dalam tren topik Indonesia dan bertengger di posisi pertama. Ini menunjukkan masih kuatnya perbincangan pengguna media sosial Twitter seputar sikap dan langkah Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Sidang Paripurna DPR, pekan lalu. Langkah walk out yang diambil Fraksi Partai Demokrat menyebabkan UU Pilkada disahkan, karena suara yang setuju pilkada oleh DPRD lebih banyak dibandingkan dengan yang menolak.
Ketika UU Pilkada disahkan pada hari Jumat (26/9) dini hari, SBY berada di Amerika Serikat. Melihat akun Twitter dan Facebooknya dibombardir pengguna media sosial, SBY kemudian mengunggah penjelasan perihal sikapnya terkait UU Pilkada ke publik melalui Youtube.
Namun, tampaknya rakyat tidak mudah percaya. Sekali lagi, tagar yang berkaitan dengan SBY muncul lagi di Twitter meski dengan nama berbeda.
Kemarahan rakyat Indonesia yang tecermin dari kicauan pengguna Twitter dan postingan pengguna Facebook tampaknya belum berhenti sampai persoalan UU Pilkada selesai.
Mengapa Yudhoyono yang menjadi sasaran kemarahan? Intinya, pengguna media sosial berpendapat bahwa Presiden Yudhoyono, yang menikmati pemilihan langsung oleh rakyat selama 10 tahun, seharusnya dapat menjaga demokrasi. Namun, itu tidak terjadi setelah Fraksi Demokrat di DPR memilih walk out. Banyak yang menduga instruksi walk out datang langsung dari Yudhoyono, yang juga pendiri partai politik tersebut. Banyak yang berpendapat bahwa Yudhoyono sebenarnya sedang bersandiwara.
Kekecewaan masyarakat Indonesia juga diwujudkan dalam aksi unjuk rasa oleh warga negara Indonesia di Washington DC, Amerika Serikat. Mereka menggelar aksi unjuk rasa di depan hotel tempat Presiden Yudhoyono menginap. Aksi unjuk rasa itu tersebar di media sosial dalam sekejap. Dalam hitungan detik, rakyat di Indonesia tahu Presiden Yudhoyono didemo oleh warga negara Indonesia di Washington.
Kasus Hongkong
Siapa yang bisa membungkam suara di media sosial? Bahkan, Pemerintah Tiongkok yang merencanakan mengganti sistem pemilihan langsung di Hongkong pun, tidak mampu. Hongkong saat ini mengalami gejolak politik karena jutaan rakyatnya menolak penghapusan pemilihan langsung pemimpin mereka. Jutaan rakyat Hongkong melakukan aksi unjuk rasa karena menilai penghapusan pemilihan langsung mematikan demokrasi di sana.
Sejak diambil alih Tiongkok dari Inggris pada tahun 1997, Hongkong menjadi bagian dari Tiongkok, tetapi menjalankan sistem pemerintahan yang berbeda dan dikenal dengan istilah ”One Country, Two Systems” (Satu Negara, Dua Sistem).
Kebebasan berpendapat tidak ditemukan di Tiongkok daratan. Media sosial Facebook dan Twitter diblokir dan tidak dapat diakses orang asing yang berkunjung ke Tiongkok. Namun, di Hongkong, yang terjadi justru sebaliknya. Hongkong adalah ”surga” kebebasan berpendapat, dan ini warisan demokrasi dari Inggris, yang menjadi kebanggaan warga setempat.
Pengunjuk rasa di Hongkong memanfaatkan media sosial sebagai alat berkomunikasi dan menyampaikan informasi. Mereka memposting foto-foto suasana aksi unjuk rasa sehingga seluruh orang di mana pun dapat mengikuti perkembangan terkini aksi unjuk rasa tersebut.
Pengunjuk rasa membawa payung untuk melindungi diri dari sengatan matahari dan semprotan gas air mata, dan ini menjadi simbol pro demokrasi di Hongkong. Dalam Twitter, tagar yang digunakan untuk mendukung perlawanan atas pembungkaman demokrasi di Hongkong adalah #UmbrellaRevolution dan #OccupyCentral.
Instagram, aplikasi foto yang belum lama ini dibeli Facebook Inc, terpaksa diblokir oleh Pemerintah Tiongkok sejak hari Minggu setelah foto-foto polisi menyemprotkan gas air mata ke arah pengunjuk rasa tersebar luas dan dapat diakses pengguna Instagram di Tiongkok daratan. Namun, media sosial apa pun tetap dapat diakses di Hongkong sehingga pemblokiran itu tidak berpengaruh apa pun terhadap masyarakat Hongkong.
Penolakan terhadap upaya pembungkaman demokrasi di Indonesia dan Hongkong, yang diramaikan di media sosial, tidak boleh dianggap sepele karena suara mereka adalah suara rakyat sesungguhnya.
Benang merah
Suara rakyat Hongkong memberi pesan jelas. Mereka menolak diatur Beijing yang mengendalikan semua aspek kehidupan, termasuk mengontrol kebebasan bependapat di bekas koloni Inggris itu. Cara Hongkong memberantas korupsi, misalnya, terbukti lebih ampuh dibandingkan dengan cara Tiongkok.
Adapun suara rakyat Indonesia di media sosial, akhir-akhir ini, memberi pesan bahwa rakyat sesungguhnya menolak kembali ke era Orde Baru dan tak ingin suara rakyat dibungkam kembali. Setelah 16 tahun berada di era reformasi, Indonesia diyakini berada di jalan yang benar. Rakyat setuju koruptor yang menggerogoti uang negara dibui. Banyaknya pejabat dari partai politik dan politikus ditangkap karena kasus suap dan korupsi menunjukkan kerakusan politikus yang makin menggila. Publik tidak ingin daerah dipimpin calon-calon koruptor hasil pilihan DPRD berdasarkan politik transaksional.
Publik mendukung pemilihan kepala daerah langsung karena rakyat bisa memilih siapa calon terbaik yang pantas memimpin daerahnya. Publik menolak orang-orang yang tidak tepat, yang dipilih DPRD, memimpin daerah. Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, Ridwan Kamil, dan Tri Rismaharini adalah contoh kepala daerah hasil pilkada langsung, yang sukses memimpin daerah. Bahkan, Susilo Bambang Yudhoyono dua kali menjabat presiden setelah menang melalui pemilihan langsung. Publik menilai, ini bukan sekadar UU Pilkada, tetapi melihat ada agenda lain untuk juga mengubah sistem pemilihan presiden.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 29 SEPTEMBER 2014