
ROBERT ADHI KSP
Nokia pernah berjaya sebagai ”brand” telepon seluler pintar selama lebih dari dua dekade. Di masa jayanya, hampir semua kelas menengah di banyak tempat di dunia memiliki ponsel pintar Nokia Communicator. Saat itu Nokia menjadi semacam simbol prestise baru. Namun, itu semua sudah menjadi cerita masa lalu. Sejak Oktober 2014, Nokia betul-betul lenyap, ”dibunuh” oleh Microsoft yang mengakuisisi perusahaan Finlandia itu tahun 2013.
Raksasa internet Microsoft pada September 2013 mengakuisisi Nokia dengan nilai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 79 triliun. Akuisisi ini tentu saja menghebohkan industri teknologi komunikasi dan digital karena ini pertanda yang benderang bahwa Nokia sudah mulai kehabisan napas.
Banyak yang tidak percaya melihat fakta ini, terutama mengingat nama Nokia pernah begitu besar, megah, dan berkibar di mana-mana.
Sejak 1998, Nokia menguasai pasar ponsel dunia, termasuk pasar Indonesia, baik pasar bawah, menengah, maupun pasar premium. Berbagai produk Nokia yang diluncurkan amat ditunggu-tunggu oleh penggemar ponsel pintar, antara lain Nokia Communicator, yang memungkinkan penggunanya mengetik dengan keyboard, mengirimkannya melalui surat elektronik, bahkan mengirim dokumen dalam bentuk faksimile. Nokia menjadi simbol prestise kelas menengah di berbagai belahan dunia.

Namun, memasuki awal tahun 2000-an, Nokia mulai mendapat pesaing berat. Dalam enam tahun terakhir, penjualan Nokia menurun 40 persen setelah perusahaan Kanada, RIM, merilis Blackberry dan perusahaan Amerika Serikat, Apple, merilis iPhone dan iPad dengan sistem operasi iOS. Sementara Google memperkenalkan sistem operasi Android yang digunakan pada berbagai ponsel pintar di bawah merek, antara lain, Samsung dan LG.
Para petinggi Nokia menganggap penurunan penjualan produk Nokia hanya sementara dan akan naik kembali dalam waktu dekat. Masih banyak yang percaya, pasar Nokia yang sempat goyah akan kembali kokoh. Kenyataannya, penjualan Nokia makin turun dan tak pernah kembali lagi ke puncak. Saham Nokia jatuh hingga lebih dari 80 persen pada tahun-tahun berikutnya.
Ketika makin banyak pengguna ponsel menyukai sistem operasi iOS dan Android, Nokia tetap ngotot mempertahankan sistem operasi Symbian yang dianggap kurang dinamis. Para petinggi Nokia menganggap penurunan penjualan produk Nokia hanya sementara dan akan naik kembali dalam waktu dekat. Masih banyak yang percaya, pasar Nokia yang sempat goyah akan kembali kokoh.

Kenyataannya, penjualan Nokia makin turun dan tak pernah kembali lagi ke puncak. Saham Nokia jatuh hingga lebih dari 80 persen pada tahun-tahun berikutnya. Jika tahun 2000 saham Nokia diperdagangkan dengan nilai 54,73 poundsterling, tahun 2013 jatuh menjadi 4 poundsterling (1 poundsterling = Rp 18.000). Nokia tak pernah lagi menikmati kejayaannya.
Yang menyakitkan adalah Nokia sebetulnya pernah membuat produk tablet, sebelum Apple merilis iPad. Sayangnya, Nokia tidak mengembangkan lebih jauh tablet Nokia.
Empat penyebab
Mengapa Nokia yang pernah berkibar di berbagai belahan dunia begitu cepat jatuh dan lenyap tanpa bekas? Sedikitnya ada empat penyebab tenggelamnya Nokia.
Pada 2007, setelah Apple memperkenalkan sistem operasi iOS yang lebih dinamis dan pada 2008 Google merilis sistem operasi Android, Nokia mulai ditinggalkan pengguna ponsel pintar. Sistem operasi Symbian dianggap tidak responsif dan tidak dinamis. Ini salah satu penyebab jatuhnya Nokia.
Tahun 2002, Nokia merilis seri 60 dengan sistem operasi Symbian dan respons pasar cukup baik. Namun, pada 2007, setelah Apple memperkenalkan sistem operasi iOS yang lebih dinamis dan pada 2008 Google merilis sistem operasi Android, Nokia mulai ditinggalkan pengguna ponsel pintar. Sistem operasi Symbian dianggap tidak responsif dan tidak dinamis. Ini salah satu penyebab jatuhnya Nokia.
Penyebab kedua, Nokia tak mampu mengatasi ketertinggalan dalam kompetisi di industri ponsel pintar. Jika pada kuartal IV-2010 pasar Nokia masih 30 persen, pada kuartal IV-2012, penjualan Nokia tersisa kurang dari 0,5 persen!

Ketiga, Nokia tak hanya kalah bersaing dari Apple, Samsung, Sony, dan Blackberry dalam ponsel pintar high-end, tetapi juga dalam segmen ponsel-ponsel low-end. Nokia kalah dari HTC, Huawei, ZTE, dan Micromax yang memproduksi ponsel-ponsel low-end. Meskipun Nokia merilis Nokia 1100, dan belakangan Nokia Asha, semuanya sudah terlambat. Momentum sudah hilang.
Penyebab keempat, Nokia gagal mengimplementasikan strategi branding yang tepat. Apple adalah perusahaan ponsel pertama yang menggunakan strategi ini, menonjolkan iPhone sebagai umbrella brand dan kemudian merilis model-model itu setiap tahun. Samsung juga dengan cepat mengidentifikasi konsep ini dan mulai membangun ponsel high-end mereka dengan seri Galaxy S.
Sebetulnya Nokia memiliki seri N dan belakangan seri Lumia, tetapi yang menjadi persoalan adalah Nokia gagal menciptakan sesuatu yang gereget, seperti yang dilakukan Apple yang merilis model baru setiap September. Bagi pencinta iPhone dan iPad, mereka selalu ingat bahwa mereka bisa mencari model terbaru setiap September.

Selama beberapa tahun lamanya, Nokia tidak mengantisipasi keinginan pasar, bahkan mengabaikannya. Dalam era teknologi seperti sekarang, Nokia tidak melakukan inovasi secara konstan, karena itu sangat wajar jika akhirnya konsumen ”menghukum” Nokia.
Selama beberapa tahun lamanya, Nokia tidak mengantisipasi keinginan pasar, bahkan mengabaikannya. Dalam era teknologi seperti sekarang, Nokia tidak melakukan inovasi secara konstan, karena itu sangat wajar jika akhirnya konsumen ”menghukum” Nokia.
Setelah Microsoft mengakusisi Nokia tahun 2013, sebenarnya Microsoft berharap penjualan akan bangkit kembali. Namun, momentum emas sudah hilang. Nokia yang berganti sistem operasi menjadi Windows Phone tak mampu mengejar pesaingnya.
Pelajaran yang bisa dipetik dari lenyapnya brand Nokia adalah setiap perusahaan tetap harus dinamis dan mengantisipasi setiap perkembangan pasar.
Pelajaran yang bisa dipetik dari lenyapnya brand Nokia adalah setiap perusahaan tetap harus dinamis dan mengantisipasi setiap perkembangan pasar.
SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 27 OKTOBER 2014