Gambar

ROBERT ADHI KSP

Tiga pengusaha pemilik jaringan media di Indonesia adalah pemimpin partai politik yang ikut pemilihan umum. Apakah ada korelasi antara gencarnya pemberitaan tentang parpol yang dipimpin pemilik media dan perolehan suara dalam pemilihan legislatif pada April lalu?

Para pemilik media yang juga petinggi parpol peserta Pemilu 2014 itu adalah Hary Tanoesoedibjo (49), Ketua Dewan Pertimbangan Partai Hanura, sekaligus Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) parpol tersebut. Hary yang juga calon wakil presiden yang diusung Partai Hanura adalah pemilik dan CEO Media Nusantara Citra (MNC) Group.

Hary mengendalikan stasiun televisi RCTI, Global TV, MNC TV, Sindo TV, juga jaringan radio Sindo Trijaya, Global Radio, V Radio, dan sejumlah radio lainnya. Hary juga pemilik Koran Sindo, dan beberapa tabloid dan majalah, serta pemilik situs online Okezone.com dan sindonews.com.

Pemilik media selanjutnya yakni Surya Paloh (62), pendiri stasiun Metro TV, surat kabar Media Indonesia, dan Lampung Post, adalah Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Kemudian Aburizal Bakrie (67), pemilik stasiun TV One dan ANTV, serta situs online Vivanews, adalah Ketua Umum Partai Golkar sejak 2009.

Menjelang pemilihan legislatif yang lalu, semua media milik tiga petinggi parpol tersebut gencar memberitakan iklan dan kegiatan masing-masing parpol lebih banyak dibandingkan dengan parpol perserta pemilu lainnya. Kebijakan editorial pemimpin redaksi seringkali diintervensi pemilik media, yang meminta tak boleh ada berita tentang sosok capres lain. Bahkan, antara TV yang satu dengan TV lainnya ”saling terkam” dan ”saling tikam”.

Apakah ada korelasi antara gencarnya iklan dan pemberitaan tentang sosok petinggi parpol dan perolehan suara? Hasil pemilihan legislatif yang digelar pada 9 April 2014 menunjukkan, tiga parpol yang dipimpin pemilik media itu ternyata gagal meraih posisi nomor satu. Meski setiap saat publik pemirsa televisi, pendengar radio, pembaca surat kabar, dan media online ”diserbu” berita dan iklan sosok tiga pemilik media itu, penampilan mereka, toh, tak mampu mendongkrak perolehan suara parpol yang mereka pimpin.

Partai Hanura yang dipimpin Wiranto dan Hary Tanoesoedibjo hanya meraih 5,26 persen suara atau 6,57 juta suara (posisi ke-10) dari 12 parpol peserta pemilu. Partai Nasdem yang dipimpin Surya Paloh meraih 6,72 persen suara atau 8,4 juta suara (posisi ke-8). Adapun Partai Golkar yang dipimpin Aburizal meraih 14,75 persen suara (18,43 juta suara) atau posisi kedua.

Pemenang Pemilu Legislatif 2014 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang meraih 18,95 persen suara atau 23,68 juta suara. Parpol yang selama 10 tahun berada di luar pemerintahan itu, kali ini menguasai 17 provinsi di seluruh Indonesia. Padahal, PDI-P tidak memiliki stasiun televisi, radio, surat kabar, seperti halnya parpol lainnya. Ini membuktikan bahwa rakyat sudah cerdas, caleg mana dan dari parpol mana yang harus dipilih.

Independen dan integritas

Dewan Pers sudah lama memantau sejumlah media milik petinggi parpol. Ketua Dewan Pers Bagir Manan dan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Judhariksawan, pada pertengahan Maret lalu, mengingatkan media agar tetap mengedepankan independensi dan integritas terutama media yang dimiliki petinggi parpol.

Dewan Pers dan KPI mengingatkan, pers harus adil dalam memberitakan partai peserta pemilu dan ketika mereka beriklan di media tersebut. Pers tidak boleh menggoyahkan sendiri kebebasan dan independensi sekadar menjadi alat keberpihakan kepentingan politik sesaat.

Pers harus menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol sosial secara profesional. Pers juga harus bersikap adil dengan memberi kesempatan yang sama kepada semua peserta pemilu dan transparan.

Meskipun Dewan Pers dan KPI sudah menyampaikan imbauan soal netralitas pemberitaan, hal itu tampaknya tidak dihiraukan pemilik media yang juga petinggi parpol. Mereka mengintervensi ruang redaksi untuk kepentingan politik dan ambisi pribadi. Ada pemilik media secara vulgar dan terang-terangan mengedepankan kepentingan pribadi dan tidak peduli pada audiens penonton, pendengar, dan pembaca media.

Pemilik media yang juga petinggi parpol mengacak-acak dunia jurnalistik yang seharusnya mengedepankan independensi dan integritas media.

Wartawan pemula yang mendapat pendidikan singkat jurnalistik ataupun yang belajar jurnalistik bertahun-tahun di perguruan tinggi, selalu diingatkan untuk tetap bersikap profesional dalam menjalankan tugas. Namun ketika masuk dalam dunia nyata, mereka dihadapkan pada pilihan sulit: mengikuti suara hati atau terpaksa ikut suara pemilik media yang semena-mena.

Namun, publik Indonesia sudah cerdas. Wajar bila publik mempertanyakan mengapa pemilik media yang juga petinggi parpol tega merampas ruang publik hanya untuk kepentingan dan ambisi pribadi, serta menggunakan frekuensi publik untuk memuaskan hasrat politik sendiri. Wajar pula bila audiens yang cerdas pada akhirnya meninggalkan media-media partisan.

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS SIANG DIGITAL EPAPER, SENIN 19 MEI 2014