Kepemimpinan seseorang memengaruhi kemampuan membangun sebuah kota menjadi kota yang cerdas. Kepemimpinan seorang wali kota atau bupati sebagai kepala daerah dapat dilihat dari kedisiplinan tinggi yang diterapkan.

Persoalannya, dari sedikitnya 500 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia, berapa persen pemimpin daerah yang menonjol dalam kepemimpinan sehingga mampu membawa kota dan kabupaten menjadi kota yang cerdas, kota yang hijau, kota yang layak huni?

Kota Cerdas

Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 di Jakarta Convention Center, Selasa (24/3), menyindir kepala daerah yang terlalu mudah memberi izin kepada investor sehingga tata ruang kota semrawut. Tak tersisa ruang terbuka hijau yang menjadi paru-paru kota.

“Mungkin ini salah satu penyebab Indonesia jarang menjadi juara sepak bola. Di mana tempat anak-anak Indonesia bisa berlari bermain bola? Banyak lapangan bola digusur untuk kepentingan bisnis,” ujar Kalla.

Pemimpin kota tak cukup membawa kotanya menjadi cerdas dalam urusan teknologi, tetapi juga bagaimana membawa warga kotanya memiliki disiplin yang tinggi dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelum mendisiplinkan warga kota, pemimpin di sebuah kota harus mampu mendisiplinkan diri sendiri lebih dahulu. Bukan sekadar soal waktu, melainkan disiplin dalam menegakkan peraturan.

Bagaimana mengajak warga tidak membuang sampah sembarangan? Bagaimana menyadarkan warga untuk tidak membuang sampah ke sungai dan mengingatkan warga untuk memfungsikan gorong-gorong sebagai saluran air?

Disiplin warga kota di jalan raya juga penting ditegakkan. Bagaimana bisa pengendara motor dibiarkan melawan arus tanpa ditindak polisi lalu lintas? Bagaimana pengendara tanpa mengantongi surat izin mengemudi yang masih berlaku dapat seenaknya lalu lalang?

Pemandangan ini terlihat sehari-hari di Jakarta dan kota-kota di Bodetabek. Mengapa hal-hal semacam ini dibiarkan selama bertahun-tahun? Gubernur atau wali kota baru selalu mendapat “warisan” dari kepala daerah sebelumnya.

Membangun disiplin warga kota memang bukan perkara mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Salah satu contoh nyata adalah kota-negara Singapura. Di bawah kepemimpinan yang kuat dari seorang Lee Kuan Yew, Singapura dalam waktu setengah abad berhasil mengubah diri dari kampung nelayan yang kumuh pada tahun 1960-an menjadi salah satu pusat jasa, keuangan, dan perdagangan dunia yang modern.

Lee Kuan Yew yang wafat pada usia 91 tahun dan baru dikremasi hari Minggu lalu dihormati segenap rakyat Singapura dan para pemimpin dunia. Lee Kuan Yew meninggalkan warisan masa depan yang baik bagi kaum muda negeri itu.

Wisatawan yang mengunjungi negara-kota yang luasnya hampir setara dengan luas Jakarta itu selalu mengagumi Singapura dengan segala kedisiplinan dan keteraturannya.

Benang kusut

Bagaimana dengan kota-kota di Indonesia? Sindiran Wakil Presiden di depan ratusan kepala daerah yang hadir dalam peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 pekan lalu sebenarnya bukan hal baru. Itu sudah disampaikan berulang kali. Namun, kota-kota di Indonesia tentu tidak jalan di tempat.

Meski persoalan kota-kota di negeri ini sudah seperti benang kusut, selalu ada pemimpin yang muncul dari daerah yang berusaha mengurai benang kusut itu satu per satu. Sebagian kepala daerah mengeluhkan cukup banyak regulasi yang menghambat upaya mereka memajukan daerah, mulai dari urusan listrik, air, sampai berbagai perizinan. Namun, toh banyak di antara mereka tetap berjuang dan bekerja maksimal.

Demikian juga banyak kepala daerah di negeri ini yang punya komitmen memajukan kota dan daerahnya dengan penuh semangat. Tidak sedikit wali kota bangga bercerita bahwa mereka berhasil meningkatkan pendapatan asli daerah berkali-kali lipat. Meski demikian, tentu bukan itu saja ukuran keberhasilan sebuah kota.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, misalnya. Risma berhasil menghijaukan Kota Surabaya dengan taman-taman yang indah dipandang. Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, seorang arsitek kreatif, berupaya membuat kota itu memberi ruang yang lega bagi warganya untuk menikmati suasana kota.

Sebagian besar kota di Indonesia merupakan “warisan” pemerintah kolonial Belanda. Kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan dibangun pemerintah kolonial untuk kebutuhan pada zamannya di masa lalu dan tidak direncanakan untuk kepentingan masa kini. Karena itu, wajar jika pada akhirnya tata ruang kota-kota itu amburadul tak keruan. Tingkat urbanisasi ke kota-kota besar makin tinggi sehingga banyak kota tak mampu menampung ledakan jumlah penduduk.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago sempat menyampaikan rencana pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membangun kota-kota baru khas Indonesia yang sesuai kebutuhan saat ini.

Namun, sambil menunggu rencana besar itu, kita memberi apresiasi kepada para pemimpin kota di pelosok Indonesia yang terus berupaya mewujudkan kota mereka menjadi kota yang cerdas. Kita yakin pemimpin-pemimpin kota di Indonesia juga mampu membangun wilayah mereka dengan penuh disiplin tinggi dan integritas.

SUMBER: DUDUK PERKARA, KOMPAS DIGITAL, KOMPAS PRINT.COM, SENIN 30 MARET 2015