PENGANTAR

Pada 27 September 2021, kita merayakan 90 tahun kelahiran Pak Jakob Oetama, tokoh pers Indonesia, yang mendirikan Kompas Gramedia bersama PK Ojong. Berikut ini catatan singkat beberapa buku yang ditulis Pak Jakob Oetama dan buku-buku tentang Jakob Oetama yang ditulis orang lain yang mengenal beliau. Meskipun sudah lama diterbitkan, buku-buku ini masih relevan dibaca generasi muda saat ini.  Tulisan di blog ini sekadar mengingatkan kembali pentingnya membaca buku-buku inspiratif seperti ini. Salah satu cara menghormati dan menghargainya adalah dengan membaca buku-buku karyanya dan tentang sosok inspiratif tersebut.

Buku “Syukur Tiada Akhir – Jejak Langkah Jakob Oetama” disusun St Sularto, diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2011, menyambut HUT ke-80 Jakob Oetama.

ROBERT ADHI KSP

Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama”

Buku “Syukur Tiada Akhir, Jejak Langkah Jakob Oetama” ini disusun oleh St Sularto, memperingati HUT ke-80 Jakob Oetama pada 2011 silam. Buku setebal 660 halaman yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas ini terdiri dari sembilan bab, diberi pengantar oleh P. Swantoro — yang pernah menjabat Wakil Pemimpin Umum Kompas (1981-1992) dan enam jabatan penting di Kompas Gramedia.

Ada tiga titik balik dalam kehidupan Pak JO. Pertama, pilihan tegas meskipun dengan berat hati untuk menandatangani surat pernyataan dan kesetiaan agar Harian Kompas bisa terbit kembali pada 6 Februari 1978. Kedua, pilihan profesi wartawan sebagai perubahan arah dari cita-cita sebelumnya sebagai guru tahun 1963. Ketiga, kepergian PK Ojong, rekan perintis dan pendiri Kompas Gramedia pada 30 Mei 1980, dari semua lebih bertanggung jawab menangangi pengembangan sisi redaksional ke sisi bisnis juga.

Bab I buku ini dibuka dengan kisah 5 Februari 1978 ketika Jakob Oetama dan PK Ojong membahas tawaran pemerintahan Soeharto pasca-pembreidelan terhadap 12 media cetak 21 Januari 1978. Media-media ini diizinkan terbit kembali asalkan menandatangani pernyataan tertulis berisi permintaan maaf sekaligus berjanji tidak akan memuat tulisan yang menyinggung penguasa. Sebelum pembreidelan tersebut, sejak November 1977 terjadi aksi protes mahasiswa di berbagai kota di Indonesia, dimotori dewan mahasiswa sejumlah perguruan tinggi. Mahasiswa menuntut Soeharto mundur di awal 1978. Aksi ini ditulis semua media, termasuk Kompas. 

Mayat hanya bisa dikenang tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya lewat media massa.

JAKOB OETAMA

“Mayat hanya bisa dikenang tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya lewat media massa,” demikian pandangan Jakob Oetama ketika mengambil alih tanggung jawab. Kompas pun akhirnya terbit kembali. 

“Maka bersyukurlah kami bahwa akhirnya harian ini diperkenankan terbit kembali. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah ikut memungkinkan terbitnya kembali surat kabar ini,” tulis Jakob Oetama dalam Tajuk Rencana 6 Februari 1978.

Kisah dilanjutkan Jakob Oetama yang berpindah profesi dari bidang keguruan ke jurnalistik. “Guru sudah banyak, wartawan tidak,” demikian nasihat pastor J.W. Oudejans OFM ketika suatu hari bertanya kepada Jakob tentang cita-citanya. Awalnya Jakob menjawab dia bercita-cita menjadi dosen, tetapi Pastor Oudejans memberi nasihat tersebut. “Itulah titik balik ke masa depan yang harus saya gulati. Menjadi wartawan profesional, dan bukan guru profesional,” kata Jakob Oetama.

Guru sudah banyak, wartawan tidak.

PASTOR JW OUDEJANS OFM KEPADA JAKOB OETAMA

Kepergian PK Ojong pada Mei 1980 yang merupakan titik balik kehidupan Jakob Oetama membesarkan perusahaan Kompas Gramedia selama 40 hingga akhir hayatnya tahun 2020 lalu. “Menangani bisnis dengan prinsip bisa ngemong,” demikian Jakob Oetama.

Setelah menangani bisnis dan mengembangkan perusahaan pasca-meninggalnya PK Ojong, penampilan Jakob Oetama tidak berubah, tetap sederhana bahkan lebih bangga mengumumkan di depan publik bahwa dia wartawan. Menu makanannya Soto Kadipuro dan tempe goreng dibandingkan daging bakar setengah matang.

“Jakob Oetama tidak merasa kaya di antara orang miskin, dan tidak merasa miskin di antara orang kaya. Sikapnya sebagai pribadi maupun sebagai wartawan menyebabkan dia mudah terhanyut dalam keprihatinan dan kesedihan,” ungkap Pastor GP Sindhunata SJ (halaman 80).

Jakob Oetama tidak merasa kaya di antara orang miskin, dan tidak merasa miskin di antara orang kaya. Sikapnya sebagai pribadi maupun sebagai wartawan menyebabkan dia mudah terhanyut dalam keprihatinan dan kesedihan.

PASTOR GP SINDHUNATA SJ

Bab II buku “Syukur Tiada Akhir” memuat empat subbab. Pertama, bagaimana Jakob Oetama bersama PK Ojong dan J. Adisubrata (kemudian Irawati) menerbitkan majalah “Intisari”, yang berkantor awal di Jalan Pintu Besar Selatan 86-88, dekat Stasiun KA Jakarta Kota. “Intisari” terbit kali pertama pada 17 Agustus 1963, dicetak 10.000 eksemplar, dijual seharga Rp 60 (wilayahj Jakarta) dan Rp 65 (luar Jakarta). 

“Intisari” ibarat biji sesawi yang akhirnya beranak pinak — dari sebuah cita-cita dan kuatnya idealisme, bukan dari kuatnya modal uang.  

Kedua, kisah tentang awal mula terbitnya Harian Kompas, 28 Juni 1965,  dan prinsip-prinsip utama dan visi-misi media ini. Jakob Oetama senantiasa mengatakan, “Kompas menjadi besar berkat kerja keras, bekerja bersama, bantuan berbagai pihak, dan berkat Tuhan.” 

Bagaimana dengan masa depan Kompas setelah kehadiran internet yang berdampak pada media cetak? Asosiasi Penerbit Surat Kabar Dunia pada tahun 2000 menyampaikan 10 saran, yaitu jangan menjauhkan diri dari komunitas pembaca; kembangkan bakat profesional dan hapuskan birokrasi, pelihara kredibilitas reporter di tengah masyarakat; integrasikan redaksi dan bisnis, bongkar dinding penyekat; bangun pembaca baru, perempuan, dan orang muda; kreatifkan penelitian dan pengembangan; masuk dalam dunia multimedia, online dan offline; sajikan formula yang memudahkan dan menyenangkan membaca cepat; buat rencana, antisipasi, persiapan; dan jangan biarkan surat kabar menjadi ‘katedral tanpa roh’, jangan tanggalkan visi, kemampuan intelektual, itikad baik, fair play, dan rasa ingin tahu persoalan warga yang tak pernah habis.

Ketiga, ulasan tentang falsafah Kompas yaitu “kemanusiaan yang beriman”. “Kompas tidak boleh letih menyuarakan apa yang hidup dalam hati rakyat. Di saat yang sama memberikan harapan dengan menyampaikan sisi positif bangsa dan negara,” kata Jakob Oetama. 

Keempat, ulasan tentang profesi jurnalistik, “menghibur yang papa, mengingatkan yang mapan”.  “Jurnalisme kepiting tetap berlaku, bahkan perlu terus dikembangkan,” kata Jakob Oetama.

Bab III buku ini mengulas tentang Manajemen Kompas Gramedia, mulai dari manajemen pers Indonesia; bagaimana pers bekerja; bekerja itu all out; organik yang organis, organis yang organik; dan menggerakkan roh berkesenian.

Bab IV menyoroti ihwal media digital sebagai keniscayaan. Jakob Oetama sudah mengingatkan bahwa perubahan adalah jati diri media, dan bagaimana mengembangkan strategi tripple M. Di era digital, Kompas tetap harus menjadi pers pembangunan, mengedepankan jurnalisme fakta dan jurnalisme makna. Kompas perlu terus mengembangkan kiat-kiat baru.

Bab V memuat pemikiran-pemikiran besar yang menarik Jakob Oetama, yang relevan dengan berbagai persoalan bangsa ini yang terus berulang seperti masalah kemiskinan, demokratisasi, dan korupsi. Pemikiran-pemikiran besar itu tertuang dalam. buku “Asian Drama” (Gunnar Myrdall), “Etika Protestantisme” (Max Weber), “Jalan Ketiga” (Anthony Giddens), “Membangun Kemajemukan Bangsa” (Lawrence E. Harrison dan Samuel P. Huntington), dan “Masa Depan Dunia – Dari Toffler sampai Francis Fukuyama”. 

 Bab VI memuat pemikiran-pemikiran tentang Indonesia yang menjadi obsesi Jakob Oetama selama ini. Pertama, tentang manusia dan masyarakat Indonesia — yang disebutnya sebagai Manusia Baru Indonesia dan Masyarakat Baru Indonesia pada abad ke-21. Sarasehan dengan topik ini yang menampilkan narasumber Soedjatmoko, Sartono Kartodirdjo, YB Mangunwijaya Pr, Arief Budiman, Mattulada, Yahya Muhaimin, Mochtar Buchori, Iskandar Alisjahbana, Loekman Soetrisno, Abdurrahman Wahid, dengan moderator Dorodjatun Kuncoro-Jakti, digelar akhir November 1989 menyambut 25 tahun Kompas.

Selain itu, bab ini mengulas tentang demokratisasi dan kebudayaan Indonesia, tentang Tanah Air, tentang merajut Nusantara, menghadirkan Indonesia, tentang meraih peluang industri kreatif, dan bagaimana belajar dari China dan India.

Bab VII memuat ungkapan populer Jakob Oetama, yaitu “Syukur Tiada Akhir”. “Praci dina”, tiada hari tanpa ucapan syukur dan terima kasih. Bersyukur, bersyukur, ya bersyukur. 

Saya yang penuh kekurangan dan kesalahan, kok dipercaya oleh Tuhan menjadi perantara rahmat-Nya bagi kebahagiaan banyak orang.

JAKOB OETAMA

“Saya yang penuh kekurangan dan kesalahan, kok dipercaya oleh Tuhan jadi perantara rahmat-Nya bagi kebahagiaan banyak orang,” demikian kata-kata Jakob Oetama yang sering disampaikan di depan ribuan karyawannya.

Bab VIII memuat tentang sosok dan tokoh yang memengaruhi kehidupan Jakob Oetama sejak kecil hingga akhir hayatnya. Pada masa kecilnya, saat belajar di seminari di Muntilan, Jakob Oetama merasakan sosok Romo Van der Putten dan Romo Sandjaja membentuk karakternya. 

Masa remaja Jakob Oetama tidak terlepas dari Seminari Mertoyudan. Pembentukan dasar kehidupan intelektual, pengembangan karakternya dimulai dari seminari selama enam tahun (1945-1952) dan salah satu yang spesial adalah tinggal di asrama bersama sejumlah seminaris.

Jakob Oetama memiliki sikap reflektif yang di antaranya membuahkan cara bersikap dan bertindak penuh intuisi intelektual. Ini tidak terlepas dari bacaan dan pergaulannya. Buku menjadi teman hidup Jakob Oetama, terutama buku-buku jurnalistik, sosial politik, budaya, dan humaniora.

Jakob Oetama memiliki sikap reflektif yang di antaranya membuahkan cara bersikap dan bertindak penuh intuisi intelektual. Ini tidak terlepas dari bacaan dan pergaulannya. Buku menjadi teman hidup Jakob Oetama, terutama buku-buku jurnalistik, sosial politik, budaya dan humaniora.

Bab ini memuat sosok-sosok inspirasi kepemimpinan mulai dari Widjojo Nitisasto, Buya Syafii Maarif, Sajogyo, Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, Mohammad Natsir, IJ Kasimo, Mohamad Roem, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Gus Dur, Cak Nur, Mochtar Lubis, PK Ojong, Rosihan Anwar, Frans Seda, Soedjatmoko, YB Mangunwijaya, Sartono Kartodirdjo, PJ Zoetmulder SJ, Koentjaraningrat, Mohamad Sadli, sampai Selo Soemardjan.

Bab IX, bab pamungkas buku ini memuat sejumlah foto kenangan Jakob Oetama sejak muda hingga menjelang usia ke-80. 

Catatan Meskipun buku ini diterbitkan pada 2011 atau sepuluh tahun silam, buku ini masih relevan untuk dibaca generasi muda, termasuk mahasiswa Jurnalistik.   Jakob Oetama adalah salah satu tokoh pers Indonesia yang sangat berpengaruh dan berhasil mengembangkan usahanya di Indonesia. Disusun oleh St Sularto — jabatan terakhir Wakil Pemimpin Umum Kompas, buku ini  sejauh ini masih buku paling lengkap yang menggambarkan sosok Jakob Oetama sejak kecil hingga usia 80 tahunnya.

“Dunia Usaha dan Etika Bisnis” 

Buku “Dunia Usaha dan Etika Bisnis” diterbitkan menyambut HUT ke-70 Jakob Oetama. Buku setebal 182 halaman yang diberi kata pengantar Djisman S Simanjuntak, Ketua Dewan CSIS Jakarta ini merupakan 19 artikel yang merupakan kumpulan tulisan, bahan ceramah, pidato, kata pengantar, dan sumbangan pemikiran Jakob Oetama yang disampaikan dalam berbagai kesempatan sejak 1980-an hingga 1990-an. Semua belum pernah diterbitkan dalam Harian Kompas, tetapi sebagian di antaranya sudah dibukukan dalam Perspektif Pers Indonesia (1987).

Buku “Dunia Usaha dan Etika Bisnis” diterbitkan Penerbit Buku Kompas tahun 2001, menyambut HUT ke-70 Jakob Oetama.

Buku ini terdiri dari tiga bagian. Pertama, mengupas Dunia Usaha dan Etika Bisnis. Kedua, tentang Peran Pengusaha Membangun Bangsa. Ketiga, tentang Media Massa dan Dunia Usaha.

Dalam buku ini, Jakob Oetama sejak awal mengingatkan bagaimana watak (karakter) dinomorsatukan di perusahaan yang didirikan dan dikembangkannya itu dibandingkan pengetahuan atau skill.  Selain itu, Jakob juga melihat perlunya semangat kebersamaan yang kuat dalam manajemen.

Buku ini juga mengulas bagaimana kiat Jakob Oetama mengelola surat kabar, di antaranya dengan “jurnalisme kepiting” — istilah ini awalnya diciptakan tokoh pers Rosihan Anwar sebagai nada sinisme. Bagi Jakob, istilah “jurnalisme kepiting” lebih menunjukkan pada cara bagaimana pers harus berperan dalam masyarakat, yang falsafah demokrasinya masih harus dikembangkan oleh kebudayaan politik masyarakat dan suprastrukturalnya. 

“Pers tetap mempunyai komitmen terhadap prinsip demokrasi dan kebebasan. Cara melaksanakannya disesuaikan atau mempertimbangkan tingkat perkembangan masyarakat, kultur politik, dan nilai-nilai dasar masyarakat kita. Arah benang merah yang tetap menjadi kewajiban pers adalah perluasan ide demokratisasi dan kebebasan. Dalam usaha itu, pers adakalanya perlu menahan diri untuk kemudian melangkah maju lagi, perlu juga tidak hanya menghela atau menggebrak di satu bidang tertentu, melainkan di semua bidang secara bergantian,” ungkap Jakob Oetama. 

Catatan: Menarik membahas jurnalisme kepiting – istilah ini diungkap kali pertama oleh Rosihan Anwar dengan nada sinisme. Kenyataannya, dengan jurnalisme kepiting-lah, Kompas bisa bertahan di era rezim Soeharto yang represif.

ROBERT ADHI KSP, pencinta buku dan penulis 15 buku.

 (BERSAMBUNG)