PRESIDEN terpilih Joko Widodo bergerak cepat. Sehari setelah Mahkamah Konstitusi menolak seluruh gugatan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam sidang sengketa pemilihan presiden, Joko Widodo mengajak semua sukarelawan yang mendukungnya mengawal pemerintahan baru. Sukarelawan diminta tidak membubarkan diri, tetapi tetap mengawasi roda pemerintahan baru termasuk pemerintahan daerah di seluruh Indonesia.
Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) menginginkan laporan yang disampaikan sukarelawan bukan laporan asal bapak senang (ABS). Jokowi justru mengharapkan laporan yang disampaikan kepadanya laporan yang ”jelek-jelek” agar dia dapat segera membereskan dan memperbaikinya.
Pernyataan presiden terpilih Jokowi itu bermakna bahwa dia mengajak rakyat berperan serta dalam pemerintahannya. Jokowi tahu banyak persoalan di negeri ini yang harus diselesaikan dengan cepat. Selama ini, banyak masalah yang dihadapi rakyat di daerah, tetapi banyak pemimpin daerah seolah tidak mendengar dan melihatnya. Jokowi tidak ingin itu terjadi dalam masa pemerintahannya.
Apabila ada kantor-kantor pemerintah yang melakukan pungutan liar (pungli), memeras rakyat, Jokowi menegaskan tidak segan-segan mencopot pejabat dan pegawai pelakunya. Ini sinyal yang benderang dari presiden terpilih kepada jajaran pemerintahannya.
Selama ini, penyakit kronis dalam birokrasi pemerintahan, antara lain, pungli di semua sektor dan layanan publik yang lamban yang merugikan rakyat, serta perizinan usaha yang berbelit- belit, yang membuat investor berpikir ulang menanamkan modalnya di daerah.
Bukan rahasia umum, selama ini rakyat ”diperas” di kelurahan, kecamatan, kantor wali kota dan bupati, kantor gubernur, kantor imigrasi, kantor polisi, kantor Samsat, kantor Bea dan Cukai, dinas perhubungan, lembaga pemasyarakatan, serta lembaga dan institusi pemerintah lainnya.
Pegawai pemerintah masih beranggapan, ”Apabila bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah?” Perizinan sengaja dipersulit dan berbelit-belit. Kemudian, ujung-ujungnya, rakyat harus mengeluarkan uang tambahan agar urusan cepat selesai. Inilah ”penyakit” birokrasi di Indonesia yang tidak kunjung sembuh.
Ombudsman Republik Indonesia tahun 2013 melakukan survei kepatuhan terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Survei yang dilakukan di 23 pemerintah daerah di Indonesia menunjukkan, umumnya dinas- dinas yang menyelenggarakan pelayanan publik belum mematuhi standar.
Tahun 2013, Komisi Pemberantasan Korupsi juga melakukan survei integritas publik dan menemukan terjadi pembayaran yang tidak sesuai dengan biaya resmi pada unit layanan pengadaan barang dan jasa.
Ketua KPK Abraham Samad prihatin melihat kenyataan bahwa Indeks Prestasi Korupsi Indonesia masih terpuruk. Salah satu indikatornya adalah pelayanan publik yang buruk. Masih banyak terjadi pemberian uang pelicin, uang suap, dan gratifikasi yang merusak pelayanan publik.
Sebenarnya beberapa institusi pemerintah sudah memperbaiki layanan publik. Layanan di kelurahan-kelurahan di wilayah Jakarta, misalnya, kini membaik setelah Jokowi menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Tahun 2014 ini, Direktorat Jenderal Imigrasi di Kementerian Hukum dan HAM meluncurkan pembuatan paspor secara online sehingga layanan ini lebih mudah, lebih cepat, dan tidak dihadang calo.
Tahun lalu, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya memberlakukan sistem pengesahan surat tanda nomor kendaraan secara online yang melibatkan tiga provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Pelayanan publik secara online dan terintegrasi ini untuk memudahkan masyarakat membayar kewajiban pajak kendaraan.
Lanjutkan membaca Ajakan Mengawal Pemerintahan Baru →